Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Rakyat makin geram terhadap sikap KPU. Awalnya curiga kok KPU bikin kotak surat suara dari kardus. Itu terjadi di saat kepercayaan rakyat sedang anjlok. Otomatis muncul kecurigaan adanya rencana kecurangan. Rasa curiga ini berawal dari data DPT (Daftar Pemilih Tetap) masih bermasalah. Lalu muncul fakta KTP berceceran di berbagai tempat. Tiada ujung dalam pengusutan. Tak ada terduga, apalagi tersangka.
Berbagai alasan normatif dibuat. Pertama, karena adanya aturan yang membolehkan. Kedua, untuk menekan anggaran negara. Jelas terkesan mengada-ada. Ganjil, alias tak masuk di akal. Hajat demokrasi yang sangat penting, dan ditunggu rakyat karena akan menentukan masa depan bangsa seolah dipermainkan. Ini bukan soal kardus. Ini masalah akses dan potensi kecurangan. Bukan rahasia umum bahwa pemilu kita selama ini sarat kecurangan. Eh, malah diperlebar aksesnya dengan kotak suara dari bahan kardus.
Belum selesai soal ini, muncul kebijakan baru KPU: penyampaian visi dan misi dibatalkan. Alasannya? Dua pihak tak ada kesepakatan. Petahana minta diwakili oleh timses, sementara kubu Prabowo-Sandi menuntut Paslon yang menyampaikan. Akhirnya, batal! Aneh, aturan KPU diserahkan pada kesepakatan Paslon. Kalau gak disepakati, gak jadi. Kalau aturan diserahkan ke Paslon, kenapa dua Paslon gak suit aja. Humpimpah alaikum gambreng. Lahirlah presiden dan wakil presiden baru. Kelar negeri ini.
Nampak sekali kalau KPU tidak punya standar bagaimana membuat aturan dan kebijakan untuk mengawal pemilu agar berkualitas. Jangan sampai rakyat bilang bahwa standar KPU sudah disesuaikan dengan standar kemenangan Paslon. Kalau benar begitu, KPU telah berubah fungsi jadi pemain, bukan wasit. Dan ini akan jadi pembunuhan pelan-pelan dan sistematis terhadap demokrasi. Dengan begitu, masa depan bangsa akan terancam.
Masalah pembatalan visi dan misi sedang hangat diperbincangkan publik, datang lagi kebijakan baru yang tak kalah anehnya. KPU membuat keputusan untuk mengirimkan bocoran pertanyaan ke Paslon seminggu sebelum debat dimulai. Apa alasanya? Agar Paslon punya waktu mempelajari, dan menyiapkan jawabannya dengan detil.
Kita bisa bayangkan jika pemimpin dihadapkan pada berbagai masalah bangsa yang datang tiba-tiba. Tak terduga, dan keluar dari rencana. Kalau dihadapkan pada pertanyaan spontan panelis saja gak siap, bagaimana mau menghadapi problem besar bangsa yang tiba-tiba?
Justru yang dibutuhkan dari seorang pemimpin adalah kemampuannya menghadapi masalah. Bagaimana di tengah masalah itu ia tampil untuk memberikan solusi.
Banyak masalah bangsa yang datang tiba-tiba. Gempa dan tsunami bertubi-tubi di saat dolar naik, utang mulai sulit dan APBN defisit. Bagaimana cara mengatasinya? Disinilah kecerdasan dan insting seorang pemimpin akan menentukan. Misal, musibah datang, pemimpin hadir ke pengungsian, ke rumah sakit, untuk pertama, memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin yang selalu hadir di tengah rakyat yang terdampak bencana. Kedua, instruksikan kepada kementerian dan dinas terkait untuk mendata dan menyelesaikan kebutuhan mereka. Bila perlu, gunakan anggaran dari pos lain. Ini dharurat. Jadi, datang tepat waktu, tepat sasaran dan tepat kebijakan. Bagaimana jadi pemimpin jika tidak siap untuk reaksi tanggap dharurat?
Rencana oktober produksi mobil Esemka. Lalu, uji emisi gak lolos. Bagaimana solusi alternatifnya agar rakyat tak kecewa? Disinilah seorang pemimpin dituntut kecerdasan, kecekatan dan ketegasannya. Jangan bilang: itu bukan urusan pemerintah. Itu urusan perusahaan swasta. Loh!
Rupiah anjlok dan dolar melambung tinggi. Padahal janjinya diangka 10 ribu rupiah. Das sain gak sesuai das sollen. Ekspektasi tak seindah kenyataan. Seorang pemimpin dituntut untuk cerdas dan bertanggung jawab dalam menyikapi. Tidak boleh diam, apalagi berlagak lupa.
Masalah bangsa ada yang predictable, mudah diprediksi, tapi banyak yang unpredictable, tak bisa diprediksi. Karena itu, butuh pemimpin yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Pemimpin adalah eksepsional person. Manusia yang berbeda.
Debat capres-cawapres yang selama ini berlaku yaitu mendayagunakan para panelis untuk membongkar isi otak capres-cawapres itu sangat bagus. Para panelis mengajukan berbagai pertanyaan terkait dengan kondisi bangsa, dan menguji sejauhmana para calon pemimpin bangsa ini mengerti dan menguasai problem bangsa yang akan dipimpinnya. Lalu memberi solusi cepat dan tepat. Ini on the track. Dari sini rakyat bisa menilai kemampuan para calon pemimpin.
Anehnya, KPU mau merubahnya. Rencananya, pertanyaan lebih dulu dikirim ke capres-cawapres. Ini jadi kesempatan bagi capres-cawapres untuk menyerahkan pertanyaan-pertanyaan itu ke timses. Jawabannya tinggal dihafal dan disampaikan saat debat.
Kalau begitu, lalu apa gunanya nyapres dan nyawapres kalau untuk menjawab pertanyaan saja harus menghafal dari timsesnya? Ini modus menghindar. Jangan sampai bilang: saya mau ngetes para timses saya. Silahkan timses anu…. Lah pripun toh mas…
Keputusan KPU tentang pembatalan penyampaian visi-misi dan mengirim pertanyaan ke Paslon sebelum jadual debat, ini sangat berbahaya. Pertama, akan melahirkan pemimpin yang boleh jadi tak paham dengan visi dan misinya. Karena, tanggungjawabnya diserahkan kepada timses. Kedua, akan lahir pemimpin yang tidak siap dengan masalah. Ketiga, membuat pemimpin akan kehilangan legitimasi dari rakyatnya.
Dugaan publik terus tumbuh bahwa KPU tidak sedang menjadikan demokrasi sebagai ikhtiar untuk melahirkan kepemimpinan yang berkualitas, tapi KPU ada untuk melayani paslon tertentu. Jika kecurigaan ini menguat, legitimasi KPU makin lemah dan pemilu terancam. Rakyat akan berpikir, untuk apa pemilu diselenggarakan jika KPU tak netral?