New York, Gontornews — Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, Rabu (8/6/2022), mengatakan invasi Rusia ke Ukraina membawa konsekuensi buruk bagi dunia. Guterres mencatat bahwa invasi Rusia ke Ukraina akan berdampak bagi 1,6 miliar manusia di dunia.
“Dampak perang terhadap ketahanan pangan, energi dan keuangan bersifat sistemik, parah (terjadi) semakin cepat,” ungkap Guterres sebagaimana dilansir Channel News Asia dari AFP.
“Bagi orang-orang di seluruh dunia, perang mengancam dengan gelombang kelaparan dan kemiskinan yang belum pernah terjadi. (Perang) meninggalkan kekacauan sosial dan ekonomi di belakangnya,” sambung Guterres.
Guterres menduga bahwa krisis pangan yang terjadi pada tahun ini terjadi karena kurangnya akses pangan dari negara-negara terkait. Tetapi, tahun depan, situasi ini bisa jauh lebih memburuk karena dunia benar-benar mengalami kekurangan makanan.
“Hanya ada satu cara untuk menghentikan badai ini: segera akhiri invasi Rusia ke Ukraina,” tegas Guterres.
Secara khusus, Guterres meminta rekan-rekannya untuk membantu PBB menemukan kesepakatan paket yang memungkinkan ekspor makanan dari Ukraina melalui Laut Hitam serta akses tanpa hambatan ke pasar global untuk pasokan makanan dan pupuk dari Rusia.
“Kesepakatan ini penting bagi ratusan juta orang di negara-negara berkembang termasuk negara-negara Afrika sub-Sahara,” paparnya.
PBB memprediksi ada 94 negara yang terdampak, invasi Rusia ke Ukraina, setidaknya satu dimensi krisis dan tidak mampu mengatasinya.
“Dari 1,6 Miliar orang (di 94 negara di atas), 1,2 Miliar warga tinggal di negara yang sangat terpapar dan rentan terhadap tiga dimensi krisis keuangan, makanan dan energi secara bersamaan,” ungkap laporan PBB yang dipimpin diplomat Rebeca Grynspan.
Laporan ini juga mengatakan bawa perang dapat meningkatkan jumlah warga dengan kerawanan pangan hingga 47 juta orang pada tahun 2022. Bahkan, 58 juta orang Afrika bisa terjerembab dalam kemiskinan pada tahun ini.
“Upaya nyata harus dilakukan untuk memastikan pasokan makanan dan energi mencapai ke kelompok (atau negara) paling rentan,” tutup laporan tersebut. [Mohamad Deny Irawan]