Peneliti AS mengembangkan cara baru mengidentifikasi marka genetik penyakit. Dengan epigenomika, mereka mengurai asal usul penyakit berbasis varian  genom  sampel sebuah populasi.
Banyak penyakit, seperti kanker, diabetes, albino, sindrom down, hemofilia, dan skizofrenia, cenderung diwariskan melalui keluarga. Setelah proyek genom manusia berjalan 15 tahun, muncul harapan tinggi bahwa peta informasi genetik dapat  mengungkapkan gen-gen penanda (genetic marker)  munculnya penyakit menurun.
Namun begitu, para ilmuwan kemudian sadar harapan itu terlalu jauh. Menyibak rahasia genetik ternyata tak semudah membuat peta genom. Untuk memastikan marka gen satu penyakit tak cukup dengan data genom dari satu/dua pasien. Perlu bank data genom dari sejumlah pasien yang varian genetiknya mewakili kondisi populasinya.
Untuk menggali marka genetik yang signifikan, peneliti perlu banyak contoh peta genom. Selain itu, banyak varian lain yang berpengaruh, di luar DNA-DNA pengode protein. Maka, menjadi jauh lebih sulit untuk memastikan marka gen-gen suatu penyakit.
Metode Epigenomika
Untuk itu, peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT) menawarkan marka epigenomika. Sebuah metode terpadu untuk  mengetahui dan mengontrol aktivasi gen tertentu. Pendekatan ini memungkinkan  peneliti mengidentifikasi unsur genetik tambahan, selain DNA ini, yang, misalnya, membuat seseorang lebih rentan terkena gagal jantung. “Epigenomika dapat mengatasi rintangan utama riset genetika manusia dan menjawab pertanyaan seputar sifat hereditas yang tersembunyi dari sampel individual,” kata Laurie Boyer, gurubesar rekayasa biologi MIT.
Menurutnya, epigenomika adalah studi tentang modifikasi epigenetik dari materi genetik dalam skala genomik. Unit genetika yang termodifikasi disebut epigenom. Epigenomika berbeda dengan epigenetika dalam cakupan luasannya. Epigenetika terfokus pada studi mengenai pewarisan modifikasi selain mutasi pada DNA, sedangkan epigenomika mempelajari perubahan level genomik individu sampel dari suatu populasi. Seperti studi genomika dan proteomika, ciri khas studi epigenomika melibatkan proses komputasi data dalam jumlah besar.
Strategi epigenomika dipercaya bisa menjelaskan banyak penyakit warisan. “Kita dapat menerapkannya  tak hanya untuk menguak sifat satu jaringan, tetapi juga melacak karakteritik dasar biokimia setiap penyakit,” jelas Xinchen Wang, mahasiswa  postdoctoral MIT dalam jurnal eLife edisi Mei 2016.
‘’Pendekatan epigenomik menjadi tumpuan untuk membedah tuntas rahasia penyakit penting seperti penyakit jantung, hiperkolesterol, dan Alzheimer,’’ tambah Manolis Kellis, profesor bio-komputasi dan peneliti utama Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory MIT dan Broad Institute.
Penelitian Xinchen Wang dan kawan-kawan didanai oleh National Institutes of Health (NIH) dan National Health, Lung, and Blood Institute (NHLBI). Selain MIT, riset ini juga memanfaatkan data dari Massachusetts General Hospital, AS, dan dua lembaga asal Belanda: Hubrecht Institute dan University of Groningen.
Membaca Pola
Usai proyek genom manusia, Â para ilmuwan telah mendadar peta genetik dari ribuan orang untuk mencari perbedaan genetik yang terkait dengan penyakit tertentu. Studi-studi, yang dikenal sebagai genome-wide association studies (GWAS), antara lain telah mengungkapkan marka-marka genetik yang terkait dengan penyakit seperti diabetes tipe 2, Parkinson, obesitas, dan penyakit Crohn.
Namun begitu, agar valid riset terkait perlu memenuhi kriteria statistik, seperti seberapa sering dia muncul, dan seberapa besar efeknya pada penyakit. Sampai saat ini, satu-satunya cara untuk menghasilkan data yang signifikan adalah dengan melipatgandakan jumlah sampel, menjadi dua atau tiga kali lebih banyak. Tetapi, cara ini tentu saja sulit dan mahal untuk dilakukan sebuah lembaga riset.
Maka, atas dasar itu, Tim MIT mengajukan pendekatan alternatif, dengan prioritas mengidentifikasi varian dari sampel yang representatif. Jumlah sampel mungkin terbatas, tetapi cakupan studinya berskala luas, lebih rinci dan mendalam, serta yang terpenting berdampak nyata dalam menyingkap rahasia penyakit.
“Dalam ambang batas signifikansi, studi genom berskala luas diharapkan dapat menyibak sejumlah besar gen pemarka penting,” tegas Kellis. “Jika berhasil merekam ekspresi gen baru di lokus tertentu, kita dapat menemukan jalan menuju inovasi terapi baru.”
Untuk menguji keandalan strategi ini, mereka fokus mengamati aktivitas jantung dengan parameter interval QT, yang mengukur waktu dan jumlah impuls listrik saat jantung kontraksi. Variasi nilai QT menjadi indikator penting faktor risiko aritmia dan gagal jantung. Keduanya merupakan salah satu penyebab utama kematian di AS.
Hasil studi epigenomika, Tim MIT sudah menemukan sekitar 60 penanda genetik yang terkait dengan variasi  panjang interval QT. Mereka telah menciptakan algoritma komputer untuk menganalisis penanda sifat epigenomika secara umum. Selanjutnya, dari yang umum ditelisik lebih dalam untuk mencari marka genetik yang spesifik yang terkait langsung dengan munculnya gejala penyakit yang mirip atau banyak beririsan dengan tanda utama munculnya gejala penyakit tersebut.
Menemukan Enhancer
Hasil analisis mengungkapkan bahwa banyak varian genetik yang signifikan berada pada bagian genom yang dikenal sebagai Enhancer, yang mengontrol aktivitas gen dari kejauhan. Enhancer ini punya aktivitas khusus pada jaringan jantung. Subtansi ini cenderung berada di daerah DNA regulator. Eksistensi serupa ditemukan di daerah yang sama pada hampir seluruh spesies primata.
Para peneliti kemudian menganalisis varian yang memiliki interval QT lemah. Di sini, mereka menemukan sekitar 60 lokasi unik. ‘’Jumlahnya masih bisa bertambah, jika jumlah sampel yang dianalisis diperluas,’’ ungkap Boyer.
Selanjutnya, para peneliti berusaha untuk memprediksi gen target yang mempengaruhi varian genetik. Untuk itu, mereka menganalisis model struktur tiga dimensi dari kromosom untuk memprediksi kontak jarak jauh antara varian Enhancer dengan potensi gen targetnya. Ada sekitar dua lusin gen terpilih untuk dikaji dalam studi lebih lanjut. Hasil sementara, mereka menemukan indikasi, banyak gen target baru yang  memiliki efek bermakna dalam menjaga ritme implus listrik jantung.
Jalan sudah terbuka. “Kami sekarang memiliki bukti genetik dari manusia, bukti epigenomika dari sel hati, dan data eksperimen dari tikus. Secara bersama-sama menunjukkan bahwa perbedaan genetik di level Enhancer jelas mempengaruhi fungsi jantung secara keseluruhan,” tegas Wang.
Tindak Lanjut
Berangkat dari analisis yang sudah diperoleh, Lab Boyer sudah berencana untuk menerapkan pendekatan epigenomika untuk mempelajari lebih lanjut tentang kelainan jantung bawaan dan ekspresi genomnya.
“Kita buka sedikit catatan etiologi genetik cacat jantung bawaan. Setiap 15 menit ada bayi lahir ke dunia dengan cacat jantung bawaan. Fakta ini cukup mengkhawatirkan dan memprihatinkan kita semua,’’ ungkap Laurie Boyer.
Boyer dan koleganya berharap, pendekatan baru dalam studi genomik dan epigenomika dapat meningkatkan pemahaman manusia tentang karakter utuh dari cacat jantung manusia, mulai dari informasi genom, ekpresi biokimia dan biologi penyakitnya.
Pendekatan baru MIT memungkinkan peneliti banyak menguak rahasia penanda genetik yang selama ini nyaris tak muncul dalam studi genom terdahulu. “Tanpa harus menunggu bertahun-tahun untuk mencapai syarat kecukupan statistik data genom, kita bisa langsung mengambil langkah priotitas pada marka genetik yang sudah teridentifikasi,” ajak Boyer.
Manolis Kellis berharap, obat ampuh dapat segera diracik untuk  mempersingkat jalur terapi kelainan jantung, sekaligus menyelamatkan banyak manusia. ‘’Epigenomika, saya yakin, bisa menjawab harapan ini,’’ pungkasnya. [Dedi Junaedi]