Berkurban pada Hari Raya Idul Adha bukanlah sekedar prosesi penyembelihan hewan semata. Sebab di dalamnya terkandung nilai-nilai filosofis dan ketakwaan yang besar dari diri seorang Muslim kepada Rabb-nya, Allah SWT.
Allah SWT mengisahkan pengurbanan dan keikhlasan Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih putra kesayangannya, Nabi Ismail AS. Mendengar kisah tersebut rasio atau akal manusia yang tidak beriman akan susah dan bahkan tidak bisa menerimanya. Bayangkan saja, seorang ayah diperintahkan untuk mengurbankan putra tercinta yang sudah lama dinantikan kehadirannya. Demikian pula Nabi Ismail AS, putranya yang dengan ikhlas menerima segala bentuk perintah yang diperintahkan Allah SWT kepada ayahnya.
Dari sini terlihat bagaimana semua logika manusia itu runtuh seketika, ketika iman seorang hamba begitu dekat dengan Rabb-nya dan meletakkan Allah SWT di atas segalanya. Maka sudah seharusnya seorang Muslim menjadi orang yang siap berkurban jiwa dan raga, harta juga takhta, demi tunduk kepada perintah Allah SWT.
Ustadz Dr Muhammad Sarbini MHI kepada Majalah Gontor menuturkan, “Tujuan utama penyembelihan hewan kurban adalah takwa.” Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Hijr ayat 37 yang artinya, “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian. Demikianlah Dia menundukkannya untuk kalian agar kalian mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepada kalian dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat ihsan.”
Wujud ketakwaan itu pada akhir ayat ini, sambung Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Harakah Sunniyah untuk Masyarakat Islami (HASMI) itu, dinyatakan dalam bentuk ihsan, berbuat kebaikan yang mulia. Pertama, ihsan kepada Allah SWT. Caranya dengan melakukan semua amal-amal kebaikan sebagai bentuk taqarrub (pendekatan) kepada Allah SWT, seperti shalat yang mengandung sujud, doa, dzikir, dan membaca al-Qur’an.
Kedua, ihsan kepada sesama manusia. Caranya dengan melakukan semua perintah Allah SWT yang dampaknya untuk kepentingan sesama. Dalam hal ini Allah SWT melambangkannya dengan nusuki yaitu sembelihanku, karena menyembelih binatang itu berisi ihsan yang sangat menyenangkan bagi sesama, makanan dan lauk pauk sekaligus di satu zat.
Jadi, tambah Ustadz Sarbini, setelah kita melaksanakan shalat Idul Adha sebagai bentuk ihsan kepada Allah SWT, kita juga melaksanakan udhiyyah, memotong hewan kurban sebagai bentuk ihsan kepada sesama.
Dan lagi-lagi semua hal ini terlahir dari ketakwaan kepada Allah SWT. Jadi akan sangat sulit dilakukan oleh jiwa yang tidak bertakwa. “Kalaupun ada yang melakukannya, mungkin banyak yang hanya untuk berlomba-lomba menampilkan harta mereka saja, seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah terdahulu,” papar Ustadz Sarbini.
Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura, Dr KH Ahmad Fauzi Tidjani MA menambahkan bahwa pelajaran yang penting untuk kita ikuti dalam merayakan setiap Hari Raya Idul Adha ialah perlunya memupuk semangat untuk memiliki dan membagi. “Pesan implisit ini terbaca dari dari dua ibadah yang dilaksanakan umat Islam mengiringi perayaan Idhul Adha, yakni menyembelih kurban dan melaksanakan haji bagi Muslim yang mampu,” terangnya.
Kiai Fauzi Tidjani menyebutkan, setiap Muslim yang ingin menyempurnakan kemuslimannya tentu akan berusaha keras untuk melaksanakan kedua ibadah tersebut. Mengingat salah satu kemampuan yang dibutuhkan itu dari segi finansial, maka dengan sendirinya keinginan kuat itu harus diwujudkan dengan ikhtiar guna mengumpulkan sejumlah dana yang diperlukan.
“Ajaran Islam mendorong umatnya untuk bisa memiliki atau mampu secara finansial agar keislamannya bisa disempurnakan,” paparnya.
Tak hanya berhenti pada semangat memiliki, melainkan juga mesti diikuti dengan semangat untuk mau berbagi apa yang dimiliki. Tanpa semangat itu, lanjut KH Fauzi Tidjani, seorang Muslim belum tentu bisa melaksanakan kurban atau haji.
Hal ini terbukti bahwa banyak orang yang sudah mampu secara finansial, tetapi enggan untuk berkurban atau melaksanakan haji. Salah satu penyebabnya tidak adanya kemauan dan semangat untuk berbagi.
Berkurban tidaklah semata-mata menyembelih kambing atau sapi, akan tetapi juga membagikan dagingnya kepada mereka yang berhak. “Demikian juga haji, tanpa semangat berbagi tentu akan sayang untuk mengeluarkan biaya perjalanan haji yang jumlahnya tidak sedikit,” tambah putra almarhum KH Mohammad Tidjani Djauhari MA tersebut.
Selain semangat memiliki, Islam juga menyuruh kita untuk mempunyai semangat berbagi. Banyak sekali ayat al-Qur’an maupun hads yang mendorong setiap Muslim untuk mau berbagi (berinfaq, bershadaqah, berzakat, dan sebagainya).
Sayangnya, perintah tersebut lebih sering dilihat dari sudut pandang berbeda. Indikasinya paling tidak bisa kita temui, misalnya masih banyak orang kaya yang enggan berinfaq dan bershadaqah.
Kembali kepada hikmah dari berkurban di atas, bahwa pada setiap perayaan Idul Adha ada pesan yang bisa diambil dan diaplikasikan dalam kehidupan kita hingga akhir hayat nanti yaitu marilah berusaha maksimal dalam bertakwa dengan memupuk semangat memiliki dan berbagi dengan penuh keikhlasan.
“Semangat untuk berbagi antarsesama dengan ikhlas merupakan kunci dan esensi berkurban yang akan menumbuhkan ketenteraman, kedamaian, solidaritas sosial masyarakat, dan lainnya,” ungkap Kiai Fauzi Tidjani.
Ibadah haji dan kurban juga bisa ditafsirkan secara sosial dalam kaitan hubungan manusia dengan sesama. Banyak ayat yang menjelaskan bagaimana keshalihan individual perlu adanya upaya untuk diimbangi dengan keshalihan sosial.
Ayat-ayat haji dan kurban menunjukkan kepada kita semua perlunya pemahaman yang lebih praktis dan bermakna, serta memiliki sumbangan yang besar terhadap sukses dan bahagianya seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Di sinilah, tafsir ibadah kurban dan haji yang lebih kontekstual juga memiliki dimensi kemanfaatan dan kemaslahatan sosial yang luas. Kunci-kunci pemahaman dan penafsiran yang lebih sosial humanis diharapkan berdampak positif bagi pengalaman dan pengamalan ibadah kepada Allah SWT. Ibadah yang benar-benar bermula dari ketulusan hati dan keikhlasan beramal. Sehingga bermanfaat dalam kehidupan manusia di dunia hingga akhiratnya. “Penafsiran ini diyakini mendorong praktik keberislaman dalam rangkaian ibadah seseorang dalam hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya,” pungkas Kiai Fauzi Tidjani.
Nah, di antara upaya menebar amal kebaikan kepada sesama manusia yakni sebagaimana program “Tebar Qurban” yang tengah disosialisasikan oleh tim relawan sosial dan kemanusiaan ACT (Aksi Cepat Tanggap) dan LAZNAS (Lembaga Amil Zakat Nasional) Nurul Hayat.
Kepada Majalah Gontor, Ahmad Muhajir, pegiat Filantropi Islam, menuturkan bahwa program Tebar Qurban sudah sejak lama dilaksanakan LAZNAS Nurul Hayat. “In syaa Allah program tebar kurban pelosok desa masih lanjut. Bahkan biasanya juga disebar ke daerah-daerah terdampak bencana,” terang Muhajir.
Kegiatan ini juga dilakukan untuk memeratakan pendistribusian hewan kurban agar keberkahannya bisa dirasakan ke berbagai penjuru, termasuk ke daerah terpencil dan yang sedang dilanda bencana.
Selain itu, Gunawan Mukti Aji, ketua ACT Cabang Depok, dalam acara Sanlat Virtual MIT Nurul Iman Depok, menuturkan bahwa setiap tahun ACT mengadakan program Global Qurban. “Jadi kegiatan kurban ini dilaksanakan di dalam dan luar negeri,” terang Gunawan.
Para donator yang ingin berkurban, lanjutnya, bisa langsung menghubungi ACT Global Qurban dan nantinya proses pembelian dan penyembelihan hewan kurban langsung dilaksanakan dari titik-titik lokasi pendistribusian hewan kurban.
Akhirnya, semoga kita selalu diberi ketakwaan, kemudahan, kekuatan, serta rasa syukur kepada Allah SWT, sehingga bisa menjadi golongan orang-orang yang bersemangat untuk berkurban dengan penuh ikhlas karena Allah SWT semata. []