Jakarta, Gontornews– Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr Yunahar Ilyas turut prihatin dengan adanya pernyataan “pemimpin non Muslim yang adil lebih baik dibandingkan pemimpin Muslim yang korup.” Pernyataan tersebut tendensius karena membandingkan sesuatu yang tidak seimbang.
Menurut Yunahar, membandingkan dua hal yang tidak seimbang itu pasti ada maksud tertentu. Sama saja membandingkan antara perempuan yang berpendidikan tinggi dengan laki-laki yang tidak sekolah. “Itu bukan perempuannya yang pintar tapi laki-lakinya yang tidak sekolah,†tuturnya.
Ketua Muhammadiyah ini mengatakan bahwa sekarang ini ada perang propaganda. Ada maksud membuat opini dengan menyudutkan pemimpin Muslim dan menonjolkan pemimpin non Muslim. “Ini tidak ada urusannya dengan kebernaran tapi dengan kepentingan. Kalau kepentingan, tergantung siapa yang punya kepentingan,†paparnya.
Dari sudut pandang Islam, menilai pemimpin itu pertama adalah pribadi yang beriman. Kedua mendirikan shalat, ketiga hartanya bersih dan hatinya bersih dari penyakit harta serta berpihak kepada rakyat kecil. Keempat siapa yang paling taat kepada ajaran Islam itulah yang pantas memimpin.
Selain itu, perlu dinilai juga aspek leadership dan keahliannya yang dibutuhkan dalam mempimpin. Tidak mesti berpengalaman di birokrasi, karena pengalaman menjadi senat mahasiswa  pun sudah dianggap mampu memimpin. “Kita harus bisa membedakan yang dicari ini pempin seperti apa. Kalau yang dicari ulama kriterianya yang ilmunya tinggi, akhlaknya baik dan tawadhu. Kalau yang dicari seorang gubernur tentu ada beberapa pertimbangan. Bagi MUI pertimbangan yang penting adalah Musim serta bermanfaat maslahat untuk umat,†paparnya.
Pemimpin harus jujur, punya kemauan keras, punya keberanian, ketegasan dan punya hati nurani. Kalau hanya tegas, asal bisa menggusur seperti yang dihadapi rakyat miskin, itu bukan pempimpin yang baik. “Mereka (rakyat ) berjualan itu untuk bertahan hidup. Kalau soal menggusur bersih semua orang bisa,†paparnya.
Kiai Yunahar menambahkan, daripada memilih pemimpin non Muslim yang dolim lebih baik memilih pemimpin Muslim yang adil. “Kalau begitu dibalik saja, lebih baik memilih pemimpin Muslim yang adil dan jujur daripada pemimpin Muslim yang tidak adil,†tandas pria kelahiran Bukittinggi, 22 September 1956 ini.  [Ahmad Muhajir/Dedi Junaedi] Â