Istanbul, Gontornews — Badan meteorologi dunia, World Meteorological Organization (WMO) melaporkan dampak peristiwa El Nino seiring dengan meningkatnya gas rumah kaca penyebab pemanasan global.
Ilmuwan Turki, Levent Kurnaz, Kepala Studi Perubahan dan Kebijakan Iklim Universitas Bogazici Istanbul, merespons laporan tersebut. Menurutnya, pelepasan karbondioksida dan gas rumah kaca dari batubara, minyak dan gas telah menyebabkan kenaikan suhu rata-rata global dan tren ini meningkat setiap tahun.
Kurnez menjelaskan bahwa efek La Nina di Samudera Pasifik dalam beberapa tahun terakhir telah mencegah kenaikan suhu rata-rata global.
βPeristiwa El Nino parah berikutnya datang setelah periode La Nina tiga tahun yang berkepanjanganΒ membuatnya hampir pasti. Catatan (rekor) suhu akan pecah dalam waktu dekat,β kata Kurnez kepada media Turki, Anadolu.
Kurnez menambahkan, antara tahun 2023-2027, suhu permukaan rata-rata global akan lebih tinggi ketimbang periode 1850-1900 sebesar 1,1 hingga 1,8 derajat Celcius. Jika suhu global mencapai 1,8 derajat Celcius, maka sektor pertanian akan menjadi yang paling terdampak.
Ia mencontohkan rekor suhu global sebesar 1,26 derajat Celcius pada tahun 2016 telah meningkatkan suhu permukaan Samudera Pasifik secara signifikan. Sementara suhu rata-rata global pada tahun 2022 telah berada di angka 1,15 derajat Celcius. Namun, sekali lagi, βpendinginanβ suhu permukaan di Samudera Pasifik pasca El Nino parah pada tahun 2016 berhasil mencegah peningkatan suhu global saat ini.
Kurnaz menambahkan, bahwa peningkatan suhu pada tahun 2016 akan kembali terulang, setidaknya, satu tahun, dalam rentang waktu 2023-2027 mendatang. Ada kemungkinan, target kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Paris 2015 akan terlampaui.
Sebagai informasi, La Nina merupakan pola iklim di mana suhu permukaan laut lebih dingin dari rata-rata suhu di Pasifik tropis. Sedangkan El Nino adalah fenomena iklim yang mengacu pada peningkatan suhu di wilayah Pasifik ekuator.
El Nino, diperkirakan akan kembali pada bulan Juni, mengakibatkan kondisi cuaca kering di area pertanian di Amerika Tengah, Afrika Selatan, dan Asia Timur. Pada saat yang bersamaan, curah hujan berlebih berpotensi menyebabkan banjir di Asia Timur Dekat dan Afrika Timur. [Mohamad Deny Irawan]