Gontornews–Babullah Datu Syah dilahirkan di Ternate pada 10 Februari 1528. Putra tertua dari Sultan Khairun (1535-1570) dan permaisurinya Boki Tanjung, putri tertua Sultan Bacan, Alauddin I. Sultan Khairun adalah sultan Ternate yang bijak, cerdas dan taat kepada ajaran agama Islam dan menularkan kepada anaknya, Babullah.
Seperti yang ditulis oleh Irfan Ahmad, Staf Pengajar Ilmu Sejarah, FIB Unkhair; Peneliti Yayasan The Tebings, sejak kecil, Babullah digembleng memahami ajaran Islam secara sungguh-sungguh, serta cara berkomunikasi yang baik dan mengamati jalannya pemerintahan Kesultanan Ternate. Kecerdasan dan sikap yang baik Babullah, membuat Gubernur Antonio Galvao (1537-1540) menawarkan kepada Sultan Khairun agar Babullah mendalami pendidikan Kolese Santo Paulo Goa (India).
Babullah tumbuh dan besar pada saat Kesultanan Ternate mengalami dinamika politik yang cukup pelik. Tentunya ia mengetahui dengan benar sistem pemerintahan yang dijalankan oleh ayah maupun para leluhurnya di bawah hasutan dari orang Portugis dan Spanyol.
Beranjak dewasa, Babullah muda diangkat menjadi Kapita Lao (Panglima Laut), jabatan militer tertinggi dalam struktur Kerajaan Ternate. Karena jabatan itu pula, ia terlibat dalam berbagai ekspedisi atas nama Kesultanan Ternate, terutama ke wilayah Goa, Selayar, Buton, Tobungku, Banggai, Makassar, Nusa Tengara Timur, Seram dan Ambon bahkan sampai ke Mindanao.
Terbunuhnya Sultan Khairun pada 28 Februari 1570, karena penghianatan Lopez de Mesquita, memicu kemarahan rakyat Ternate dan Maluku pada umumnya. Penghianatan orang Portugis dengan membunuh sultan Khairun menamatkan riwayat mereka di Maluku.
Peperangan dengan Portugis memasuki fase baru yang menentukan. Sejak peristiwa naas tersebut sampai tahun 1575 berlangsung perang total antara Kerajaan Ternate dan Portugis. Seluruh rakyat mengangkat senjata di bawah pimpinan Sultan Babullah dan melibatkan berbagai wilayah yang pro terhadap Kesultanan Ternate.
Setelah penobatan Babullah sebagai sultan Ternate(1570-1583). Di bawah sumpah, ia berjanji bahwa tidak akan berhenti mengusir orang-orang Portugis dan wilayah Maluku dan menuntut penyerahan Mesquita untuk diadili.
Ia mengobarkan perang soya–soya (perang pembebasan negeri), beberapa wilayah yang ditempai Portugis digempur. Sebagain kapal berlayar meninggalkan Ternate menuju Ambon. Mendengar kabar tersebut, Babullah segera mengirimkan 5 (lima) kora-kora berkekuatan 500 prajurit menuju Ambon di bawa Kapita Kalakinko, paman—nya sendiri.
Tahun 1671, Babullah menyusun strategi untuk melumpuhkan kekuatan Portugis di Hitu dan Ambon, dengan mengirimkan satu armada di bawah pimpinan Kapita Rubohongi. Misi itu berhasil merebut Hitu Selatan. Armada yang dipimpin oleh Rubohongi, berhasil menguasai Hitu, Buru, Seram, dan sebagian teluk Tomini.
Baabullah semasa perang melawan Portugis mendapat dukungan dan suplai pasukan dari berbagai pualu dengan jumlah yang variasi dan secara keseluruhan mencapai 128.550 orang/prajurit yang siap berperang dan mati di jalan Allah.
Semasa Bababullah memimpin perang terhadap Portugis bernilai unsur Islam yang sangat menonjol. Laporan para Jesuit saat itu, yakin betul bahwa sejumlah besar haji (ulama) tiba di Maluku berasal dari Mekah, Aceh dan Malaya, mereka membawa hak-hak istimewa dan hukum-hukum Islam.
Keperkasaan dan semangat yang hebat dari Sultan Babullah, perang besar antara Ternate dan kerajaan Islam lainnnya melawan Portugis dianggapnya sebagai perang jihad. Oleh karena itu, Sultan Babullah diangkat sebagai Khalifah Imperium Islam Nusantara oleh Sidang Majelis Raja-Raja yang bersekutu dengan Ternate.
Umat Islam di Maluku mengutuk keras penghianatan dan pembunuhan secara keji terhadap sultan Khairun. Meskipun demikiam, sebagai patriot sultan Babullah—pun memberi ultimatum agar orang Portugis yang berada di dalam benteng menyerah dan diperbolehkan meninggalkan Ternate.
Babullah telah menunjukan sikap patriot dan sifat kemanusiaan dan toleransi. Sikap toleransi Babullah terbukti, ketika di dengarnya penderitaan orang-orang Portugis yang ada di dalam benteng, ia pun mengeluarkan ultimatum, bahwa: 1) Portugis harus menyerah dalam waktu satu hari (24 jam) dengan membawa harta benda dan diperlakukan secara adil dan 2) Mereka yang telah beristrikan pribumi Ternate diperbolehkan tetap tinggal dengan syarat dijadikan kawula kerajaan.
Akhirnya pada tanggal 27 Desember 1575 Gubernur de Lacerda mengibarkan bendera putih tanda menyerah kepada sultan Babullah dan benteng Nostra Senora del Rosario jatuh. Pasukan Portugis meninggalkan pulau rempah-rempah tersebut menuju ke ujung pulau Timor.
Dibawah pimpinan Sultan Babullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah kekuasaan dan pengaruhnya membentang dari Sulawesi Utara, Tengah dan Timur di anggota barat sampai kepulauan Marshall dibagian timur, dari Filipina (Selatan) di anggota utara sampai sejauh kepulauan Kai dan Nusa Tenggara di bagian selatan. Sultan Babullah dijuluki Francis Drake, penguasa dari 100 pulau.
Sultan Babullah juga melakukan pemulihan perdagangan dari berbagai negara, seperti pedagang Arab, Gujarat, Aceh, Jawa, dan memperoleh sebagian besar pendapatannya dari bea ekspor 10 persen. Kerajaan Ternate disegani dan memiliki pengaruh Islam yang luas.
Pada 10 November 2020, Pemerintahan Joko Widodo memberikan penganugerahan sebagai Pahlawan Nasional. Peran serta Sultan Babullah dalam memerangi penjajah asing telah membawa Ternate pada masa kejayannya. [fathur]