Lhokseumawe, Gontornews – Memasuki medio Mei 2016 ini, genap setahun sudah pengungsi etnis Rohingya dari Myanmar terdampar di Aceh Utara. Setahun pula lembaga kemanusiaan global Aksi Cepat Tanggap (ACT) hadir untuk ikut secara langsung menangani mereka.
Media Relations Komite Nasional untuk Solidaritas Rohingya (KNSR)/ACT Zainal Bakri mengungkapkan, ACT hadir hanya beberapa hari pasca mereka tiba di daratan Aceh Utara, setelah diselamatkan sejumlah nelayan Aceh. “Kondisi mereka saat itu sungguh sangat memprihatinkan setelah berbulan-bulan terapung di tengah laut,†kata Zainal dalam rilisnya yang diterima Gontornews.com, Selasa (17/5).
ACT mulai berkonsentrasi untuk membangun hunian yang layak, jauh dari kesan seperti barak darurat, dan terintegrasi dengan fasilitas seperti klinik kesehatan, ruang belajar, rumah ibadah, dapur umum, taman bermain, MCK dan fasilitas lainnya.
Aksi Cepat Tanggap pun mendapat kepercayaan dari Pemerintah Kabupaten Aceh Utara untuk membangun kawasan hunian yang kemudian didirikan di Desa Blang Adoe Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara. Di atas lahan seluas 5 hektar milik pemerintah tersebut, mulai dibangun hunian 120 kamar lengkap dengan segala fasilitas lainnya.
“Integrated Community Shelter (ICS) Rohingya di Desa Blang Adoe ini pun kemudian disebut banyak pihak sebagai tempat hunian terbaik yang dibangun untuk Rohingya, dibanding dengan tempat hunian serupa yang ada di beberapa negara lain,†ujarnya.
Bersama lembaga internasional, nasional dan lokal, ACT juga terlibat menjadi bagian dalam ‘working group’ yang menangani pendidikan anak-anak dan pelatihan keterampilan pengungsi. Program pemberdayaan yang masih berjalan hingga hari ini adalah pelatihan menjahit bagi pengungsi, utamanya para perempuan.
“Tak ingin melupakan peran warga sekitar, program shelter ini juga melibatkan masyarakat dari Desa Blang Adoe untuk mengikuti pelatihan,†ungkapnya.
Hingga kini, lanjut Zainal, para relawan tangguh dari Lhokseumawe, Aceh Utara, masih setia menemani para tamu-tamu bangsa itu. Mereka merasa bangga dapat terlibat selama setahun penuh dalam menangani pengungsi Rohingya, para pencari suaka yang mengalami penderitaan begitu hebat di negari asalnya.
Bakri menjelaskan, ACT ikut menangani pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh sejak 2007 ketika etnis Rohingya terdampar di Sabang. Pada tahun 2013, ACT turun langsung ke Myanmar untuk membangun ratusan barak di Kamp Setha Ma Ghi, Sitwee.
Seperti diketahui, Pemerintah Myanmar tidak mengakui etnis Muslim minoritas Rohingya di antara 134 etnis resmi di Myanmar. Orang-orang Myanmar dari etnis Rohingya ini disebut PBB sebagai etnis minoritas paling teraniaya di dunia. [Ahmad Muhajir/Rus]