Hal itulah yang dilakukan Iskandar, pengusaha Ayam Geprek yang menggunakan konsep Kafe di bilangan Jakarta Timur. Tepatnya di Jl. Bangunan Barat No. 8, Pulo Gadung.
Berawal dari keinginannya memberikan sesuatu yang berbeda untuk produk ayam gepreknya, alumni Gontor tahun 2012 itu menyulap tempat usahanya menjadi kafe. Seperti kafe pada umumnya yang menyediakan minuman kopi, kafenya juga menyediakan kopi dan beberapa jenis makanan lainnya, seperti bebek.
“Lebih ke Warkop aja kali ya, cuma kalau ini ada ayam gepreknya dan tempatnya juga luas,” jelas Iskandar kepada Majalah Gontor.
Alumnus Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma (Unsurya) itu memilih konsep kafe, selain untuk memenuhi permintaan pelanggan, lokasi berdagang yang sengaja dibuat lega itu juga dimaksudkan agar para pelanggan nyaman saat melakukan transaksi. Terlebih saat ini masih dalam kondisi pandemi yang mewajibkan untuk menjaga jarak.
Iskandar lalu menceritakan awal mula dirinya menjalankan usaha yang diberi nama Dapur Ceknar itu, “Setiap hari kamis di lingkungan rumah kami selalu ada bazar, dari sanalah kami berpikir untuk berjualan ayam geprek saja,” jelasnya.
Apalagi, lanjutnya, jika di rumahnya ada gerobak yang sudah tidak terpakai, yang kemudian ia gunakan untuk kebutuhan berjualan di bazar tersebut. Saat itu, dana yang dikeluarkan sebesar Rp 5 juta – Rp 7 juta yang digunakan untuk membeli ayam, bumbu, alat masak, dan lain sebagainya.
“Kalau omset sekitar 6 jutaan per bulan,” ungkap Iskandar.
Suka Duka Berwirausaha
Dalam menjalankan sebuah usaha tentu ada suka dan duka yang dirasakan. Demikian juga Iskandar. Banyak pengalaman yang ia rasakan selama menjalankan usaha ayam geprek. Pernah suatu ketika, ia mengikuti bazar sebuah acara di salah satu kota di Jawa Barat. Sebanyak 300 porsi ayam geprek telah disiapkan untuk memanjakan lidah para peserta acara.
Namun siapa sangka, semua berjalan tidak sesuai espektasi, hari berlangsungnya acara ternyaata turun hujan lebat. Tenda dan meja yang disiapkan untuk berjualan hanyut karena angin sangat besar, demikian denga ayam-ayam yang sidah disiapkan menjadi tidak layak konsumsi.
“Tapi semua itu tetap harus kita syukuri, pengalaman berharga untuk masa depan usaha kami,” cerita Iskandar menyemangati diri.
Selain itu, ia pernah dikejar-kejar oleh Satpol PP. Sebab awal menjalankan usaha, ia hanya menggunakan gerobak bekas yang dimodifikasi dan berjualan di pinggir jalan, sehingga kerap mendapat peringatan dari pihak terkait.
Peran Ibu
Memprioritaskan kepentingan ibu di atas kepentingan dunia lainnya, termasuk kepentingan usaha. Sesulit apapun yang menjadi keinginan ibu harus dilaksanakan dan dipenuhi dengan mengharap ridha Allah ‘Azza wa Jalla. Demikianlah yang dilakukan Iskandar, sehingga mengantarkannya pada kesuksesan saat ini. Omset yang awalnya hanya Rp 6 juta per bulan saat ini sudah bisa mencapai Rp 30 juta per bulan.
“Kalau bukan karena mama, tidak mungkin bisa berjalan (usahanya) seperti ini,” ungkapnya.
Baginya, memenuhi keinginan ibundanya merupakan hal terpenting. Sebab menurutnya, doa dan dukungan sang ibulah yang membuat dia tetap bertahan.
“Intinya bagaimana caranya kita selalu ada di waktu mama membutuhkan, mau dari segi finansial sampai waktu,” jelasnya.
Iskandar menceritakan saat menghadapi masa sulit dalam menjalankan usaha, pendapatan menurun membuat semangat berdagang pun tidak stabil. Namun nasihat dan doa ibunyalah yang menjadi obor semangat hingga saat ini.
Iskandar berharap ke depan usahanya terus berkembang, sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang dan memberikan manfaat kepada sesama. “Semoga ke depannya ada kopi ceknar, kebuli ceknar, mie Aceh ceknar, in syaa Allah,” harap Iskandar. [] Devi Lusianawati