Wajo, Gontornews–Desa Bekkae adalah sebuah kawasan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang berada di Desa Paselloreng Kecamatan Gilireng Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Desa ini berkembang menjadi sebuah pemukiman setelah sebelumnya pemerintah setempat menjadikan daerah ini sebagai kawasan transmigrasi pada tahun 2002.
Awalnya, pemerintah merelokasi warga Desa Paselloreng karena wilayah tersebut akan diubah menjadi bendungan yang nantinya mendukung pertanian dalam bentuk irigasi di Kecamatan Belireng Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Program transmigrasi ini dimulai dengan tahap pertama penempatan 100 KK dari Desa Paselloreng ke UPT Bekkae. Tahun 2003 ada tambahan 100 kk penduduk setempat dan tahun 2004 juga 100 kk penduduk setempat.
Pada tahun 2011, transmigrasi bertambah lagi 350 kk yang terdiri dari 250 kk penduduk setempat dan 100 kk dari penduduk luar. Pada tahun 2012 juga ada penempatan 100 kk yang terdiri dari 84 kk dari penduduk setempat dan 16 kk dari daerah luar. “Program transmigrasi ini secara umum berjalan lancar dan menunjukkan perkembangan yang signifikan,” ujar Malaniu, Staf Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab.Wajo Sulawesi Selatan.
Keberhasilan dan keberadaan Permukiman Transmigrasi Bekkae ini tidak terlepas dari peran masyarakat adat setempat yang secara sukarela menyerahkan lahannya dan turut berpartisipasi dalam mendukung pembangunan dan pengembangan permukiman transmigrasi tersebut. Bisa dikatakan, UPT Bekkae merupakan kawasan transmigrasi yang sukses dari tingkat kesejahteraan penduduknya dan perkembangannya.
Lokasi yang jaraknya sekitar 60 km ditempuh selama 1 jam dari Kabupaten Wajo ini sudah memiliki beberapa sarana pendidikan dari tingkat Paud, TK, SD, SMP. Selain itu juga ada puskesmas pembantu, masjid, pasar dan sarana umum lainnya. “Rencananya tahun depan juga akan dibangun SMK,” ujar pria berbadan jangkung ini.
Malaniu bercerita, warga Bekkae yang dulunya berasal dari berbagai daerah sudah merasakan hasil kerja kerasnya. Ada salah satu warga yang sukses dengan hasil pertanianya bernama Andi Rusdi dari Probolinggo, Jawa Timur. Selain mengelola beberapa hektar lahan pertanian dan perkebunan, pria awal Jawa ini paling mapan diantara warga lainnya.
Rumahnya berdiri besar, pekarangannya luas, bersih dan sudah memiliki mobil. Bahkan rumahnya sempat disinggahi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Ja’far ketika berkunjung ke lokasi pemukiman transmigrasi di UPT Bekkae Desa Paselloreng Kecamatan Gilireng Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan ini. “Ia pernah meraih juara tiga transmigran teladan,” paparnya.
Kebanyakan warga Bekkae memperoleh pendapatan dari hasil pertanian seperti padi, pisang, cabe dan tanaman lainnya. Apalagi petani cabe Bekkae sering ketiban berkah ketika harga kebutuhan pokok melambung tinggi, mereka bisa panen dan menjual barangnya. Seperti harga cabe yang kerap melonjak mencapai 75 ribu per kilo masyarakat memetik hasil panen cabe yang ditanam di pekarangan rumah.
Demikian juga soal pangan yang baru saja dipanen para petani Bekkae. Satu keluarga bisa memanen padi sampai 40 karung besar. Tingkat kesejahteraan warga juga bisa dilihat dengan kepemilikan kendaraan mobil maupun motor, sehingga membantu transprtasi warga. Beberapa sarana pun sudah memadai seperti tersedianya koperasi tapi dan kelompok kewirausahaan yang menghasilkan aneka makanan seperti keripik pisang, keripik daun cabe, keripik daun murbey.
“Produk-produk lokal ini sering dipromosikan pada acara-acara pameran dan festival baik tingkat lokal dan nasional,” ungkapnya dengan wajah meyakinkan.
Keberhasilan ini dirasakan Poniem, warga asal Sragen, Jawa Tengah yang sejak tahun 2011 ikut bertransmigrasi. Saat itu Poniem tidak punya pilihan kecuali ikut transmigrasi karena di kampung halaman tidak memiliki lahan garapan dan pekerjaan.
Ia pun berinisiatif mencari informasi ke dinas ketenagakerjaan dan transmigrasi Sragen yang langsung dilayani pegawai setempat. “Kebetulan saat itu ada sosialisasi transmigrasi di daerah Bekkae,” terangnya.
Akhirnya Poniem bersama suami dan anaknya meninggalkan tanah kelahirannya menuju Bekkae untuk memulai hidup baru bersama warga lainya. Di kawasan transmigrasi tersebut, Poniem bersama enam ibu-ibu lainya, memanfaatkan hasil pertanian menjadi makanan ringan dan mendirikan kelompok wirausaha dengan membuat kripik singkong, kripik pisang, kripik daun cabe dan keripik daun murbey.
“Hasilnya cukup untuk membantu memenuhi kebutuha keluarga,” tuturnya.
Disini, ujar Poniem, antar warga tidak ada perbedaan semua sama menjalin hubungan senasib dan seperjuangan. Warga dan pemerintah desa saling membantu dalam meningkatkan taraf hidup dengan mengolah lahan pertanian dan perkebunan menjadi sumber mata pencaharian warga.
Keberhasilan ini juga tidak terlepas dari kreatifitas Poniem dan warga setempat untuk mengelola hasil panenya dengan aneka makanan. Warga setempat dan penduduk transmigrasi membaur dalam keharmonisan menuju kesejahteraan bersama.
“Jika ada warga Bekkae yang tidak mendapat penghasilan minimal 2 juta berarti karena dia malas,” Malaniu menambahkan.
Kedepan kehidupan warga Bekkae akan semakin mudah dengan dibangunnya Bendungan Paselloreng pada tahun 2015. Bendungan ini memiliki kapasitas 138 juta meter kubik serta tinggi bendungan 44,50 meter dan lebar 10 meter.
Dengan dibangunnya bendungan ini produktifitas petani semakin meningkat. Begitu pun standar taraf kehidupan khususnya masayarakat petani akan ikut meningkat. “Bahkan pendapatan petani dan pengamanan pangan nasional juga akan semakin meningkat,” ungkapnya. [Ahmad Muhajir/DJ]