Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus terpenuhi bagi setiap individu. Hal tersebut menjadikan ketahanan pangan sebagai hal yang cukup krusial dan perlu diperhatikan. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan disebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tecermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan harus terwujud pada setiap lapisan masyarakat, dimulai dari tingkat terkecil yaitu skala rumah tangga. Ketahanan pangan dapat terwujud dengan memanfaatkan berbagai aspek, salah satunya melalui optimalisasi pangan lokal pada suatu daerah.
Menurut Nur’aini dan Saputra (2018), pangan lokal merupakan makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, dengan citarasa khas yang diterima oleh masyarakat tersebut. Pangan lokal juga dapat dikenal sebagai potensi pangan yang tumbuh atau berada hanya pada suatu daerah tertentu dan memberikan kekhasan lokal bagi daerah tersebut. Pangan lokal dapat dioptimalkan dengan cara pengolahan menjadi produk pangan yang memiliki nilai ekonomis serta dapat memenuhi kebutuhan gizi melalui pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dapat menjadi salah satu upaya perubahan sosial dalam mengatasi berbagai macam permasalahan pada masyarakat, khususnya yang berhubungan dengan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan lainnya yang dapat menunjang keberlangsungan hidup.
Pangan lokal dapat dioptimalkan dengan cara dilakukan pengolahan menjadi suatu produk pangan yang memiliki nilai ekonomis dan dapat memenuhi kebutuhan gizi. Proses pengolahan bahan pangan lokal dapat dilakukan dengan cara pelatihan dan pendampingan oleh seseorang yang ahli pada bidang tersebut. Pelatihan dilakukan pada ibu rumah tangga sebagai upaya dalam menambah penghasilan keluarga.
Pada tulisan Saugi dan Sumarno (2015) disebutkan bahwa proses pemberdayaan melalui pelatihan berbasis pangan lokal dapat dilakukan dengan cara menyiapkan tim pengelola, membentuk kelompok usaha, menjalin kemitraan dengan pemerintah dan swasta, membangun rumah produksi, mengajukan izin produksi, produksi dan pemasaran produk, melakukan studi banding ke industri rumah tangga lainnya yang sudah berjalan lebih dahulu, melakukan perbaikan dan diversifikasi produk, dilanjutkan dengan pelatihan massal, dan pendampingan. Proses pemberdayaan tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, namun hasil dari proses pemberdayaan dalam pengolahan pangan lokal tersebut dapat berupa peningkatan ekonomi skala rumah tangga.
Diversifikasi pangan lokal tersebut selain dapat mendongkrak potensi pangan lokal yang sering kali terabaikan, juga dapat meningkatkan pendapatan pada skala rumah tangga sehingga pemenuhan pangan pada skala rumah tangga juga dapat terpenuhi. Selain untuk dipasarkan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi, produk pangan lokal itu memiliki nilai gizi yang dapat digunakan dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi dan pangan pada skala rumah tangga.
Proses pemberdayaan tersebut perlu campur tangan pemerintah sebagai penyedia sarana dan sumber daya lain yang diperlukan. Hal tersebut karena pemberdayaan ini akan dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan agar hasilnya optimal. Optimalisasi potensi pangan lokal juga dapat membantu pemerintah dalam menangani permasalahan ketahanan pangan yang sudah menjadi isu serius di Indonesia. Selain menciptakan kemandirian pangan pada tingkat daerah, optimalisasi itu juga dapat berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan daerah. []