Sesuai dengan perkembangan zaman, sistem pendidikan madrasah semakin lama semakin berkembang meluas dan tidak lagi selalu berdampingan dengan pondok pesantren ataupun masjid, meski pada umumnya diusahakan berdekatan dengan masjid sebagai pusat peribadatan.
Sesudah memasuki zaman kemerdekaan, perkembangan madrasah berjalan pesat dengan jenjang tingkatan yang semakin tinggi.Yaitu jenjang Ibtidaiyah yang setingkat dengan Sekolah Dasar (SD), Tsanawiyah yang setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Aliyah yang setingkat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Para santri yang tidak sanggup mengikuti jejak kiai untuk mendirikan pondok pesantren, maka banyak yang terjun ke dunia madrasah. Begitu pula para pemuda/pemudi lulusan Pendidikan Guru Agama (PGA), banyak yang mengabdikan diri di lembaga pendidikan ini. Tidak ketinggalan pula para pemuda/pemudi lulusan sekolah umum, banyak yang mengikuti jejak kawan-kawannya karena merasa terpanggil oleh perintah agama untuk menyumbangkan tenaganya di madrasah.
Demikianlah pertumbuhan dan perkembangan madrasah yang akan tetap tersebar luas selama rakyat masih menghendakinya.
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang timbul dari inisiatif rakyat, hidup-matinya madrasah bergantung pada kehendak rakyat. Sejarah telah membuktikan bahwa pondok pesantren dan madrasah tetap hidup dan berkembang meski mendapat tekanan yang hebat dari penjajah dengan segala macam hinaan, rintangan, pembatasan, diskriminasi, dan ordonansi.
Sebaliknya, karena perlakuan yang tidak wajar Pemerintah Kolonial, madrasah dan pondok pesantren semakin lama semakin menjauhi Pemerintah Kolonial untuk mencari jalannya sendiri. Pada akhirnya, membenci Pemerintah Kolonial dan menjadi musuh penjajah bersama-sama rakyat yang mendirikannya.
Fungsi Madrasah dalam Kehidupan Bangsa
Kalau mau bertindak jujur dan konsekuen terhadap dasar idiil Negara Pancasila dan dasar struktural UUD 1945, bangsa Indonesia seharusnya berjiwa religius karena sudah jelas sila pertama Pancasila yang menjiwai dan meliputi sila-sila yang lain adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Karena itu, pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), pernyataan sebagai organisasi terlarang di Republik Indonesia, seperti tercantum dalam TAP XXV/MPR/1966 yang dikuatkan Ketetapan MPR RI No. V/MPR/1973 Pasal 3 ayat (2) adalah konsekuensi logis dari dasar negara kita dan merupakan kewajiban materiil bagi Pemerintah RI untuk melaksanakan sebaik-baiknya.
Dengan kata lain, tidak ada tempat bagi rakyat Indonesia yang tidak berketuhanan Yang Maha Esa, dan tidak ada izin untuk menyebarkan paham atau ajaran yang bertentangan dengan agama. Meski kenyataan menunjukkan bahwa banyak di antara rakyat Indonesia yang tidak atau kurang menaati kewajiban agamanya.
Secara sosiologis, itu merupakan gejala umum di seluruh dunia, tetapi tidak berarti bahwa mereka tidak beragama atau keluar dari agamanya. Karena itu, ketaatan beragama tidak bisa dijadikan ukuran. Inti agama terletak pada keyakinan kepada Tuhan, sedangkan amalannya merupakan kelengkapan kehidupan beragama, tergantung tebal tipisnya iman.
Kesadaran rakyat untuk memelihara jiwa agamanya itu melahirkan usaha-usaha untuk selalu menghidupkan dan mengembangkan kesadaran beragama, seperti yang dilakukan para mubaligh, atau melalui pendidikan agama di madrasah dan pondok pesantren, serta melalui upacara dan peringatan keagamaan, dan lain sebagainya.[]