يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tetaplah bersama orang-orang yang benar!” (QS At-Taubah: 119)
Asbabunnuzul
Surat At Taubah ayat 119 ini turun sepaket dengan dua ayat sebelumnya. Tiga ayat, yakni ayat 117-119, turun berkenaan dengan tobatnya Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’, dan Hilal bin Umayyah.
Ketiganya tidak ikut Perang Tabuk. Ka’ab bin Malik sebenarnya telah mempersiapkan kendaraan perang dan perbekalan. Namun ia menunda-nunda. Ketika Rasulullah dan pasukan telah berangkat, ia berencana menyusul keesokan harinya. Ia masih sibuk dengan urusannya yang saat itu kebun-kebunnya sedang berbuah.
Hingga berlalu beberapa hari terdengar kabar Rasulullah dalam perjalanan pulang dari Perang Tabuk. Ka’ab sempat berpikir mencari alasan dengan berdusta. Ka’ab sadar, kalaupun ia bisa berbohong, Allah akan mengungkap kebohongannya.
Ketika Rasulullah tiba di masjid kemudian selesai shalat dua rakaat, orang-orang munafik yang tidak ikut berperang berdusta agar dimaafkan Rasulullah. Rasulullah pun tidak menghukum mereka.
Giliran Ka’ab, ia tidak mengemukakan alasan apa pun. Ia mengakui dirinya bersalah tidak berangkat. Rasulullah mendiamkannya. Rasulullah menyatakan bahwa Ka’ab telah berkata jujur. Beliau meminta Ka’ab pergi hingga Allah menurunkan keputusan-Nya.
Keputusan itu pun turun. Iqab (sanksi) atas Ka’ab, Murarah dan Hilal yaitu tidak diajak komunikasi kaum Muslimin selama 50 hari. Pada 10 hari terakhir, istrinya pun dilarang komunikasi. Ka’ab merasa bumi menjadi sangat sempit. Ia seakan hidup sendiri tanpa teman tanpa saudara. Di hari ke-50, Allah menurunkan Surat At Taubah ayat 117-119. Bahwa Allah menerima tobat mereka dan menyerukan untuk tetap jujur serta membersamai orang-orang yang benar dan jujur.
Dengan asbabunnuzul ayat ini, Ka’ab sangat bersyukur telah berkata jujur. Ia pun berjanji kepada Rasulullah untuk tetap memegang kejujuran sepanjang hayatnya.
Interpretasi Para Mufasir
Dalam Tafsir Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an disebutkan makna surat At-Taubah ayat 119: Bahwa orang-orang yang jujur hati mereka selamat dari niat buruk, berhati ikhlas dan berniat baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keadaan.
Perlu diketahui, bahwa kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa seseorang ke surga. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantar ke surga. Dan seseorang yang terus menerus berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa kepada kejahatan, dan kejahatan mengantar ke neraka. Dan seseorang yang terus menerus berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (pembohong).” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam Tafsir Aisarut Tafâsîr, Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazâ’iri rahimahullah menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allâh, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur!”
Beliau mengatakan, “Bertakwalah kalian dengan mengikuti perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dan jadilah kalian orang-orang yang jujur dalam niat, perkataan dan perbuatan. Dengan demikian, kalian akan bersama orang-orang yang jujur di akhirat, bersama Nabi SAW, Abu Bakar RA dan ‘Umar RA dan bersama seluruh para nabi, orang-orang yang shiddiiq, orang-orang yang syahid dan orang-orang yang shalih.”
Tafsir Surat At Taubah ayat 119 ini disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Tafsir Al Azhar dan Tafsir Al Munir.
Ada tiga poin penting dalam ayat ini yakni: Perintah takwa, Berlaku jujur, dan Berjamaah bersama orang-orang yang jujur.
Dalam tafsir Al-Qurtubi dikatakan bahwa berkata benar merupakan ciri utama orang yang beriman, dan berbicara dengan kejujuran merupakan cara untuk menjaga hubungan yang baik dengan Allah dan sesama manusia. Tidak hanya berlaku dalam berbicara, kejujuran juga harus tercermin dalam setiap aspek kehidupan, seperti transaksi ekonomi, hubungan sosial, dan tindakan sehari-hari.
Dengan demikian, surat At-Taubah ayat 119 menekankan pentingnya kejujuran sebagai pilar utama dalam etika sosial. Para mufassir sepakat bahwa kejujuran bukan hanya berkaitan dengan perkataan yang benar, tetapi juga dengan integritas pribadi, kepemimpinan yang adil, dan hubungan sosial yang sehat. Kejujuran merupakan cerminan iman dan takwa, yang harus ditegakkan dalam setiap aspek kehidupan untuk menciptakan masyarakat yang harmonis, adil, dan penuh kepercayaan.
Nilai-Nilai Pendidikan
Surat At Taubah ayat 119 mengandung sejumlah nilai-nilai pendidikan bagi manusia. Pertama, nilai kejujuran. Kejujuran merupakan nilai utama dalam pendidikan, baik pendidikan agama, moral, maupun sosial. Dalam Surat At-Taubah ayat 119, Allah memerintahkan umat Islam untuk berbicara dengan (perkataan yang benar), yang menegaskan pentingnya kejujuran dalam berbicara dan bertindak.
Pendidikan terkait kejujuran: 1) Mendorong peserta didik untuk berbicara dan bertindak dengan benar, tanpa mengada-ada atau berbohong; 2) Mengajarkan bahwa kejujuran merupakan fondasi dari integritas pribadi dan sosial, yang harus diterapkan dalam setiap aspek kehidupan; Membangun karakter peserta didik agar menjadi individu yang dapat dipercaya oleh orang lain.
Kejujuran, seperti halnya sebuah model dalam deep learning, adalah sesuatu yang harus “dilatih” dan “dioptimalkan” dalam diri seseorang. Deep learning bekerja dengan memproses data dalam jumlah besar dan mengidentifikasi pola-pola untuk menghasilkan prediksi yang akurat. Demikian pula, individu harus “dilatih” dengan nilai-nilai yang benar, membentuk pola perilaku yang jujur melalui pengalaman dan pembelajaran
Kedua, nilai tanggung jawab sosial. Kejujuran yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan rasa tanggung jawab sosial. Orang yang jujur akan berkontribusi pada kebaikan sosial karena tidak akan menyebarkan fitnah atau kebohongan yang merugikan orang lain.
Pendidikan terkait tanggung jawab sosial: 1) Mengajarkan peserta didik untuk memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, teman, dan Masyarakat; 2) Mendidik peserta didik untuk memahami dampak dari perkataan dan perbuatan mereka terhadap orang lain dan Masyarakat; 3) Menumbuhkan kesadaran bahwa setiap tindakan harus mengarah pada kebaikan dan kedamaian dalam masyarakat.
Ketiga, nilai ketakwaan. Dalam ayat ini, kejujuran dikaitkan dengan takwa kepada Allah. Ketakwaan merupakan kualitas orang yang selalu menjaga dirinya dari dosa dan berusaha untuk hidup sesuai dengan perintah Allah.
Pendidikan terkait ketakwaan: 1) Mengajarkan siswa untuk memahami bahwa setiap perbuatan dan perkataan yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah; 2) Menumbuhkan sikap untuk selalu berkata dan bertindak dengan penuh kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi; 3) Membekali siswa dengan pengetahuan agama yang mengarah pada pembentukan akhlak yang baik dan ketakwaan.
Keempat, nilai keadilan (Al-Adl). Kejujuran bagian dari keadilan, karena hanya dengan berbicara dan bertindak dengan benar, keadilan dapat tercipta dalam masyarakat. Kebohongan atau ketidakjujuran bisa menyebabkan ketidakadilan dan perpecahan.
Pendidikan terkait keadilan: 1) Mengajarkan peserta didik untuk berperilaku adil dan objektif, tidak memihak, dan selalu mengedepankan kebenaran dalam setiap masalah; 2) Mendidik peserta didik untuk menyuarakan kebenaran meskipun itu sulit atau tidak menguntungkan, karena keadilan harus ditegakkan; 3) Membentuk peserta didik agar memiliki sikap adil dalam memperlakukan semua orang tanpa membeda-bedakan.
Kelima, nilai kedamaian sosial. Kejujuran dalam berbicara dan bertindak dapat mencegah konflik dan perpecahan dalam masyarakat. Masyarakat yang jujur akan lebih mudah mencapai kedamaian dan saling percaya.
Pendidikan terkait kedamaian sosial: 1) Mengajarkan pentingnya berbicara dengan niat untuk menjaga persatuan dan menghindari pertikaian; 2) Mendidik peserta didik untuk menghargai perbedaan dan mengedepankan solusi yang berdasar pada kebenaran dan kedamaian; 3) Menumbuhkan empati pada peserta didik agar mereka dapat melihat dampak dari kebohongan dan ketidakjujuran terhadap hubungan sosial.
Landasan Teoretis
Dalam bahasa Arab, kata jujur semakna dengan aś-śidqu atau śiddiq yang artinya benar, nyata, atau berkata benar. Lawan kata ini adalah dusta, atau dalam bahasa Arab al-kidzbu.
Secara istilah, jujur atau aś-śidqu bermakna kesesuaian antara ucapan dan perbuatan, kesesuaian antara informasi dan kenyataan, ketegasan dan kemantapan hati, dan sesuatu yang baik yang tidak dicampuri kedustaan.
Allah mengingatkan hamba-Nya dalam firman-Nya agar berkata jujur dengan tidak menyembunyikan kebenaran dan jangan mencampuradukkan kebatilan.
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (jangan pula) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahui(-nya).” (QS Al-Baqarah: 42)
Imam Al-Ghazali membagi tingkat jujur sebagai berikut:
- Jujur dalam lisan atau ucapan, menyangkut dalam penyampaian informasi, apakah benar atau hoaks.
- Jujur dalam niat, mengenai keikhlasan di hati. Misal ketika beribadah, seseorang hendak mengharap ridha Allah SWT atau mengikuti riya karena nafsunya.
- Jujur dalam tekad. Maksudnya, seberapa kuat keinginan seseorang untuk menggapai sesuatu yang diharapkannya. Apakah ia bisa tergoyahkan atau bersungguh-sungguh.
- Jujur dalam perbuatan, perihal kesesuaian seseorang dalam menampilkan perilaku yang dilakukannya dengan sesuatu yang di dalam hatinya.
- Jujur dalam menerapkan maqamat dalam agama, seperti khauf (takut kepada Allah), dan roja’ (berharap hanya kepada Allah). Dikatakan bahwa tingkatan jujur inilah yang paling tinggi, dan biasa dilakukan oleh para ahli tasawuf.
Orang yang selalu jujur akan mendapatkan ketenangan dalam hatinya. Dia akan merasa nyaman dengan kejujuran yang telah dia lakukan. Berbeda halnya dengan orang yang suka berdusta. Hidup mereka tidak akan tenang dan penuh dengan kebimbangan. Rasulullah SAW bersabda:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ ، وَإِنَّ الكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu dengan mengerjakan apa-apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan sesungguhnya kedustaan (akan mengantarkan kepada) keragu-raguan atau kebingungan.” (HR At-Tirmidzi, No. 2518)
Nilai kejujuran harus kita tanamkan sejak dini pada anak-anak, karena hal ini akan membawa pengaruh hingga usianya dewasa.
Jujur itu mahal sekali harganya, karena kalau satu kali saja kita berbohong maka hilanglah kepercayaan seseorang kepada orang yang berdusta. Harga sebuah kejujuran bukanlah dalam bentuk materi, namun martabat diri. Kejujuran adalah mahkota kemuliaan bagi orang yang beriman.
Apabila kejujuran tidak ada dalam jiwa setiap individu maka sikap manusia terhadap sesamanya akan semakin buas dan garang. Meningkatnya rasa kecurigaan, dan tidak ada rasa saling percaya antarsatu dengan yang lainnya, khususnya dalam hal harta benda.
Kejujuran sebagai Pilar Etika Sosial
Kejujuran harus senantiasa kita terapkan sebagai pilar etika sosial dengan sesama manusia. Seorang yang jujur dalam kehidupannya setiap hari dengan orang lain, maka ia akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya, contohnya seperti penjual dan pembeli. Rasulullah SAW bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyâr (pilih) selama mereka belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan saling menjelaskan, maka mereka akan diberkahi di dalam jual beli mereka. Apabila mereka berdusta dan saling menyembunyikan (cacat) maka akan dilenyapkan keberkahan jual beli mereka.” (HR Al-Bukhâri No. 2079 dan Muslim No. 1532)
Kejujuran adalah etika dan pangkal wibawa. Tanpa kejujuran maka agama tidak lengkap, akhlak tidak sempurna dan wibawa akan sirna. Di akhir zaman ini begitu sulitnya memegang kejujuran, namun bukan berarti tak bisa kita miliki.
Dengan niat baik dan usaha yang sungguh-sungguh semoga Allah menganugerahkan sikap jujur menjadi kepribadian kita. Kejujuran akan membuat seseorang mendapatkan cinta kasih dan keridhaan Allah SWT. Sedangkan kebohongan adalah kejahatan yang tiada tara, yang merupakan faktor terkuat yang dapat mendorong seseorang berbuat kemunkaran dan menjerumuskannya ke jurang api neraka. Dusta adalah perbuatan terlarang dan haram, bahkan bisa menjauhkan keimanan.
Etika bersosialisasi dengan kejujuran diingatkan Nabi SAW dalam hadisnya supaya menghindari perilaku-perilaku munafik dalam kehidupan sehari-hari agar kita selamat dari dosa dan perpecahan di antara sesama serta menumbuhkan saling percaya, jujur dan menjaga amanah yang diembannya.
Rasulullah SAW bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ. رواه البخاري ومسلم
Tanda-tanda orang munafik ada tiga: Apabila berbicara, ia dusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila diberi amanat, ia berkhianat. (HR Bukhari dan Muslim)
Cara Menjaga Kejujuran
Bagaimana cara menjaga kejujuran sebagai pilar etika sosial? Menjaga kejujuran antara lain bisa dilakukan dengan cara: Pertama, senantiasa bertutur kata yang baik. Allah SWT berfirman:
طَاعَةٌ وَّقَوْلٌ مَّعْرُوْفٌۗ فَاِذَا عَزَمَ الْاَمْرُۗ فَلَوْ صَدَقُوا اللّٰهَ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْۚ
”(Seharusnya, mereka memilih) ketaatan (kepada Allah) dan tutur kata yang baik. Apabila perintah (perang) ditetapkan, (mereka tidak menyukainya). Padahal, jika mereka benar (beriman dan taat) kepada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS Muhammad: 21)
Kedua, senantiasa menepati janji. Allah SWT berfirman:
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللّٰهَ عَلَيْهِۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ قَضٰى نَحْبَهٗۙ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّنْتَظِرُۖ وَمَا بَدَّلُوْا تَبْدِيْلًاۙ
”Di antara orang-orang Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu. Mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).” (QS Al-Ahzab: 23)
Ketiga, menjauhi kezaliman. Rasulullah SAW bersabda:
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلاَ تَظَالَمُوْا. رواه مسلم
”Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku haramkan kezaliman bagi diriku, dan Aku jadikan kezaliman itu haram pula bagi antara kalian, karena itu janganlah kalian saling menzalimi.” (HR Muslim)
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullah menerangkan dalam Kitab Fathul Bari’, kezaliman seseorang kepada saudaranya bisa berkaitan dengan kehormatan diri atau persoalan lain, termasuk kezaliman dalam masalah harta benda orang lain dengan segala bentuknya. Begitu juga kezaliman yang berupa mencederai, meskipun hanya berbentuk tamparan dan sebagainya.
Keempat, menjaga lisan. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikirkan terlebih dahulu, dan karenanya dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR Muslim No. 2988)
Kelima, beriman dan bertakwa. Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ ٧٠يُّصْلِحْ لَكُمْ اَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا ٧١
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. (70) Niscaya Dia (Allah) akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia menang dengan kemenangan yang besar. (71) (QS Al-Ahzab: 70-71)
Kisah Teladan
Abdullah bin Mas’ud merupakan seorang yang mempunyai sifat jujur. Sebelum memeluk agama Islam Abdullah bin Mas’ud merupakan seorang penggembala kambing, ia menggembala kambing milik seorang petinggi Quraisy Uqbah bin Abi Muaith. Dari pagi hingga sore ia habiskan waktunya untuk menggembala.
Pada suatu hari saat ia menjaga ternak, ada dua orang laki-laki paruh baya yang datang menghampirinya. Kedua laki-laki itu tampak haus dan begitu kelelahan. Mereka kemudian memberi salam kepada Abdullah bin Mas’ud dan memintanya untuk memerahkan susu kambing tersebut.
Akan tetapi, Abdullah bin Mas’ud menolak memberikan susu itu karena bukan miliknya. “Kambing-kambing ini bukan milik saya. Saya hanya memeliharanya,” katanya dengan jujur.
Mendengar jawaban itu, dua laki-laki tersebut tak memberikan bantahan. Walau pun sangat kehausan, mereka sangat senang dengan jawaban jujur si penggembala itu. Kegembiraan ini sangat jelas terlihat di wajah mereka.
Ternyata kedua orang itu adalah Rasulullah SAW dan sahabatnya Abu Bakar Ash Shiddiq. Hari itu, keduanya pergi ke pegunungan Mekkah untuk menghindari siksaan dan perlakuan kejam kaum Quraisy.
“Apakah kau mempunyai kambing betina yang belum dikawinkan?” tanya Rasulullah. “Ada,” jawab Abdullah.
Lalu Abdullah mengajak Rasulullah SAW dan sahabatnya melihat seekor kambing betina yang masih muda. Kemudian, kaki kambing itu diikat. Rasulullah SAW menyuapkan tangannya ke tubuh kambing tersebut sambil berdoa kepada Allah.
Saat itulah turun rezeki dari Allah. Tiba-tiba saja susu kambing itu mengalir sangat banyak. Abu Bakar segera mengambil sebuah batu cekung yang digunakan untuk menampung air susu hasil perahan.
Mereka pun meminumnya bersama-sama. Setalah itu, Rasulullah SAW berkata “kempislah“. Seketika susu kambing menjadi kempis dan tidak mengeluarkan susu lagi.
Abdullah bin Mas’ud pun takjub dan terkejut menyaksikan hal tersebut. Sebab kambing tersebut sebelumnya belum pernah mengeluarkan air susu. Tapi di depan matanya saat itu kambing tersebut malah mengeluarkan air susu yang banyak dan dinikmati bersama.
Itu karunia Allah, ujar Rasulullah SAW. Kemudian muncul kekaguman Abdullah bin Mas’ud kepada tamunya. Tak lama usai peristiwa itu, Abdullah kemudian memeluk agama Islam dan menjadi salah satu penghafal Al-Qur’an terbaik.
Demikian, senantiasalah kita menjaga kejujuran atas segala apa yang kita perbuat, ucapkan dan menjalankan amanah agar hidup kita berkah dan tenang.
رَّبِّ اَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَّاَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِّيْ مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطٰنًا نَّصِيْرًا
“Ya Tuhanku, masukkan aku (ke tempat dan keadaan apa saja) dengan cara yang benar, keluarkan (pula) aku dengan cara yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong.” (QS Al-Isra: 80) []