Pontianak, Gontornews — Pinjaman online belakangan kian ramai jadi pembahasan. Terlebih setelah beberapa kasus bunuh diri mencuat dengan latar belakang pinjaman online.
“Tidak hanya masyarakat umum, realitasnya, pinjaman online juga banyak digunakan anak muda,” terang Pendiri dan Pengelola Sekolah Menengah Pertama Terbuka Community Learning Center Pegagau di Sabah-Malaysia 2013, Sri Wahyuni Indawati SPd MPd. Data Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengungkap, tambahnya, 60% pengguna pinjol anak muda berusia 19-24 tahun.
Memanfaatkan platform digital yang mudah dan terjangkau, iklan pinjaman online berseliweran di layar ponsel. Begitu menarik dan menggiurkan. Terlebih lagi, syarat yang tertera begitu mudah.
Berdasarkan pembacaan perilaku konsumen di media sosial, berbagai pinjaman online hadir mengukuhkan hasrat belanja. Pada akhirnya, lilitan pinjaman online menjadi bumerang.
Faktanya, strategi pemasaran yang berkembang pada era digital telah membuat masyarakat terbiasa memanjakan mata. Paham dengan perilaku konsumen, pebisnis pun tentu paham apa yang bisa membuat konsumen tertarik untuk berbelanja. “Ini adalah peluang bagi lintah darat yang terus tumbuh di platform digital,” sambung narasumber dalam seminar bertajuk, “Sikap dan Perilaku Muslimah dalam Bersosial Media Sesuai Syariat Islam” yang digelar oleh komunitas One Day One Juz itu.
Konsumen pun kemudian merasa dimudahkan dengan sistem paylater. Meski demikian, sistem ini bukan tanpa jebakan. Pilihan tenor yang diberikan pada nasabah berbanding lurus dengan bunga pinjaman yang harus nasabah bayarkan.
Kondisi ini kian tumbuh subur ditengah industri gaya hidup ala masyarakat modern. Saat eksistensi diri didasarkan pada outfit dan traveling untuk menghilangkan penat. Semua adalah soal prestise dan status sosial.
Dalam sistem sekuler kapitalisme, standar kebahagiaan hidup adalah kemewahan dunia. Standar ini telah menjadi patokan umum dalam masyarakat kapitalistik.
Terlebih, dengan paltform digital, mereka dapat saling berbagi. Para pebisnis pun banyak yang melibatkan para pengguna medsos sebagai mitra bisnis. Pola ini dapat kita lihat di aplikasi Instagram dan TikTok.
Walhasil, atmosfer konsumerisme ini tetap terpelihara dalam lingkaran pertemanan. “Inilah mengapa sebagian ekonom mengatakan bahwa konsumerisme adalah genetik dalam sistem hidup kapitalisme,” tambah Founder dan Pembina Yayasan Sekolah Wanita Indonesia Hebat itu.
Lebih jauh lagi, bisnis digital telah mendeskripsikan kepada kita secara gamblang mengenai rantai bisnis korporasi. Akun -selebgram maupun TikTokers- yang menjadi mitra pebisnis digital, hanyalah sekrup kecil dalam rantai bisnis para kapitalis. Pada akhirnya, yang menuai banyak untung tetap korporasi. “Masyarakat yang hedonis, berpenampilan modis, tetapi hidup boros meski harus berutang,” pungkas Sri Wahyuni. [Edithya Miranti]