Harta atau uang dalam diskursus tradisi keilmuan Islam mempunyai peran yang penting tetapi bukan satu-satunya.
Secara etimologi, uang berasal dari kata nuqud atau al-Naqdu yang bermakna: tunai, lawan tunda, memberikan bayaran harga. Dalam hadis Jabir: “naqadani al- tsaman” (ia membayarku harga tunai).
Kata nuqud tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW. Umumnya bangsa Arab tidak menggunakan kata nuqud untuk menunjukkan harga. Mereka menggunakan kata dinar dan dirham. Dinar berasal dari bahasa Romawi; denarius yaitu nama untuk emas cetakan.
Sedangkan dirham berasal dari bahasa Yunani; drachma (perak cetakan).
Selain dinar dan dirham, juga terdapat kata fulus yang berarti uang dari tembaga. Dalam hal ini uang sering didefinisikan sebagai alat yang mempunyai nilai tukar suatu barang yang akan di dapatkan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhannya.
Menurut Abu Ubaid (224 H), dirham dan dinar adalah nilai harga sesuatu. Hal ini dapat diartikan bahwa dinar dan dirham adalah standar ukuran yang dibayarkan dalam transaksi barang dan jasa.
Al-Ghazali (595 H) menyatakan, Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah di antara seluruh harta sehingga seluruh harta bisa diukur dengan keduanya.
Ibn al-Qayyim (751 H) berpendapat, dinar dan dirham adalah nilai harga komoditas.
Artinya pendapat di atas mengisyaratkan bahwa uang adalah standar unit ukuran untuk nilai harga komoditas.
Konsep Harta atau Uang
Dalam memandang dunia, Islam selalu bersikap tengah-tangah dan seimbang. Islam tidak condong kepada paham yang menolak dunia secara mutlak, yang menganggap dunia adalah sumber kejahatan yang harus dilenyapkan, yaitu dengan menolak kawin dan melahirkan keturunan, berpaling dari kesenangan kenikmatan dunia dari hal makanan, minuman, pakaian, perhiasan, dan kesenangan-kesenangan lainnya serta menolak kerja keras untuk kepentingan duniawi.
Dunia adalah jalan menuju tempat yang lebih kekal. Karena dunia ini merupakan jalan, maka ia dibuat sedemikian rupa agar manusia yang melewatinya merasa aman dan sampai ke tujuan dengan selamat. Misalnya, kita dapat melihat ungkapan al-Qur’an tentang umat Islam yang hidup moderat: ”Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala di akhirat.” (QS Ali Imran: 148)
Dalam hadis dijelaskan, “Ketika datang seorang lelaki kepada Rasulullah ia berkata, “Ya Rasulullah, apa yang saya ucapkan tatkala meminta kepada Allah?” Nabi menjawab, “Katakanlah, “Ya Allah, ampunilah saya, selamatkan saya (dari penyakit dan malapetaka), karuniakan rezeki bagiku”.”
Sesungguhnya doa-doa ini menghimpun bagimu kebahagiaan dunia dan akhirat. Ta’awwudz merupakan ungkapan meminta perlindungan dari Allah, baik dunia maupun akhirat. Dengan demikian, sikap jalan tengah merupakan prinsip dan syiar Islam, seperti para sahabat yang hidup berlimpah harta untuk kepentingan agama, tanpa sedikitpun melupakan kehidupan dunia dan akhiratnya. Di antara sahabat merupakan pedagang sukses dan orang kaya seperti Ibnu Affan dan Ibnu Auf dan ada juga yang hidup sederhana dan zuhud seperti Abu Darda dan Salman.
Dari penjelasan di atas disimpulkan bahwasannya harta atau uang dalam diskursus tradisi keilmuan Islam mempunyai peran yang penting tetapi bukan satu-satunya, hanya salah satunya. Artinya Islam sangat memperhatikan konsep uang dan tidak dimarginalkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Uang Dalam Tradisi Keilmuan Islam. Terdapat beberapa masa sejarah pembentukan uang dalam tradisi keilmuan Islam. Masa itu adalah sebagai berikut.
Pertama, uang pada masa kenabian. Bangsa Arab di Hijaz pada masa jahiliah belum memiliki mata uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum dan Dirham perak Dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman. Penduduk Mekkah tidak memperjualbelikan kecuali sebagai emas yang tidak ditempa dan tidak menerimanya kecuali dalam ukuran timbangan. Hal ini disebabkan beragamnya bentuk dirham dan ukurannya dan muncul penipuan pada mata uang mereka seperti nilai tertera yang melebihi dari nilai sebenarnya.
Berdasarkan sejarah Islam, pada masa Rasulullah SAW mata uang menggunakan sistem bimetallism standard (emas dan perak). Demikian juga pada masa Bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Dalam pandangan Islam mata uang yang paling stabil dan tidak mungkin terjadi krisis moneter karena nilai intrinsik sama dengan nilai riil. Mata uang ini dipergunakan bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Nabi SAW memerintahkan penduduk Madinah untuk mengikuti ukuran timbangan penduduk Mekkah ketika berinteraksi ekonomi, dengan menggunakan dirham dalam jumlah bilangan bukan ukuran timbangan.
Kedua, uang pada masa khulafaurrasyidin. Ketika Abu Bakar di bai’at menjadi khalifah, beliau tidak melakukan perubahan terhadap mata uang yang beredar, bahkan menetapkan apa yang sudah berjalan dari masa Nabi SAW. Begitu juga ketika Umar bin Khattab di bai’at sebagai khalifah, karena beliau sibuk melakukan penyebaran Islam ke berbagai negara, beliau menetapkan persoalan uang sebagaimana yang sudah berlaku.
Ketiga, uang pada masa dinasti umayah. Pencetakan uang pada masa Dinasti Umayah masih meneruskan model Sasanid dengan menambahkan beberapa kalimat tauhid, sepeti pada masa Khulafaurrasyidin. Pada masa Abdul Malik bin Marwan, pada tahun 78 H, beliau membuat mata uang Islam yang bernafaskan model Islam tersendiri.
Dengan adanya pencetakan mata uang Islam, hal ini mampu untuk merealisasikan stabilitas politik dan ekonomi, mengurangi pemalsuan dan manipulasi terhadap mata uang.
Keempat, uang pada masa dinasti abbasiyah dan sesudahnya. Pada masa ini pencetakan dinar masih melanjutkan cara Dinasti Umayah. Pada masa ini ada dua fase. Fase pertama: Terjadi pengurangan terhadap ukuran dirham kemudian dinar. Fase kedua: Ketika pemerintahan melemah dan para pembantu dari orang Turki ikut serta mencampuri urusan negara. Ketika itu pembiayaan semakin besar, orang-orang sudah menuju kemewahan sehingga uang tidak lagi mencukupi kebutuhan.
Pada masa pemerintahan Mamalik, pencetakan uang tembaga (fulus) menjadi mata uang utama dan pencetakan dirham dihentikan karena beberapa sebab: Pertama, penjualan perak ke negara-negara Eropa.
Kedua, impor tembaga dari negara-negara Eropa semakin bertambah, akibat dari peningkatan produksi pertambangan di sebagian besar wilayah Eropa.
Ketiga, meningkatnya konsumsi perak untuk pembuatan pelana dan bejana.
Etika Mencari Uang/Harta
Kehidupan seorang Muslim selalu dituntun untuk bekerja (etos gerak). Al-Qur’an mendorong Muslim untuk bergerak dan berbuat sesuatu yang baik secara aktif. Isalm yang dikonotasikan dengan “jalan”, memberikan gambaran bahwa ajarannya adalah ajaran dinamis, bergerak, dan berubah menuju kesempurnaan sesuai dengan yang divita-citakan. Orang Islam yang berjalan di atas jalan tersebut lazimnya bergerak, dinamis, aktif serta tidak diam (pasif) dalam suatu kondisi. Bagi orang yang mencari perubahan, Allah menjanjikan kemudahan dan keleluasaan sebagai apresiasi atas usaha yang dilakukan oleh manusia.
Seperti pada QS An Nisa: 100.
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Al-Qur’an maupun as-Sunah telah memberikan berbagai apresiasi untuk mendorong manusia agar berbuat dan berkreasi sesuai dengan profesi dan potensi masing-masing untuk mendapatkan harta secara halal serta mendistribusikan.
Anjuran dan suruhan al-Qur’an terhadap usaha dan pemenuhan tanggung jawab, bukan sedekar perintah bekerja yang hanya menghasilkan materi.
Al-Qur’an menghendaki agar kerja manusia diorientasikan pada nilai-nilai suci, bukan sekedar materi secara unsich. Nilai suci dari materi ditentukan oleh fungsi dan kegunaan untuk kemaslatan dalam memenuhi hajat hidup manusia.
Al-Qur’an memberikan orientasi melalui tata cara dalam mencari materi yang harus dipatuhi oleh manusia. Orientasi tersebut untuk memberikan keseimbangan usaha manusia dalam mendapatkan materi agar sesuai dengan harapan yang dicita-citakan sebagai khalifah di bumi. Keseimbangan tersebut baik terhadap Tuhan, terhadap dirinya sendiri, terhadap lingkungan, maupun terhadap sesama manusia. Tata cara tersebut di antaranya adalah melarang manusia bertransaksi yang tidak legal baik dalam perspektif yuridis maupun etis, penyempurnaan timbangan atau takaran dalam transaksi, larangan bersistem riba, dan menekankan kepada tanggung jawab yang penuh. Wallahu a’lam.[]