يَا بَنِيْٓ اٰدَمَ قَدْ اَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُّوَارِيْ سَوْاٰتِكُمْ وَرِيْشًاۗ وَلِبَاسُ التَّقْوٰى ذٰلِكَ خَيْرٌۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ
“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat.” (QS Al-A’raf: 26)
Interpretasi Para Mufasir
Menurut Ahmad Mustafa Al-Maragi dalam tafsirnya, ayat ini menjelaskan bahwa Allah berfiman, hai anak cucu Adam, dengan kekuasaan Kami, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu dari langit Kami, untuk mengatur urusan kalian. Pakaian yang menutupi aurat kalian dan perhiasan yang kamu pakai di majelis-majelis dan pertemuan-pertemuan. Yaitu pakaian yang paling tinggi dan sempurna, juga pakaian yang lebih rendah dari itu. yaitu pakaian yang digunakan untuk memelihara diri dari panas dan dingin.
Maksud diturunkannya hal-hal tersebut dari langit, ialah diturunkannya bahan berupa kapas, wol bulu sutera, bulu burung, dan lainnya, yang ditimbulkan oleh kebutuhan, dan manusia telah terbiasa memakainya, setelah mereka mempelajari cara-cara membuatnya, berkat naluri dan sifat yang Allah adakan dalam diri mereka. Dengan naluri dan sifat-sifat tersebut, mereka dapat memintal, menenun, dan merajut semua itu dengan berbagai cara, lalu menjahitnya menurut bentuk yang beragam.
Tidak diragukan bahwa bila Allah menganugerahkan kepada kita pakaian dan perhiasan, merupakan dalil bahwa perhiasan dan keinginan untuk memakainya dibolehkan. Jadi Islam agama fitrah, tidak terdapat padanya sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diperlukan oleh kebutuhan.
Selanjutnya, makna frasa وَلِبَاسُ التَّقْوٰى menurut riwayat Ibnu Abbas, adalah iman dan amal shalih, karena iman dan amal shalih itu lebih baik dari perhiasan-perhiasan pakaian. “Di samping itu ada riwayat Zaid bin Ali bin Al-Husain, bahwa yang dimaksud ialah pakaian perang, seperti baju perang rompi besi dan alat-alat lain yang digunakan untuk memelihara diri dari serangan musuh.”
Sedangkan dalam tafsir At-Thabari dijelaskan bahwa makna frasa وَلِبَاسُ التَّقْوٰى adalah menghadirkan takwa kepada Allah dalam diri saat meninggalkan kemaksiatan yang dilarang Allah dan mengamalkan ketaatan yang diperintahkan-Nya. Ini mencakup keimanan kepada-Nya, amal shalih, malu, takut kepada Allah, dan raut wajah yang baik. Sebab, barangsiapa takut kepada Allah, berarti telah beriman kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, takut kepada-Nya, selalu merasa diawasi, dan malu bila terlihat oleh-Nya sedang melakukan hal-hal yang tidak disukai-Nya.
Barangsiapa memiliki sifat dan sikap seperti ini maka tampaklah bekas-bekas kebaikan. Jadi, raut wajahnya baik, petunjuknya baik, dan dirinya penuh dengan cahaya keimanan.
ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ
Kenikmatan-kenikmatan tersebut, berupa diturunkannya pakaian-pakaian merupakan di antara ayat-ayat yang menunjukkan kekuasaan Allah dan petunjuk-petunjuk yang menunjukkan kebajikan dan anugerah-Nya atas Bani Adam.
Kenikmatan-kenikmatan ini menjadikan manusia pandai mengingat anugerah Allah dan melaksanakan syukur yang menjadi kewajiban manusia (Tafsir Al-Maragi).
Nilai-nilai Pendidikan Islam
QS Al-A’raf: 26 tersebut di atas mengandung sejumlah nilai Pendidikan buat kita. Pertama, nilai pendidikan akidah yang meliputi pendidikan takwa, yang mengajarkan kita bertakwa kepada Allah di mana pun kita berada dan pendidikan keimanan, yaitu mengajarkan kita untuk selalu beriman kepada Allah SWT.
Kedua, nilai pendidikan ibadah, meliputi perintah menutup aurat dan perintah bersyukur yang mengajarkan kita untuk selalu bersyukur, karena pakaian juga merupakan nikmat.
Makna Takwa
Kata takwa merupakan bentuk masdar dari ittaqa-yattaqi yang berarti menjaga diri dari sesuatu yang membahayakan.
Dalam tradisi Islam yang dikatakan Ar-Raghib Al-Asfahani, al-taqwa berarti memelihara diri dari perbuatan dosa, dengan cara meninggalkan perkara-perkara yang terlarang.
Imam Nawawi mendefinisikan takwa dengan menaati perintah dan larangan-Nya atau dengan kata lain manusia wajib menjaga diri dari kemurkaan dan azab Allah SWT.
Dalam kitab Tuhfatul Ikhwan disebutkan bahwa takwa adalah melaksanakan semua perintah dan menjahui segala larangan.
Takwa ada tiga tingkatan, yaitu: Pertama, menjaga diri dari azab abadi, yakni dengan menjauhi kemusyrikan. Kedua, menjahui segala yang bernilai dosa, baik itu perbuatan atau bukan, sampai kepada perkara-perkara yang remeh menurut kebanyakan orang.
Ketiga, menjauhi berbagai perkara yang menyibukkan batinnya dari Allah SWT.
Imam Nawawi al-Bantaniy dalam Nasha’ihul Ibad menjelaskan bahwasanya ketika seorang yang beriman ingin meraih hakikat takwa (ketakwaan yang sebenarnya), maka ia harus melalui lima tahapan, yakni: Pertama, memilih kesukaran dalam beribadah ketimbang kenikmatan dunia yang melalaikan. Ia akan merasakan kepayahan dalam beribadah terus berjuang dan istiqamah, niscaya Allah anugerahkan ia kenikmatan dalam beribadah.
Kedua, memilih kesungguhan dalam beribadah kepada Allah ketimbang bersantai-santai. Ketiga, memilih bersikap rendah diri ketimbang merasa mulia. Bersikap rendah hati di hadapan Allah SWT dan segenap ciptaan-Nya.
Keempat, memilih diam ketimbang banyak bicara hal-hal yang tak bermanfaat. Kelima, memilih kematian ketimbang kehidupan, maksudnya ialah memilih kehidupan yang abadi pascakematian di dunia ketimbang memilih kehidupan yang fana di dunia. Sehingga menimbulkan semangat untuk beramal shalih sebagai bekal menuju kehidupan yang abadi.
Sebaik-baik Bekal dalam Perjalanan Ibadah Haji
Allah berfirman:
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
Artinya: “(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal yaitu takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!” (QS Al-Baqarah: 197)
kata “takwa” dalam ayat ini sebagai bentuk penguatan pentingnya bekal takwa dalam haji. Bekal takwa inilah yang selalu menyadarkan jamaah haji bahwa kepergiannya ke Tanah Suci merupakan ritual sakral, bukan sekadar rekreasi sehingga selalu menyesuaikan penampilannya sebagai Duyufur-Rahman (tamu Allah), bukan wisatawan.
Dalam Al-Haj Wal Hujjaaj dijelaskan, “Jamaah haji sejati itu sedikit, sementara orang-orang yang (rekreasi) naik kendaraan itu banyak. Maka takwa yang menuntun seseorang dalam melaksanakan ibadah mulia ini, selalu melandasinya dengan niat suci dan hati yang bersih, semata-mata ingin meraih ridha Ilahi, Allah SWT, sehingga terhindar dari penyakit ria (pamer) dan sum’ah (pencitraan).
Oleh karena itu, hal ini dapat menyemangati jamaah haji untuk meninggalkan semua hal negatif yang bisa menodai kemabruran hajinya, khususnya rafats (bersetubuh dan permulaan-permulaannya, seperti bercumbu), fusuq (berbuat fasik), dan jidal (berbantah-bantahan).
Makna Takwa dalam QS Al-Baqarah Ayat 197
Maksud dari takwa menurut Imam Nawawi Al-Bantani ialah melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan. Sebab dengannya seseorang telah membawa bekal terbaik. Begitupun makna dari takwa pada ayat ini ialah sesuatu yang digunakan sebagai bekal untuk pelaksanaan ibadah haji agar tidak meminta-minta kepada orang lain selama pelaksanaan haji.
Menurut Imam As-Suyuthi bahwa maksud dari takwa pada ayat ini ialah sesuatu yang dijadikan bekal untuk perjalanan ibadah haji agar tidak meminta-minta kepada orang lain. Hal ini didukung dengan adanya riwayat yang menjelaskan bahwa ayat perintah membawa bekal tersebut turun untuk penduduk Yaman yang pergi melaksanakan haji tanpa membawa bekal sehingga menyusahkan orang lain.
Tiga hal penting dari bekal takwa dalam QS Al-Baqarah: 197, yaitu: Pertama, ikhlas kepada Allah dalam menunaikan ibadah haji. Kedua, sabar dalam menjalankan ibadah haji. Ketiga, berserah diri terhadap segala ketentuan dan kenyataan yang terjadi selama melaksanakan ibadah haji.
Tidak Melanggar Syiar-syiar Allah
Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَآ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۗوَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا ۗوَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْۘا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala’id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitul Haram; mereka mencari karunia dan keridhaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS Al-Maidah: 2)
Karena itu agungkanlah syiar Allah. Allah SWT berfirman:
ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ فَاِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al-Hajj: 32)
Lalu bagaimana caranya agar kita senantiasa mengenakan pakaian takwa, baik saat berhaji atau tidak? Berikut beberapa cara yang bisa diikuti: Pertama, senantiasa mengimani Allah dan tawakal kepada-Nya. Allah berfirman:
قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam’.” (QS Al-An’am: 162)
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung.” (QS Al-Ma’idah: 35)
Ketiga, mampu mengontrol emosi. Rasulullah bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah ia yang pandai bergulat, melainkan ia yang mampu mengontrol emosinya dengan baik ketika marah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Keempat, bersegera mencari ampunan Allah SWT. Allah juga berfirman:
وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali ‘Imran: 133)
Kelima, menjemput hidayah Allah agar memperoleh petunjuk-Nya. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِيْنَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَّاٰتٰىهُمْ تَقْوٰىهُمْ
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka.” (QS Muhammad: 17)
Keenam, memiliki rasa kasih sayang. Allah SWT berfirman:
وَّحَنَانًا مِّنْ لَّدُنَّا وَزَكٰوةً ۗ وَكَانَ تَقِيًّا ۙ
“Dan (Kami jadikan) rasa kasih sayang (kepada sesama) dari Kami dan bersih (dari dosa). Dan dia pun seorang yang bertakwa.” (QS Maryam: 13)
Ketujuh, senantiasa bermuhasabah atas semua perbuatan. Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr: 18)
Kedelapan, berusaha berubah menuju kepada ketakwaan. Allah SWT berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ…..
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11)
Kesembilan, bergaul bersama orang-orang yang benar dan bertakwa. Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS At-Taubah: 119)
Kisah Teladan
Alkisah, ada dua sahabat Nabi Muhammad SAW yang sangat setia kepada istri masing-masing. Dua sahabat itu yaitu Umar bin al-Khattab dan Anas bin Malik RA. Keduanya selalu membangunkan istrinya, kemudian anaknya, agar dapat melaksanakan shalat tahajud dan makan sahur bersama. Kedua sahabat ini merasa sangat terkesan saat mendengar hadis qudsi, “Wahai Muhammad, ketahuilah bahwa kemuliaan orang Mukmin itu terletak pada qiyamul lail.” (HR Muslim)
Sedemikian mendalamnya kesan itu, sehingga Umar bin al-Khattab menyampaikan pesan kepada rakyatnya, “Manisnya kehidupan dunia itu terletak pada tiga hal: qiyamul lail, bertemu dengan sahabat seperjuangan, dan shalat berjamaah.“
Diriwayatkan Aisyah RA, Rasulullah SAW pernah melakukan shalat tahajud dalam waktu sangat lama. Beliau meminta Aisyah untuk membiarkannya berberibadah kepada Allah dengan khusyuk. Aisyah RA mendekati Rasulullah dan berkata, “Demi Allah, aku ingin selalu dekat denganmu dan melakukan sesuatu yang dapat membahagiakanmu!” Rasul pun bergeming terhadap “ajakan” Aisyah. Rasul lalu mengambil air wudhu dan melanjutkan shalat malamnya saat itu.
Aisyah kemudian mengisahkan bahwa Rasul meneruskan shalat malamnya sambil menitikkan air mata. Air mata itu mula-mula hanya membasahi pipi, lalu jenggot, sampai akhirnya membasahi tempat sujud beliau. Rasulullah tidak henti-hentinya menangis dalam shalat tahajud itu hingga Bilal RA mengumandangkan adzan Shubuh.
Aisyah bertanya, “Mengapa engkau menangis seperti itu? Tidakkah Allah telah mengampuni dosa masa lalu dan mendatang engkau?” Rasul menjawab, “Sungguh aku beribadah seperti itu karena aku ingin menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur!” Bersyukur merupakan jalan takwa kepada Allah dengan mendekatkan diri kepada-Nya.
Setia di jalan takwa dapat mengalahkan kecintaan hamba terhadap dunia, harta, tahta, bahkan wanita. Oleh karena itu, Nabi SAW meneladankan kesetiaan di jalan takwa dengan selalu berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu untuk selalu merasa takut kepada-Mu, di saat sendiri maupun ramai. Aku memohon kepada-Mu kelezatan untuk memandang wajah-Mu, dan merindukan pertemuan mesra nan indah dengan-Mu dalam situasi tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.” (HR an-Nasai No 1304)
Setia di jalan takwa merupakan solusi kehidupan, pembuka pintu rezeki, dan pelancar segala urusan (lihat QS ath-Thalaq: 2-4).
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَآ اُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَۖ وَاَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۚ اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (QS Al-Baqarah: 128) []