Jakarta, Gontornews — Panitia Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre) pada Senin (28/2/2022) mempersembahkan acara Peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW 1443 Hijriah bertema “Isra’Mi’raj, Perjalanan Ruhiyah Hamba dengan Khaliq-Nya”.
Beberapa tokoh Islam juga turut hadir dalam acara tersebut, termasuk di antaranya Ustadz Dr Adi Hidayat Lc MA (penceramah), KH M Subki Lc (Kepala Pusat PPPIJ), Pengurus Majelis Ulama Indonesia, Walikota Jakarta Utara, MUI Jakarta Utara, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Jakarta Utara, seluruh pimpinan ormas PPIJ JIC, dan masih banyak lagi.
Dalam ceramahnya, Ustadz Adi Hidayat atau biasa disingkat UAH menyampaikan ada tiga poin penting terkait peristiwa Isra Mi’raj yang menjadi catatan krusial dan telah didokumentasikan oleh ulama klasik juga kontemporer. Bukan hanya pakar tafsir tapi pakar hadis juga turut mendokumentasikan bagian penting dalam peristiwa Isra’ Mi’raj ini.
Peristiwa Isra’ Mi’raj itu terjadi di tahun kesepuluh kenabian, ketika Nabi SAW ditinggal oleh Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib. Inilah tahun kesedihan Nabi SAW, di kala kedua pelindungnya telah tiada, dan setelah itu banyak sekali intimidasi yang ditujukan kepada Nabi SAW.
Jika melihat sejarah dari sebelum hingga sesudah peristiwa mulia ini, tepatnya saat Nabi SAW kembali diuji dengan sambutan tidak menyenangkan dari penduduk Thaif hingga akhirnya pulang ke Mekkah, ke rumah bibinya Sayyidah Maimunah, dan melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj, maka Allah pun memberikan beberapa hikmah terbaiknya dari kejadian tersebut.
Pertama, setiap risalah kebaikan yang menghadirkan kemuliaan, pasti akan berhadapan dengan ujian, tantangan untuk menguji kesungguhannya.
Kedua, pra Isra’ Mi’raj, bagaimana beliau menyampaikan responsnya dengan elegan, “Fainnahum qaumun la ya’lamun…” Hal itu menunjukkan ajaran kebaikan Rasulullah SAW yakni mencintai bukan menyakiti, merangkul bukan memukul. “Begitulah dakwah Rasulullah SAW,” terang Ustadz Adi Hidayat.
Ketiga, melihat sebelumnya Rasulullah SAW begitu besar menaruh harapan kepada istri dan pamannya tercinta, maka Allah SWT kemudian memberikan ujian atas kepergian keduanya dan mengarahkan semua permohonan perlindungan itu kepada satu titik saja yaitu Allah semata.
Di sini Allah ingin menggeser sandaran kepada makhluk agar hanya bersandar kepada Sang Khaliq. Memusatkan jembatan kekuatan tawakkal itu hanya kepada Allah SWT. “Sehingga terlihatlah secara nyata dahsyatnya kekuatan Allah yang melampuai sandaran kepada manusia, sampai tibalah undangan Isra’ Mi’raj itu,” tutup UAH di depan ribuan jamaah yang hadir dalam acara virtual meeting tersebut. [Edithya Miranti]