“Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 16, 17 dan 18 Masehi sebagai Akar Pembaharuan Islam.” Demikian desertasi Prof Azyumardi Azra yang menjelaskan tentang hubungan Demokrasi dan Islam di tengah perdebatan yang terjadi di beberapa kalangan masyarakat.
Sebagai seorang yang berlatar belakang sejarawan Islam, tentunya Prof Azyumardi sangat memahami atau memahami dengan nyata, baik secara empirik maupun historis, relasi tentang Keislaman dengan Keindonesiaan dan Keislaman dengan Demokrasi.
Desertasi yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia itu hadir ketika adanya Partai Islam yang maju dan berkontribusi dalam pemilihan 2004. Prof Azyumardi memahami bahwa Islam dalam hal ini Partai Islam dapat berelasi dengan demokrasi di Indonesia.
Tidak hanya itu, dalam desertasi tersebut Prof Azyumardi juga mencoba untuk mengoreksi kesalahpahaman yang menyatakan bahwa alumni Timur Tengah agen teroris atau agen radikalisme hanya karena dianggap belajar di negara yang merupakan sarang radikalisme. Namun dengan hadirnya desertasi tersebut, semua itu telah terkoreksi dan terbantahkan.
Oleh sebab itu, penelitian Prof Azyumardi Azra menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara Demokrasi dan Islam karena keduanya comfortable. Lalu beliau pun mengatakan bahwa anggapan bahwa demokrasi tidak dapat hidup di alam bebas di Indonesia merupakan hal yang tidak benar.
Di Albania, salah satu negara di Uni Eropa, dengan mayoritas Muslim, menganut sistem bernegara Demokrasi, dan itu berjalan dengan lancar, dan bahwa Demokrasi di negara itu selaras dengan Islam sebagai agama mayoritas. Lantas, bagaimana di Indonesia?
Indonesia juga merupakan negara besar dengan maroyoritas Muslim, dan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, namun ada beberapa pihak yang menyatakan bahwa Islam tidak sejalan dengan demokrasi, maka itu salah besar. Bagaimana Islam memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia, perjuangan para ulama bahkan kerajaan-kerajaan Islam yang rela berkorban demi Kesatuan Negara Indonesia, maka jangan lupakan “Jas Merah”, jangan lupakan sejarah.
Prof Azyumardi Azra, sangat marah dan tidak menerima segala bentuk aturan yang mendiskreditkan Islam. Sebab, negara ini tidak akan merdeka tanpa adanya perjuangan umat Islam kala itu.
Salah satu hal yang membuatnya marah saat itu, ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, mengeluarkan RUU mengenai peta pendidikan, atau aturan mengenai Kamus Bahasa Indonesia dan atau soal rencana pembubaran madrasah di Indonesia.
Beliaupun kemudian berkomunikasi dengan DPR Komisi 10 untuk kemudian mengoreksi RUU tersebut, dan rencana-rencana yang hanya akan memecah belah persatuan, mengadu domba antarumat beragama. Padahal, dalam UUD 1945, negara memberikan kebebasan kepada warga negaranya untuk memeluk keyakinan masing-masing.
Hasilnya, Alhamdulillah semua dapat dikoreksi, madrasah tidak jadi dihilangkan, demikian dengan RUU Sisdiknas sudah dapat terkoreksi. Sekarang ini pun kami meminta untuk dikeluarkan dari Prolegnas 2023 dan Alhamdulillah sudah ditarik dan tidak dimasukkan ke dalam Prolegnas 2023. Untuk peta jalan pendidikan nasional juga bisa digusur dan dikoreksi, bahkan kamus Bahasa Indonesia yang dua jilid manipulatif juga Alhamdulillah sudah bisa ditarik.
Menurut saya itu satu hal yang harus ditindaklanjuti, tentang bagaimana kegiatan mempraktikkan demokrasi, menjalankan demokrasi dalam konteks keislaman pun bisa menghadirkan kerjasama, bukan saling menegasikan atau saling melupakan, merasa hebat sendiri sehingga tidak mau bekerjasama.
Bahwa kerjasama bisa dilakukan dan hasilnya luar biasa. Keaktifan kita berislam dan kecintaan kita terhadap bangsa sangat penting untuk kemajuan Indonesia tercinta.
Tidak hanya itu, keberanian Prof Azyumardi Azra bukan hanya memberikan klarifikasi mengenai masalah demokrasi dan Islam khususnya di Indonesia, beliau juga menegaskan bahwa demokrasi dan demokratisasi tidak mungkin dijalankan sendirian atau tidak mungkin dikerjakan hanya oleh intelektual, atau orang-orang kampus saja, atau hanya oleh satu pihak saja, tapi mengerjakan dengan langkah kolaborasi maksimal, baik dengan DPR maupun dengan partai politik.[]