Pertemuan ini mengharukan kami, serta memberikan kenang-kenangan yang mendalam. Bagaimana tidak akan terharu, anak-anakku telah hidup di Pondok Modern Gontor bersama kami selama enam, tujuh, delapan bahkan sembilan tahun. Masa yang cukup lama dalam sejarah hidup manusia. Masa yang dapat menentukan hitam putihnya manusia. Selama ini, anak-anakku tekun, taat, patuh, disiplin bergaul dan berkecimpung dalam suatu lapangan dan naungan Pondok Modern Darussalam Gontor. Dalam rasa terharu inilah, saya harus memberikan kata perpisahan, wasiat, petuah, pesan, dan nasihat.
Telah banyak kata-kata yang kulepaskan, nasihat-nasihat yang kuberikan, anjuran-anjuran yang kusampaikan, tuntunan-tuntunan untuk diamalkan, dan petunjuk-petunjuk untuk pedoman. Telah banyak pula air yang kamu minum selama di Darussalam, suara-suara yang telah kamu dengar, suasana yang telah kamu alami, contoh-contoh yang telah kamu lihat, dan pimpinan yang telah kamu rasakan. Rasanya tak banyak lagi yang perlu saya katakan di sini sebagai bekal hidup untuk menghadapi masa depanmu. Hanya sebagai kesyukuran dan kasih selamat, serta sebagai akibat rasa cinta suci sehingga menimbulkan cemburu, maka kusampaikan juga pesan-pesan ini.
Buatlah suatu catatan sejarah hidupmu (autobiografi) secara jujur. Sejak sebelum engkau melangkahkan kaki ke Pondok Modern Gontor, kemudian hidup dan penghidupanmu selama di Darussalam untuk dirimu dan untuk pondok. Renungilah hal-hal berikut: bekal apa yang kau bawa dan bagaimana perkembangannya di Pondok Modern Gontor, pendidikan yang kau rasakan, pengalaman-pengalaman di luar bangku sekolah, pergaulan sesama teman sejawat, dan lain-lain yang dipandang perlu. Kemudian lengkapi catatan sejarah itu dengan pasfotonya. Itulah nilai perjalanan hidupmu hingga saat ini.
Setelah sekian lama kita bersama, bosankah kami kepada anak-anakku sekalian? Ketahuilah, orang yang cinta dan yang tahu kepentingan, tidak merasa bosan. Tidak ada orang yang bosan melihat anaknya! Begitulah saya kepada anak-anakku sekalian. Begitulah guru-guru kepada anak-anakku sekalian. Semoga anak-anakku pun dapat menimbang rasa dan membuat keseimbangan atas rasa sayang dan cinta kami.
Kenalilah dirimu
Pertama, jangan aksi dulu. Perumpamaannya seperti seorang gadis yang buruk, ia bersolek dan berpakaian berlebih-lebihan, menghias diri, berpupur, bercat bibir, membentuk alis, bergelang, berkalung, gerak-gerik dan tutur katanya juga dibuat-buat. Apakah kesimpulan pandangan dan penilaian orang terhadap dirinya?
Kedua, harus tahu ukuran diri. Renungkanlah seorang miskin yang hidup di dalam kekurangan. Tetapi ia boros berbelanja, berpakaian selalu minta yang bagus, inginnya makan yang enak-enak namun malas bekerja, lagak dan gayanya tak mau kalah dengan orang kaya. Apakah yang akan terjadi atas orang yang demikian?
Ketiga, jangan asal minta sama rata dan sama rasa. Orang yang enggan mengangkat, memikul, bekerja, dan lemah pula atau tidak ada kegiatannya dalam berusaha, masih juga mengharapkan hasil dan upah seperti orang giat, kuat, dan gagah. Apakah namanya orang yang sedemikian itu? Dapatkah kepandaian anak satu kelas itu sama?
Keempat, gila menjadi mahasiswa atau asal jadi mahasiswa. Jangan merasa beruang dan kaya. Menurut pikirannya, asal ada uang, tentu dapat ilmu dan tentu dapat ke perguruan tinggi, dapat ke Mekkah atau ke Mesir, dan dapat ijazah. Apakah hasil yang diperoleh kalau dirinya masih kosong dan otaknya beku? Ia menyangka, ilmu dapat dibeli. Akhirnya ”arang habis besi binasa, payah saja tukang tempa.”
Kamu benar-benar berharga
Berapa ratus kawanmu selagi duduk di kelas satu dulu? Tidak banyak sampai ke batas. Meski sebabnya berbeda-beda. Ada yang karena akalnya, budi pekertinya atau karena tidak tahan disiplin pondok, karena materi, ada pula yang karena tekanan dan suasana keluarga. []