Kebahagiaan di dunia ini ada dua: kebahagiaan lahir, dan kebahagiaan batin. Untuk mencapai kebahagiaan lahir memerlukan harta benda, dan wujudnya mudah dimengerti. Tapi kebahagiaan batin, masih perlu dijelaskan.
Kekayaan harta benda tak mutlak dapat menjamin kebahagiaan sesungguhnya. Orang yang memilikinya tidak merasa aman atau tenteram. Di Amerika dan Eropa, dan juga di mana-mana, banyak orang yang sudah mempunyai kekayaan lahir yang sangat banyak. Tapi akhirnya mereka tidak bahagia, dan bosan hidup. Akibatnya bunuh diri banyak terjadi, karena hatinya kosong.
Ada sebagian orang membuat perumpamaan (tamtsîl), “Lebih baik menjual dawet dengan memikulnya sendiri sambil bernyanyi-nyanyi kecil (rengeng-rengeng), daripada naik sedan ‘bell air’ mengkilat, tapi matanya selalu basah menangis (brebes mili).” Sebaliknya, seorang yang berbudi jika menerima budi orang lain, ia akan gelisah sebelum membayar hutang budinya itu. Apabila sudah terbayarkan, baik dengan tenaga, pikiran, harta, atau jasa, ia akan puas dan bahagia. Jika sudah mengeluarkan sebagian harta untuk menolong orang lain, ia tak akan merasa rugi atau merasa hartanya berkurang. Ia justru akan bahagia karena dapat menolong orang lain, bukan menjadi orang yang terpaksa meminta tolong. Jadi, kebahagiaan batin tidak berdasarkan atas keuntungan materi.
Adapun modal untuk mencapai kebahagiaan batin adalah dengan iman. Di dunia ini kenyataannya ada orang kaya dan miskin. Seorang yang berbudi tinggi atau mukmin, tak akan iri atau dengki. Ia akan berkata kepada dirinya sendiri, “Biarlah miskin harta, asalkan jangan miskin budi dan jasa.” Lebih baik lagi kalau kaya harta, luhur budi dan kuat iman.
Seorang mukmin akan selalu bersyukur menyadari karunia Allah yang amat banyak, atau merasakannya sangat banyak. Setiap hari ia akan selalu bersyukur dan gembira. Sebaliknya, banyak orang kaya yang merasa iri dan dengki terhadap orang lain karena melihat orang lain tampak bahagia, atau mendapat kekayaan yang bertambah. Hatinya selalu panas setiap melihat saingannya.
Jadi, andaikata kita sudah menjadi orang kaya, jangan lantas bangga dengan kekayaan, apalagi meremehkan orang lain yang dikatakan miskin atau sedikit hartanya. Kalau memang kaya, sampai di mana jasa dan amal kita kepada masyarakat? Seberapa tabungan amal kita? Begitu pula kalau kita mempunyai jabatan tinggi. Untuk apa jabatan itu? Apakah hanya untuk diri sendiri? Ingatlah sabda Nabi SAW, “Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi umat manusia.”
Perjuangan dan pengorbanan
Jangan lupakan nilai-nilai pendidikan yang didapat di Pondok Modern Gontor: Bagaimana cara berjuang, beramal, berkorban, dan berpegang kepada prinsip agar tidak kehilangan prinsip. Jadilah pemuda pejuang yang dapat diandalkan. Yang memunyai rasa tanggung jawab atas kesejahteraan umat serta kemajuan agama dan bangsa. Tidak untuk diri sendiri.
Dalam kehidupan ini banyak hama perjuangan, yang lazim berbentuk harta, wanita, tahta atau pangkat. Ini seperti wereng manusia. Dalam perjuangan jangan cari yang enak-enak, yang gampang-gampang saja, atau untuk diri sendiri saja. Masing-masing orang harus mawas diri, atau menilai dirinya sendiri sampai di mana nilai amal dan nilai perjuangannya di masyarakat. Hidupmu untuk kepentingan berapa orang? Hanya memikirkan dan berusaha untuk kepentingan segelintir manusia, diri sendiri, istri, atau dua-tiga orang keluarga? Apa arti hidup yang hanya sedemikian? Terlalu murah harga dirimu! Ingatlah racun kolonial yang sangat berbahaya, yaitu kuatnya rasa individualisme. Sifat-sifat sosial kemasyarakatan kolektivisme sangat menipis, bahkan hampir habis karenanya. Mari kita hidupkan lagi, mari kita bangkitkan dalam diri sendiri lebih dulu. Perhatikan bagaimana perjuangan, pengorbanan, dan jasa orang lain.
Ingat, orang kaya-raya semacam apapun tak ada gunanya, dan tak ada rasa hormat dari umatnya, sebelum memperlihatkan jasa dan hasil perjuangannya. Ilmu setinggi langit dengan segala titel di kantong, tak ada gunanya bila tidak berjasa bagi umat. Orang yang hanya seperti itu suka berpikir untuk dirinya sendiri saja, tidak bisa berjasa, apalagi kepada famili, keluarga, bangsa dan agamanya. []