Yogyakarta, Gontornews — Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Putra dan Putri tahun 2003 pada Sabtu (19/12) sukses menggelar Za Green Sharing Session Part-5 bertema Natal dan Tahun Baru: Bagaimana Sikap Kita?.
Acara yang diadakan secara gratis dan diperuntukkan bagi umum ini, berlangsung pukul 13.00 – 15.00 WIB, live via Zoom. “Alhamdulillah, terhitung ada sekitar delapan puluh peserta yang hadir dalam kegiatan tersebut,” ujar Siti Majidah Lc MA, pemateri, kepada Gontornews.com.
Selain Siti Majidah Lc MA, dosen Universitas Ahmad Dahlan dan UNISA (Universitas ‘Aisyiyah) Yogyakarta, juga hadir sebagai narasumber MS Yusuf Al-Amien Lc, kandidat Master Ushul Fikih, Universitas Al-Azhar Mesir.
Pada kesempatan tersebut, Siti Majidah fokus membahas soal aspek historis Natal, Tahun Baru Masehi, dan prinsip toleransinya. Ia menjelaskan, “Menurut para ahli, pada abad-abad permulaan, Natal tidak pernah dirayakan oleh umat Kristen.”
Pada umumnya, umat Kristen hanya merayakan hari kematian orang-orang terkemuka saja, dan tidak pernah merayakan hari kelahiran orang tersebut. Perayaan Natal yang dianggap sebagai hari kelahiran Yesus, mulai diresmikan pada abad keempat Masehi.
Pada abad kelima, Gereja Barat memerintahkan kepada umat Kristen untuk merayakan hari kelahiran Yesus, yang diambil dari hari pesta bangsa Roma yang merayakan hari kelahiran Dewa Matahari. Sebab tidak seorang pun yang mengetahui hari kelahiran Yesus.
Lalu, bagaimanakah dengan sikap toleransi kita sebagai umat Muslim atas perayaan Natal tersebut? Dengan lugas Majidah, narasumber Kajian Lentera Rohani di Redjobuntung FM ini pun menuturkan, “Toleransi adalah sikap menghormati dan menghargai adanya aneka perbedaan, baik pendapat, pemikiran agama, dan adat istiadat.”
Toleransi beragama itu, lanjutnya, tidak berarti bahwa seseorang yang telah mempunyai keyakinan kemudian berpindah atau mengubah keyakinannya untuk mengikuti dan berbaur dengan keyakinan atau peribadatan agama-agama lainnya (sinkretisme).
Toleransi tidak pula dimaksudkan untuk mengakui kebenaran semua agama/kepercayaan, melainkan bahwa ia tetap pada suatu keyakinan yang diyakini kebenarannya. Dan satu hal penting yang wajib diingat sebagaimana disebutkan dalam Hadis Riwayat Abu Daud yakni, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk bagian dari mereka.” [Edithya Miranti]