Solo, Gontornews — Sebagai bagian dari ormas Nahdlatul Ulama (NU), Gerakan Pemuda Ansor turut menolak kebijakan full day school (FDS) yang diterapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Ansor beralasan kebijakan itu akan memangkas waktu anak didik untuk belajar di madrasah diniyah (madin).
“Sekolah diniyah, biasanya kan sekitar pukul 14.00 atau 15.00 WIB. Kalau full day school pulang pukul 15.00 atau 16.00 WIB, bagaimana mau belajar diniyah. Dalam hal ini Ansor sebagai bagian dari NU menolak kebijakan ini,” kata Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas di Hotel Sahid Jaya Solo, Jateng, Kamis (10/8) seperti dilansir Antara.
Yaqut mengklaim, madrasah diniyah penting diikuti oleh anak didik karena keberadaannya merupakan benteng terakhir bagi Indonesia dari pengaruh kelompok radikal.
“Dijamin setelah anak didik keluar dari madrasah diniyah tidak akan jadi radikal. Intinya kalau “full day school” jadi diterapkan sama saja membiarkan kelompok radikal berkembang di Indonesia,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) KH Lukman Hakim menyebutkan ada dua langkah yang akan ditempuh kaum nahdiyin sebagai upaya penolakan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 sekolah sepanjang hari.
Selain menggelar aksi simpatik, FKDT berencana melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengatakan bahwa kebijakan mengenai “full day school” dapat mengganggu pendidikan yang dibangun para kiai dan ulama yang sudah menjadi tradisi, seperti madrasah diniyah atau pondok pesantren.
Terkait dengan kebijakan tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Muhadjir Effendy mengatakan bahwa upaya tersebut untuk meningkatkan kinerja guru. Muhadjir juga menegaskan, Kemendikbud tidak berniat membuat FDS.
“Saya tegaskan saya tidak punya niat, Kemdikbud tidak ada rencana untuk program full day school,” kata Muhadjir saat menyampaikan pidato pada lokakarya guru di Labschool Jakarta, Kamis (6/7).
Muhadjir menjelaskan, program yang dimaksud ialah program penguatan karakter siswa melalui kurikulum yang sudah ada tanpa mengganti dengan kurikulum baru. Ia menjabarkan, dirinya berpedoman pada visi Presiden yang tertuang pada Nawa Cita dalam membuat program penguatan karakter.
Pada pelaksanaannya, “full day school” yang ditolak oleh kalangan NU adalah program belajar selama delapan jam di sekolah selama Senin-Jumat. Di sekolah-sekolah tertentu dan daerah tertentu konsep ini telah berjalan dan tidak menimbulkan persoalan.[Fathurroji]