مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS Al-Hadid: 22)
Interpretasi para mufasir
Yang dimaksud dengan “Lauh” adalah lembaran dan “Mahfuzh” artinya terjaga. Ibnu Katsir menandaskan bahwa Lauhul Mahfuzh berada di tempat yang tinggi, terjaga dari penambahan, pengurangan, perubahan dan penggantian. Di dalam Lauhul Mahfuzh dicatat takdir setiap makhluk.
Syekh Imam al-Qurtubi menyatakan dalam Tafsir Al-Qurtubi bahwa musibah adalah segala sesuatu yang diderita atau dirasakan oleh Mukmin. Musibah ini biasanya diucapkan ketika seseorang mengalami malapetaka, walaupun malapetaka yang dirasakan itu ringan atau berat baginya. Kata musibah juga sering dipakai untuk kejadian-kejadian yang buruk dan tidak dikehendaki.
Menurut ar-Razi dalam tafsirnya, hakikat musibah telah ditentukan oleh Allah terhadap semua yang ada di bumi, misalnya banjir, kemarau panjang, gagalnya hasil pertanian. Musibah yang dirasakan manusia ada dua kategori. Pertama, seperti sakit, fakir, kematian keluarga. Kedua, sebagai ujian kebaikan maupun keburukan.
Dalam Tafsir al-Misbah dijelaskan tentang anjuran agar tidak terpengaruh dengan gemerlap duniawi, karena sesungguhnya ayat tersebut mengingatkan manusia agar jangan terlalu risau dengan apa yang mungkin dibisikkan setan menyangkut dampak negatif berinfak dan berjuang.
Hikmah musibah menurut Imam Baghawi dalam tafsirnya yang berjudul Ma’alim at-Tanzil. Pertama, tidak bersedih atas hilangnya kenikmatan dunia yang ia miliki dari genggamannya. Serta tetap bersyukur atas segala karunia yang diberikan Allah kepada makluk-Nya.
Kedua, agar manusia tidak bangga atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah. Ketika ditimpa musibah, setiap orang pasti merasakan kesusahan sehingga janganlah kita sombong atas nikmat yang kita miliki.
Allah SWT berfirman:
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ
“Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS Al-Hadid: 23)
Nilai-nilai pendidikan
QS Al-Hadid: 22 seperti tersebut di atas memiliki sejumlah nilai pendidikan bagi manusia. Pertama, mendidik kita agar senantiasa bersyukur atas karunia Allah. Kedua, mendidik kita agar senantiasa bersabar atas semua musibah yang terjadi.
Ketiga, mendidik kita agar senantiasa beriman kepada Allah dan kepada takdir-Nya. Keempat, mendidik kita agar menjauhi larangan Allah dan senantiasa bertobat kepada-Nya.
Lalu, mengapa bencana terjadi? Pertama, bencana terjadi akibat ulah tangan manusia yang merusak lingkungan. Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41)
Ayat tersebut menegaskan bahwa kerusakan di bumi ini bukan terjadi dengan sendirinya tetapi karena perbuatan manusia.
Frasa اَيْدِى النَّاس dalam ayat tadi merupakan majaz mursal, yang disebutkan bahwa kerusakan alam, diakibatkan oleh tangan manusia, tetapi yang dimaksud adalah oleh seluruh perbuatan manusia.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan frasa “اَيْدِى النَّاس ” dalam ayat tersebut adalah perbuatan manusia berupa ketamakan, kemaksiatan, dan dosa-dosa yang menyebabkan alam rusak dan binasa.
Kedua, bencana terjadi akibat kesalahan yang diperbuat manusia.
Allah berfirman:
مَآ اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ۖ وَمَآ اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَ ۗ وَاَرْسَلْنٰكَ لِلنَّاسِ رَسُوْلًا ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًا
“Kebajikan apa pun yang kamu peroleh dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada (seluruh) manusia. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi.” (QS An-Nisa’: 79)
Ketiga, bencana terjadi akibat banyaknya orang zalim yang selalu berbuat fasik.
Allah berfirman
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهٖٓ اَنْجَيْنَا الَّذِيْنَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوْۤءِ وَاَخَذْنَا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا بِعَذَابٍۢ بَـِٔيْسٍۢ بِمَا كَانُوْا يَفْسُقُوْنَ
“Maka setelah mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang orang berbuat jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (QS Al-A’raf: 165)
Keempat, bencana diturunkan bagi orang yang kafir dan ingkar akan perintah-Nya.
Allah berfirman:
ثُمَّ اَنْزَلَ اللّٰهُ سَكِيْنَتَهٗ عَلٰى رَسُوْلِهٖ وَعَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَاَنْزَلَ جُنُوْدًا لَّمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ وَذٰلِكَ جَزَاۤءُ الْكٰفِرِيْنَ
“Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Dia menurunkan bala tentara (para malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menimpakan azab kepada orang-orang kafir. Itulah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS At-Taubah: 26)
Kelima, Allah hendak menguji hamba-Nya agar menjadi pribadi yang lebih baik. Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Orang yang dikehendaki Allah menjadi pribadi yang lebih baik, Allah akan mengujinya terlebih dahulu.” (HR al-Bukhari No. 5645)
Menurut Ali Mustafa Ya’qub, musibah apa pun yang menimpa umat Nabi SAW terjadi karena salah satu dari empat perkara, yaitu: 1) Ujian keimanan, 2) Meningkatkan derajat keimanan, 3) Bukti cinta Allah kepada hamba-Nya, 4) Teguran atau peringatan.
Salah satu musibah yang diberikan Allah kepada manusia yaitu bumi mulai bergerak dan diguncangkan, sebagaimana Allah berfirman:
اِذَا زُلْزِلَتِ الْاَرْضُ زِلْزَالَهَاۙ
“Apabila Bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat.” (QS Al-Zalzalah: 1)
Maka pada saat itu mata manusia terbelalak demi menyaksikan Kejadian Besar. Allah SWT berfirman, yang artinya: “Dia bertanya, ‘Kapankah hari Kiamat itu?’ Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan bulan pun telah hilang cahayanya, lalu matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata, ‘Ke mana tempat lari?’ Tidak! Tidak ada tempat berlindung! Hanya kepada Tuhanmu tempat kembali pada hari itu.” (QS Al-Qiyamah: 6-12)
Hanya Allah yang Memberi Rasa Aman dan Menyelamatkan
Allah SWT berfirman:
ءَاَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَاۤءِ اَنْ يَّخْسِفَ بِكُمُ الْاَرْضَ فَاِذَا هِيَ تَمُوْرُۙ
“Sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan membuat kamu ditelan Bumi ketika tiba-tiba ia terguncang?“ (QS Al-Mulk: 16)
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقْبَضَ الْعِلْمُ وَتَكْثُرَ الزَّلَازِلُ وَيَتَقَارَبَ الزَّمَانُ وَتَظْهَرَ الْفِتَنُ وَيَكْثُرَ الْهَرْجُ وَهُوَ الْقَتْلُ الْقَتْلُ حَتَّى يَكْثُرَ فِيكُمْ الْمَالُ فَيَفِيضَ
“Dari Abu Hurairah, dia berkata, Nabi SAW bersabda, “Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali setelah hilangnya ilmu, banyak terjadi gempa, waktu seakan berjalan dengan cepat, timbul berbagai macam fitnah, Al haraj -yaitu pembunuhan- dan harta melimpah ruah kepada kalian.” (HR Bukhari)
Kisah teladan
Menurut riwayat, Umar bin Khaththab menyeru kepada penduduk setempat, “Wahai manusia, gempa ini tidak terjadi kecuali karena perbuatan kalian! Demi Zat Yang Menggenggam jiwaku, jikalau ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal di sini bersama kalian.”
Umar bin Khaththab pada saat itu spontan mengenang kejadian serupa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW di Madinah.
Sang khalifah merasa bahwa Allah SWT sedang mengingatkan kaum Muslimin sepeninggal Nabi SAW dan Abu Bakar ash-Shiddiq. Maka dari itu, tidak ada yang terucap di lisannya selain peringatan kepada sekalian umat Islam agar segera meninggalkan kebiasaan buruk dan bertobat dengan sungguh-sungguh demi keridhaan Sang Pencipta.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya, al-Jawab al-Kafy, berkomentar, “Di kalangan salaf, jika terjadi gempa bumi, mereka berkata, ‘Sesungguhnya Tuhan sedang menegur kalian’.”
Gempa bumi juga menggoyang wilayah kaum Muslimin generasi berikutnya. Pada saat itu, Umar bin Abdul Aziz tampil selaku khalifah Dinasti Umayyah. Dia mengambil kebijakan yang sejalan dengan apa yang telah dilakukan kakek buyutnya, Umar bin Khaththab.
Diserukannya kepada penduduk agar sama-sama bermunajat kepada Allah SWT dan memohon ampunan-Nya. Selanjutnya, pemimpin yang terkenal akan sifat zuhudnya itu mengirimkan surat kepada seluruh wali negeri. Isinya mengingatkan para bawahannya itu, “Amma ba’du, sesungguhnya gempa ini merupakan teguran dari Allah kepada seluruh hamba-Nya. Saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya.”
Cara agar terhindar dari bencana dan musibah
Berikut beberapa cara agar kita terhindar dari musibah dan bencana. Pertama, bertobat kepada Allah atas dosa yang dilakukan. Allah berfirman:
وَاخْتَارَ مُوْسٰى قَوْمَهٗ سَبْعِيْنَ رَجُلًا لِّمِيْقَاتِنَا ۚفَلَمَّآ اَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ قَالَ رَبِّ لَوْ شِئْتَ اَهْلَكْتَهُمْ مِّنْ قَبْلُ وَاِيَّايَۗ اَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ السُّفَهَاۤءُ مِنَّاۚ اِنْ هِيَ اِلَّا فِتْنَتُكَۗ تُضِلُّ بِهَا مَنْ تَشَاۤءُ وَتَهْدِيْ مَنْ تَشَاۤءُۗ اَنْتَ وَلِيُّنَا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَاَنْتَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ
Artinya:
“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Ketika mereka ditimpa gempa bumi, Musa berkata, ‘Ya Tuhanku, jika Engkau kehendaki, tentulah Engkau binasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang berakal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari-Mu, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah pemimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat. Engkaulah pemberi ampun yang terbaik’.” (QS Al-A’raf: 155)
Allah juga berfirman:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)
“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS Nuh: 10-12)
Kedua, senantiasa berbuat kebaikan. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرٰى بِظُلْمٍ وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ
“Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim sedangkan penduduknya berbuat kebaikan.” (QS Hud: 117)
Ketiga, menaati Allah dan menjauhi larangan-Nya. Allah berfirman:
وَاِذَآ اَرَدْنَآ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).” (QS Al-Isra’: 16)
Keempat, beriman, bertakwa, dan tidak mendustakan ayat-ayat Allah.
Allah berfirman:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96)
Dalam diskursus kajian ilmu Mantiq, ayat tersebut merupakan contoh qadiyah syarthiyah mujabah, sebab وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا dalam ayat tersebut termasuk kalimat syarat dan jawab syaratnya terangkai dalam وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ
Dalam Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir dijelaskan “pasti akan Kami limpahkan keberkahan dari langit maupun keberkahan dari bumi, syarat utamanya iman dan takwa. Tetapi, mereka tetap dalam kemungkaran dan kemaksiatan, maka pada akhirnya bukan berkah melainkan azab yang Kami limpahkan kepada mereka.”
لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَك إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Tidak ada Tuhan melainkan Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-Anbiya’: 87) []