Quito, Gontornews —Â Pemerintah Ekuador kembali merilis daftar korban gempa Ekuador, Ahad (17/4). Presiden Ekuador, Rafael Correa, menyebutkan jumlah korban tewas akibat gempa berkekuatan 7,8 Skala Richter tersebut mencapai 413 jiwa, dan 2.500 lainnya mengalami luka-luka.
Ini bencana terburuk yang pernah dialami Ekuador sejak tujuh dekade terakhir.
Pemakaman massal dilakukan di dua kota terparah, Portoviejo dan Padernales.
“Saya takut jumlah korban akan bertambah seiring dengan penelusuran di puing-puing bangunan yang runtuh,” jelas Correa dalam pidatonya di televisi lokal. Bagi Pemerintah Ekuador, keselamatan korban reruntuhan menjadi prioritas utama.
Akibat musibah ini, Ekuador mengalami kerugian materi hingga miliaran dolar. Kondisi ini sedikit tertolong dengan mulai pulihnya harga minyak mentah di pasar internasional beberapa waktu lalu.
Bantuan internasional untuk membantu Ekuador pun berdatangan, salah satunya dari Organisasi Negara-negara Amerika (OAS). Luis Amargo, sekretaris OAS, memastikan akan mengucurkan dana organisasi sebagai upaya pemulihan bencana. Selain OAS, Kementerian Keuangan Ekuadro juga menerima 2 miliar dolar dari China Development Bank untuk pembangunan kembali infrastruktur yang hancur akibat gempa.
Senin (18/4), wilayah Barat Ekuador kembali diguncang gempa berkekuatan 5,1 SR. Walikota Padernales, Gabriel Alcivar, menyebut wilayahnya kini rata dengan tanah.
“Pedernales hancur,” kata Alcivar pada media lokal. Ia  juga menyebut sejumlah bangunan runtuh dengan sejumlah wisatawan berada di dalam reruntuhan tersebut dan sebagian besar mereka dikabarkan tewas.
“Kami sedang berusaha melakukan langkah-langkah yang bisa kami lakukan. (Dengan keadaan seperti ini) hampir tidak ada yang bisa kita lakukan,” papar Alcivar.
Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat, sebagaimana dilansir BBC.com, mengatakan bahwa pusat gempa terjadi di perairan dangkal dengan kedalaman 19.2 km atau sekitar 27 km dari Muisne.
Para Ilmuwan juga mengatakan, tidak ada keterkaitan antara gempa yang terjadi di Ekuador dan kejadian serupa di selatan Jepang, Sabtu (16/4) lalu. [Mohamad Deny Irawan/Rusdiono Mukri]