Landasan Teologis
وَاِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
(Akan tetapi,) jika mereka condong pada perdamaian, condonglah engkau (Nabi Muhammad) padanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya hanya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Anfal : 61)
Interpretasi Para Mufasir
Ayat tersebut menunjukkan bahwa perdamaian merupakan suatu hal yang sangat baik dilakukan. Abu Hasan Al-Mawardi dalam Tafsir Al-Mawardi menerangkan bahwa ayat tersebut memiliki tiga sudut pandang tentang perdamaian: Pertama, jika pihak yang bertentangan dengan Nabi Muhammad SAW menawarkan perdamaian, maka terimalah tawaran tersebut.
Kedua, jika suatu kelompok yang memerangi Nabi Muhammad SAW melakukan gencatan senjata, maka Nabi Muhammad SAW sudah sepantasnya untuk melakukan gencatan senjata pula.
Ketiga, jika ada suatu kaum mau menerima ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW maka terimalah mereka dan tidak perlu untuk mengetahui isi hatinya sampai curiga apakah yang mereka lakukan atas dasar kerelaan secara lahir dan batin atau tidak.
Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsîr Al-Munîr mengatakan bahwa perdamaian lebih utama daripada peperangan. Nilai semangat perdamaian merupakan ajaran utama dari syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Menurutnya, Islam adalah agama perdamaian, hidayah, dan cinta. Peperangan yang terjadi pada waktu itu terjadi dalam kondisi terpaksa karena tidak ada alternatif lainnya.
Syekh Nawawi Al-Bantani, dalam kitab Tafsir Marah Labib menjelaskan, ayat ini memerintahkan umat Islam untuk menerima perdamaian jika musuh menawarkannya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang cinta damai dan selalu berusaha untuk menghindari konflik.
Pada ayat ini, Nabi juga diperintah untuk bertawakal kepada Allah setelah condong pada perdamaian menunjukkan bahwa manusia tidak boleh lengah dalam usahanya untuk mencapai perdamaian. Di satu sisi, manusia harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai perdamaian, dan di sisi lain, manusia harus selalu berserah diri kepada Allah dan memohon petunjuk dan pertolongan-Nya.
Merujuk Ibnu Jarir dalam kitabnya Tafsir Jami’ul Bayan, Islam mengajarkan bahwa membunuh satu jiwa sama saja dengan membunuh seluruh umat manusia. Islam dengan tegas melarang segala bentuk kekerasan. Disebutkan, pelaku tindakan keji ini akan mendapatkan balasan setimpal, yaitu neraka Jahanam.
Perdamaian dalam Islam bukan hanya berarti terbebas dari peperangan, tetapi juga menciptakan suasana yang aman, tenteram, dan saling menghormati antarsesama. Umat Islam diharuskan untuk membangun hubungan harmonis dengan semua pihak, baik sesama Muslim maupun non-Muslim. Dengan demikian, tercipta kehidupan yang penuh kedamaian dan kebahagiaan.
Nilai-nilai Pendidikan
QS Al-Anfal: 61 mengandung sejumlah nilai-nilai pendidikan untuk manusia. Pertama, mendidik hamba-Nya agar senantiasa beriman dan bertakwa atas apa yang Allah perintahkan.
Kedua, senantiasa menciptakan perdamaian dalam segala kondisi apapun agar nyaman, aman, tenang dan bahagia.
Ketiga, mengajarkan hamba-Nya agar menjadi insan yang senantiasa berdoa, beriktiar dan bertawakal dalam segala urusannya agar mendapat petunjuk dari-Nya.
Keempat, menumbuhkan rasa empati dan solidaritas kepada orang lain dan menjauhi rasa saling curiga yang menimbulkan konflik dan perpecahan.
Makna Doa
Pengertian doa dalam Islam adalah sikap berserah diri kepada Allah SWT.
Imam Hafizh Ibnu Hajar dari Imam At-Thaibi dalam Kitab Fathul Bari, memperlihatkan sikap berserah diri dan merasa membutuhkan Allah SWT, karena tidak dianjurkan ibadah melainkan untuk berserah diri dan tunduk kepada Pencipta serta merasa butuh kepada Allah SWT.
Dengan demikian, doa sebagai bentuk penghambaan dan komunikasi langsung dengan Allah. Pentingnya doa sebagai bentuk pengharapan dan permohonan kepada Allah.
Allah berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَࣖ
Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan). Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk (neraka) Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS Ghafir: 60)
Imam Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menuturkan bahwa Syaikh Taqiyuddin Subki berkata: Yang dimaksud doa dalam ayat di atas adalah doa yang bersifat permohonan, dan ayat berikutnya ‘an ‘ibaadatiy menunjukkan bahwa berdoa lebih khusus daripada beribadah, artinya barangsiapa sombong tidak mau beribadah, maka pasti sombong tidak mau berdoa.
Dengan demikian ancaman ditujukan kepada orang yang meninggalkan doa karena sombong dan barangsiapa melakukan perbuatan itu, maka dia telah kafir. Adapun orang yang tidak berdoa karena sesuatu alasan, maka tidak terkena ancaman tersebut. Walaupun demikian memperbanyak doa tetap lebih baik daripada meninggalkannya sebab dalil-dalil yang menganjurkan berdoa cukup banyak.
Makna Ikhtiar
Kata ikhtiar diambil dari bahasa Arab, yakni ‘ikhtaara‘ yang artinya memilih. Sementara dalam bentuk kata kerja, ikhtiar berarti melakukan upaya atau usaha untuk memilih hal yang baik.
Allah berfirman:
وَمَنْ جَاهَدَ فَاِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
Siapa yang berusaha dengan sungguh-sungguh (untuk berbuat kebajikan), sesungguhnya dia sedang berusaha untuk dirinya sendiri (karena manfaatnya kembali kepada dirinya). Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan suatu apa pun) dari alam semesta. (QS Al-Ankabut : 6)
Makna Tawakkal
Para ulama telah menjelaskan makna tawakkal. Di antaranya Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumid Din, beliau berkata: “Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakkali) semata.”
Al-Allamah Al-Manawi dalam Kitab Faidhul Qadir, berkata: ”Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali”.
وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Artinya: Dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga. Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allahlah yang menuntaskan urusannya. Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu. (QS Ath-Thalaq: 3)
Iman kepada takdir-Nya merupakan penyempurna keimanan seorang hamba kepada Allâh dan tidak akan benar keimanan seorang hamba tanpa ini, karena mengimani takdir Allâh termasuk rukun iman.
Allah SWT telah mencatat seluruh takdir makhluk di al-Lauhul Mahfuzh. Rasulullah SAW bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.
“Allah telah mencatat seluruh takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” (HR Muslim No. 2653 (16) dan at-Tirmidzi No. 2156)
Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul Uluum wal Hikam Syarah Arbain an-Nawawy menyebutkan bahwa apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan meleset darinya, dan apa yang ditakdirkan tidak mengenai manusia, maka tidak akan mengenainya, sudah kering tinta pena itu dan sudah ditutup catatan.
Demikian hendaklah kita sebagai seorang hamba Allah yang beriman kepada-Nya dan meyakini akan takdir Allah harus senantiasa berdoa, berikhtiar dengan maksimal kemudian tawakal akan semua rencana-Nya.
Allah SWT berfirman:
قُلْ لَّنْ يُّصِيْبَنَآ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَنَاۚ هُوَ مَوْلٰىنَا وَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ
Artinya: Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal. (QS At-Taubah: 51)
Para ulama menjelaskan ada empat macam takdir, yaitu: 1) Takdir Azali yaitu takdir yang ditulis dalam lauhil mahfudz 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Takdir azali ini adalah takdir yang merupakan takdir utama yang pasti terjadi bagi semua mahkluk. 2) Takdir ‘Umri yaitu takdir yang ditulis malaikat ketika meniupkan roh ke dalam janin. 3) Takdir Sanawi yaitu takdir yang berlaku tahunan dan ditulis kejadian setahun ke depan setiap malam lailatul qadar. 4) Takdir Yaumi yaitu takdir yang berlaku harian.
Perlu diperhatikan bahwa di antara empat takdir ini, takdir utamanya yaitu takdir azali yang tertulis di lauhil mahfudz, sedangkan tiga takdir yang lainnya (‘umri, sanawi, dan yaumi) adalah takdir yang bisa mengubah.
Kesatuan Doa, Ikhtiar, dan Tawakal
Kombinasi antara doa, ikhtiar, dan tawakal sebagai formula keseimbangan hidup. Pentingnya menjalankan ketiganya dalam keseharian untuk mencapai kesuksesan dunia dan akhirat. Untuk ilustrasi: Pohon kehidupan yang berakar pada doa, batangnya yaitu ikhtiar, dan buahnya tawakal.
Keputusan Allah yang Hakiki
Lalu bagaimana cara agar kita senantiasa berdoa, berikhtiar, dan bertawakal dalam menerima keputusan Allah yang hakiki? Pertama, mengetahui keutamaan berdoa. Rasulullah SAW bersabda:
لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الْدُعَاءُ
“Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa.” (Sunan At-Tirmidzi)
Kedua, setiap doa akan dikabulkan maka berdoalah dalam meminta takdir yang terbaik. Allah SWT berfirman:
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS Al-Baqarah: 186)
Ketiga, teruslah bertawakal karena tawakal mengantarkan kepada rezeki dan takdir yang baik. Allah SWT berfirman:
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَ كَّلُوْنَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُم كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا
“Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezeki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (Sunan Ibnu Majah)
Keempat, tidak menyesali urusan yang terlewat darinya serta tidak bersedih hati dan terus berusaha dalam menjemput takdir Allah. Rasulullah SAW bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ » [أخرجه مسلم
Artinya: “Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada Mukmin yang lemah. Dan pada keduanya ada kebaikan, maka bersemangatlah untuk mencari apa yang bermanfaat untukmu. Mintalah pertolongan kepada Allah jangan loyo, jika dirimu tertimpa musibah maka jangan katakan, “Kalau seandainya aku melakukan ini dan itu”. Namun, katakanlah, “Allah telah menakdirkan dan apa yang Allah kehendaki pasti terjadi”. Karena sesungguhnya ucapan ‘seandainya’ akan membuka kerjaan bagi setan.“ (HR Muslim No. 2664)
Kelima, berusaha husnudzan kepada Allah dalam takdir-Nya. Allah SWT berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَࣖ
Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (QS Al-Baqarah: 216)
Keenam, senantiasa berusaha untuk menjadi yang lebih baik. Allah SWT berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. (QS Ar-Ra’d: 11)
Kisah Teladan
Riwayat lain menyebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW akan mengerjakan shalat Ashar di Masjid Nabawi di Madinah, tiba-tiba ada seorang jamaah datang dari luar kota, menggunakan kendaraan mahal, yaitu unta berwarna merah. Orang itu melepaskan untanya tanpa diikat terlebih dahulu, kemudian memasuki masjid, mengikuti shalat jamaah.
Melihat sikap orang ini Nabi Muhammad kembali dari depan dan bertanya kepadanya: “Fulan kenapa engkau lepas untamu?” Orang itu menjawab, “Aku bertawakkal kepada Allah. Kalau Allah takdirkan untaku hilang, meskipun aku ikat pasti hilang. Dan jika Allah takdirkan unta itu tidak hilang, meskipun kami lepas ia tidak akan hilang.”
Nabi Muhammad pun bersabda: “I’qilha wa tawakkal” (tambatkanlah terlebih dahulu (untamu) kemudian setelah itu bertawakal-lah). Hadis ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi.
Tawakal bukan berarti penyerahan mutlak nasib manusia kepada Allah semata. Namun penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi. Jelas sekali Islam memerintahkan agar kita berusaha semaksimal mungkin dalam mengusahakan sesuatu, baru kemudian bertawakal kepada Allah SWT.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنَ الخَيْرِ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشَّرِّ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا سَأَلَكَ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَاذَ بِهِ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الجَنَّةَ وَمَا قرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَولٍ أَوْ عَمَلٍ ، وَأَعُوْذُ بِكَ مَنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ ، وَأَسْأَلُكَ أَنْ تَجْعَلَ كُلَّ قَضَاءٍ قَضَيْتَهُ لِي خَيْرًا
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu semua kebaikan yang disegerakan maupun yang ditunda, apa yang aku ketahui maupun tidak aku ketahui. Aku berlindung kepada-Mu dari semua keburukan, baik yang disegerakan maupun yang ditunda, yang aku ketahui maupun yang tidak aku ketahui. Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu dari kebaikan apa yang diminta oleh hamba dan Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari apa yang diminta perlindungan oleh hamba dan nabi-Mu. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu surga dan apa yang mendekatkan kepadanya baik berupa ucapan maupun perbuatan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka dan apa yang mendekatkan kepadanya baik berupa ucapan atau perbuatan. Dan aku memohon kepada-Mu semua takdir yang Engkau tentukan baik untukku. (HR Ibnu Majah No. 3846) []