Jakarta, Gontornews – Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) secara resmi mengeluarkan daftar peraturan-peraturan daerah (Perda) yang dibatalkan, Selasa (21/6) sore. Kemendagri merilis 3.143 Perda yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, serta peraturan perundangan yang lebih tinggi
“Tujuan dari pembatalan Perda ini adalah memperkuat daya saing bangsa di era kompetisi. Perda itu merupakan aturan yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi, hambat investasi, dan kemudahan berusaha,†ungkap Tjahjo Kumolo di Jakarta, Senin (20/6).
Sebagai wujud dari keterbukaan informasi publik, Kemendagri mempersilakan masyarakat untuk mengunduh daftar Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah melalui link berikut: https://drive.google.com/file/d/0B3EANN9ZJWf5RW1rYzkyR01LVTA/view?usp=drivesdk
Dari 3.143 Perda yang dimaksud, terdiri dari 1765 Perda/Perkada kabupaten/kota yang dicabut/direvisi Menteri Dalam Negeri, 111 Peraturan/Putusan Menteri Dalam Negeri yang dicabut/revisi oleh Menteri Dalam Negeri, dan 1.267 Perda/Perkada kabupaten/kota yang dicabut/direvisi Gubernur.
Tidak seperti yang diberitakan sebelumnya, di Provinsi Banten, tidak tercantum pembatalan Perda yang terkait dengan pembukaan warung makan di bulan Ramadhan seperti yang terjadi pada kasus bu Saeni.
Meski demikian, Direktur Eksekutif Institute for Islamic Tought and Civilization (INSIST), Syamsuddin Arif, mewaspadai adanya beberapa Perda bernuansa syariah yang dianggapnya sebagai manifestasi amar ma’ruf nahi munkar sejumlah pendiri ormas Islam dan Muslim di Indonesia.
“(Perda) ini merupakan misi para pendiri Muhammadiyah, NU, Persis dan semua ormas islam di Indonesia,†kata Syamsuddin Arif kepada Gontornews.com.
“Perda ini juga mewakili aspirasi publik di daerah-daerah tersebut. Sebutlah Aceh dan Bulukumba misalnya,†tambahnya.
Syamsuddin juga mendorong Pemerintah agar mengklarifikasi dan menjelaskan pemberitaan ini sehingga tidak timbul di masyarakat penjelasan yang terkesan “ngeles†atau ambigu.
“Pemerintah perlu mengklarifikasi (peraturan) secara transparan kepada masyarakat. Pemerintah juga perlu melakukan audiensi dengan tokoh-tokoh masyarakat agar tidak terkesan sewenang-wenang,†pungkasnya. [Mohamad Deny Irawan/Rus]