Tangerang, Gontornews — Pengaruh kecenderungan genre sastra dalam dunia imajinatif akan semakin terlihat jika sistem nilai dalam dunia realitas juga semakin opresif dan persuasive.
Dengan menggunakan beberapa argumentasi akademik yang telah dikemukakan oleh komunitas akademik lainnya, melalui pendekatan kajian budaya, Dr Ita Rodiah membantah beberapa teori sebelumnya yang menjelaskan bahwa karya sastra terlepas dari dunia realitas.
Sebuah karya akademik menarik ini telah diuji langsung oleh Prof Dr Azyumardi Azra, MA, Prof Dr Ahmad Thib Raya, MA, serta beberapa penguji berkompeten lainnya.
Ita, peraih Magister Humaniora di Universitas Indonesia, menegaskan bahwa dirinya menentang pendapat beberapa tokoh yang menilai bahwa teks sastra adalah benda budaya otonom (autonomy for art, autotelic artifact, autonomous objects , the work itself, literature qua literature) yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Sehingga ia tidak bergantung pada apa pun yang berada di luar teks sastra (disconnected to culture and context).
Selain itu, wanita kelahiran 2 Februari 1984, ini juga membantah pendapat David Hill Radcliffe (dalam Romanticism and Genre: Theory and Practice, 2012) yang menilai bahwa sastra hanya sebatas epiphenomenon.
Epiphenomenon adalah sastra sebagai gejala kedua dan hanya berharga dalam kaitannnya dengan faktor-faktor di luar sastra. Oleh karenanya sastra tidak dianggap utama.
Wanita cantik yang aktif bergabung dengan Perusahaan Konsultan Migas dan PT Perusahaan Gas Negara ini dalam penelitiannya justru mendukung perpektif strukturalisme genetik Pierre Bourdieu (Outline of A Theory of Practice, 1977, Practical Reason: On The Theory of Action, 1998, Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste, 1984, An Invitation to Reflexive Sociology, 1992, dan lainnya).
“Mereka semua adalah kalangan yang menilai bahwa terdapat keterkaitan antara opresi sistem kultural dengan teks sastra (imaginary works) dalam hubungan dualitas yang saling mempengaruhi,” terang Ita.
Model ini berupaya untuk mengeksplorasi dan mengungkap makna dan nilai dalam karya sastra (understanding ofmeaning and value) yang berhadapan dengan opresi sistem kultural dan dominasi kekuasaan tersebut.
Berdasarkan asumsi teoritik Bourdieu, Cixous, dan Hall, penelitian ini menganalisa adanya kecenderungan penegasan identitas (gender identity).
Sebagai tanggapan evaluatif dan imajinatif terhadap opresi sistem kultural yang terrefleksi dalam praktik menulis feminine pada genre Sastra Feminis Islam dan Sastra Wangi.
Karya sastra dan dominasi budaya ditempatkan dalam hubungan dualitas yang saling mempengaruhi, dengan upaya eksplorasi tanpa jatuh pada eksploitasi dalam rumah bahasa yang diciptakannya.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data pustaka yaitu Novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah el-Khalieqy sebagai bentuk representasi genre Sastra Feminis Islam. Ditambah lagi Novel Saman karya Ayu Utami sebagai bentuk representasi genre Sastra Wangi.
Temuan dalam penelitian dengan mengeksplorasi kedua genre dalam Sastra Kontemporer Indonesia ini mengerucut pada satu kesimpulan. “Semakin opresif dan persuasif sistem nilai dalam dunia realitas semakin terlihat pada kecenderungan genre sastra dalam dunia imajinatif,” ujar putri dari pasangan Muhammad Tadjudin Anshary dan Yoyoh Anshary.
Internalisasi penulis perempuan terhadap sistem nilai tersebut dimanifestasikan dalam kecenderungan yang berbeda. Semakin opresif sistem nilai dalam suatu kebudayaan tertentu ditanggapi penulis perempuan dalam narasinya dengan bentuk frontal konfliktual yang melahirkan genre Sastra Feminis Islam.
Sebaliknya semakin longgar sistem nilai tersebut ditanggapinya dengan bentuk kompromis-dialogis yang melahirkan genre Sastra Wangi yang disertai dengan karakteristiknya masing-masing.
Terdapat tiga hal penting dalam penelitian perempuan dan narasi dalam Kesusastraan Indonesia Kontemporer dengan menggunakan pendekatan kajian budaya terhadap genre Sastra Feminis Islam dan genre Sastra Wangi.
Beberapa hal penting tersebut meliputi, Pertama, keterkaitan antara opresi sistem nilai dengan kecenderungan genre Sastra Feminis Islam dalam novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah el Khalieqy.
Novel tersebut menunjukkan penegasan identitas perempuan (gender identity) yang mengarah pada frontal konfliktual. Hal itu dikarenakan opresi budaya dominan sangat kuat-rigid serta latar sosial kultural el Khalieqy yang masih memegang teguh nilai-nilai (agama dan moral).
Kedua, keterkaitan antara opresi sistem nilai dengan kecenderungan genre Sastra Wangi dalam novel Saman karya Ayu Utami. Novel tersebut berisikan penegasan identitas perempuan yang mengarah pada kompromis-dialogis.
Penyebabnya karena opresi budaya dominan lebih longgar dan latar sosial kultural Utami yang menganut nilai-nilai (modernisme dan kebebasan).
Ketiga, opresi sistem nilai tersebut memiliki implikasi terhadap kecenderungan genre Sastra Feminis Islam dan Sastra Wangi dalam Kesusastraan Indonesia Kontemporer.
Eksplorasi penemuan wanita asal Jawa Barat ini dilakukan dengan tiga tahap. Pertama, operasi kerangka teoritik perspektif strukturalisme genetik Pierre Bourdieu, ‘l’ecriture feminine Héléne Cixous, dan konsep identity Stuart Hall dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban.
Metode yang digunakan berupa qualitative research-verstehen yang bersifat deskriptif-analisis dan induktif. Sehingga ditemukan keterkaitan opresi sistem nilai terhadap penegasan identitas perempuan yang memilih cara radikal dalam berhadapan dengan opresi tersebut.
Kedua, operasi kerangka teoritik perspektif strukturalisme genetik yang sama, namun dalam Novel Saman karya Ayu Utami dengan metode serupa.
Operasi ini menemukan adanya keterkaitan antara opresi sistem nilai tersebut terhadap kecenderungan penegasan identitas perempuan yang memilih cara kompromis dalam berhadapan dengan opresi tersebut.
Ketiga, Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Novel Saman dilihat dari kajian budaya (cultural studies), di dalamnya ditemukan keterkaitan (inner dialectical) antara opresi sistem nilai dengan kecenderungan genre Sastra Indonesia Kontemporer. Kecenderungan tersebut termanifestasi ke dalam genre Sastra Feminis Islam dan Sastra Wangi.
Penerapan kerangka teoritis Pieere Bourdieu, Héléne Cixous, dan Stuart Hall, dengan pendekatan kajian budaya dapat menjawab skeptisisme terhadap beberapa konsep yang ada selama ini.
Diantaranya konsep autotelic artifact, fine arts, l’art pour l’art, autonomous objects, autonomy for art, art for art’s sake, autonomous, autonomy, intentional fallacy dan affective fallacy, close reading, central unity, literary text itself, literature qua literature, dan the work it self.
Konsep-konsep di atas melihat bahwa karya sastra dapat memenuhi kebutuhannya sendiri (self sufficient), sehingga ia tidak bergantung pada apapun yang berada di luar teks sastra (disconnected to cultural and contextual). “Konsep tersebut juga telah meragukan konsep epiphenomenon, sehingga sastra tidak dianggap utama,” tutupnya. <Edithya Miranti>
Biodata Singkat
Nama : Dr Ita Rodiah, MHum
Tanggal Lahir : 02 Februari 1984
Ayah : Muhammad Tadjudin Anshary
Ibu : Yoyoh Anshary
Pendidikan :
- Tahun 2008, Sarjana Sastra di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Tahun 2010, Magister Humaniora dengan konsentrasi studi Ilmu Susastra pada Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI).
- Tahun 2014, Doktor pada konsentrasi studi Bahasa dan Sastra Islam pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Aktifitas :
- Tahun 2003-2004 mengabdikan di Pondok Pesantren Modern Dar al ‘Ulum Lido
- Tahun 2011-2014 Dosen pada Fakultas Sastra, Fakultas Ekonomi, Fakultas Teknik, dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di beberapa kampus Jakarta dan Bogor.
- Tahun 2014, bergabung dengan Perusahaan Konsultan Migas dan PT Perusahaan Gas Negara