فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Maka, tetaplah (di jalan yang benar), sebagaimana engkau (Nabi Muhammad) telah diperintahkan. Begitu pula orang yang bertobat bersamamu. Janganlah kamu melampaui batas! Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Hud: 112)
Interpretasi Para Mufasir
Menurut Tafsir Aisarut Tafasir, makna kata (فَاسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ) fastaqim kamaa umirta yaitu “di atas perintah dan larangan, sebagaimana engkau diperintahkan, tanpa adanya pengurangan”. Sedangkan (وَلَا تَطۡغَوۡاْۚ ) walaa tathghau yaitu “janganlah engkau melanggar hukum-hukum Allah”.
Pelajaran dari ayat ini yaitu: 1) Wajibnya istiqamah di atas agama Allah dari segi akidah, ibadah, hukum, dan adab, 2) Haramnya ghuluw (berlebih-lebihan) dan melampaui batas yang Allah gariskan dalam syariatnya.
Tafsir Ibnu Katsir menyebutkan, Allah SWT memerintahkan kepada Rasul dan hamba-hamba-Nya yang beriman agar bersikap teguh dan tetap berjalan pada jalan yang lurus. Karena hal tersebut merupakan sarana yang membantu untuk memperoleh kemenangan atas musuh dan menangkal semua perlawanan mereka. Lalu Allah melarang bersikap melampaui batas, karena sesungguhnya sikap ini mendatangkan kehancuran diri, sekalipun dalam bersikap terhadap orang musyrik.
Sementara Jalaluddin Al Mahalli memaknai istiqamah dengan “kesinambungan amal sesuai dengan perintah Allah, dan berdakwah kepadanya, sebagaimana diperintahkan kepadanya.”
Imam Al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Objek yang dituju dalam pembicaraan itu yakni Rasul dan umatnya, akan tetapi ada yang mengatakan bahwa objek pembicaraan itu Rasul, akan tetapi itu juga berlaku bagi umatnya.”
Dan beliau menukil pendapat As Saddi dalam memaknai istiqamah. Istiqamah yang dimaksud As Saddi adalah: Mintalah keteguhan untuk berada di atas agama ini kepada Allah. Kemudian beliau menukil hadits dari Sufyan ibn Abdillah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku suatu kalimat, yang aku tak akan menanyakannya kepada selainmu!” Kemudian Rasul menjawab, “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah,’ kemudian mintalah keteguhan (untuk berada di dalamnya)!”
Ayat di ataslah yang menurut Nabi SAW sangat berat untuk dilaksanakan.
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata:
مَا نُزِّلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ- آيَةً هِيَ أَشَدُّ وَلَا أَشَقُّ مِنْ هذِهِ الآيَةِ عَلَيْهِ، وَلِذلِكَ قَالَ لِأَصْحَابِه حِيْنَ قَالُوْا لَه: لَقَدْ أَسْرَعَ إِلَيْكَ الشَّيْبُ! فَقَالَ : (( شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ وَأَخْوَاتُهَا )).
Tidaklah ada satu ayat pun yang diturunkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih berat dan lebih susah daripada ayat ini. Oleh karena itu, ketika beliau ditanya, ‘Betapa cepat engkau beruban’, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Sahabatnya, ‘Yang telah membuatku beruban adalah surat Hûd dan surat-surat semisalnya. (HR Tirmidzi, No. 3297)
Beratnya perintah beristiqamah dapat dimengerti melalui definisi beberapa ulama berikut ini:
Abu Bakr Ash-Shiddîq RA dalam kitab Jâmi’ al-‘Ulûm wal-Hikam ketika menafsirkan (tsummas-taqâmû): “Tidak berbuat syirik terhadap Allâh Azza wa Jalla dengan segala apapun.”
‘Umar bin Khaththâb RA dalam Kitab az-Zuhud: “Istiqamah adalah lurus pada ketaatan (melaksanakan perintah) dan menjauhi larangan, serta tidak belok (ke kiri dan ke kanan) seperti beloknya serigala.”
Abul-Qâsim al-Qusyairi rahimahullah dalam Syarh Shahîh Muslim: “Istiqamah adalah suatu derajat yang dengannya segala urusan (agama) menjadi sempurna dan dengannya akan didapatkan kebaikan-kebaikan dan keteraturan.”
An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahîh Muslim: “Lurus di atas ketaatan sampai diwafatkan dengan keadaan seperti itu.”
Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah dalam Kitab Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam: “Menapaki jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, tanpa berbelok-belok ke kanan dan ke kiri. Termasuk di dalamnya mengerjakan seluruh perbuatan taat, secara lahir dan batin dan meninggalkan seluruh larangan seperti itu pula.”
Nilai-Nilai Pendidikan
QS Hud: 112 mengandung nilai-nilai pendidikan buat manusia. Pertama, mendidik hamba-Nya agar senantiasa istiqamah dalam ibadah dan berbuat kebaikan. Kedua, mengajarkan hambanya agar menaati perintah Allah dan bertobat atas segala dosa dan kekhilafan.
Ketiga, mendidik hamba-Nya menjadi pribadi yang tangguh, taat dan tidak melampaui batas. Keempat, menanamkan keimanan yang kuat dan mendekatkan diri kepada Allah serta menjauhi berbuat zalim.
Makna Istiqamah
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menjelaskan makna istikamah: “Istiqamah adalah meniti jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, dengan tanpa membelok ke kanan atau ke kiri. Dan istiqamah mencakup melakukan semua ketaatan yang lahir dan yang batin dan meninggalkan semua perkara yang dilarang. Maka wasiat ini mencakup seluruh ajaran agama.”
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ
Dari Sufyan bin Abdullâh ats-Tsaqafi, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasûlullâh, katakan kepadaku di dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan bertanya kepada seorang pun setelah Anda!” Beliau menjawab: “Katakanlah, ‘aku beriman’, lalu istiqamahlah”. (HR Muslim, No. 38)
Istiqamah merupakan salah satu akhlak yang sangat penting dimiliki oleh orang beriman. Untuk itu Allah SWT memerintahkan agar seorang Mukmin beristiqamah. Terkait dengan hal ini, Allah berfirman:
قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۟ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰىٓ اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ فَاسْتَقِيْمُوْٓا اِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُۗ وَوَيْلٌ لِّلْمُشْرِكِيْنَۙ
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu Tuhan Yang Mahaesa. Oleh sebab itu, tetaplah (dalam beribadah) dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Celakalah orang-orang yang mempersekutukan-Nya. (QS Fushshilat: 6)
Rasulullah SAW bersabda:
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Iman seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga hatinya istiqamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga lisannya istiqamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk surga. (HR Ahmad, No. 12636)
Tidaklah mudah untuk dapat beristiqamah. Kita harus rela mengekang hawa nasu dan terus bermujâhadah selama bertahun-tahun agar menjadi pribadi yang tangguh. Muhammad bin al-Munkadir rahimahullah berkata dalam Kitab Hilyatul-Auliyâ’:
كَابَدْتُ نَفْسِيْ أَرْبَعِيْنَ سَنَةٍ حَتَّى اسْتَقَمْتُ
Saya mengekang jiwaku selama empat puluh tahun barulah saya bisa beristiqamah.
Menurut Ibn al-Qayyim dalam Fawaid al-Fawaid, orang yang mencari ridha Allah dan ingin meraih kebahagiaan dalam kehidupan akhirat tidak akan bisa istiqamah dalam menggapai tujuannya melainkan dengan dua hal berikut:
Pertama, memenjarakan (menguatkan) hati untuk tetap pada pencarian dan pencapaiannya menuju Allah, serta menahan hati itu agar tidak menoleh kepada selain-Nya.
Kedua, memenjarakan lidah agar tidak membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat. Memenjarakannya dalam dzikir kepada Allah dan untuk hal-hal yang bisa meningkatkan iman, juga yang dapat menambah makrifat kepada-Nya. Di samping itu, harus pula memenjarakan (menahan) anggota tubuh yang lain dari melakukan maksiat dan menuruti syahwat, serta menguatkannya untuk berbuat hal-hal yang wajib dan mandub (disunnahkan).
Keistimewaan Istiqamah
Pertama, keistimewaan orang yang istiqamah, Allah menurunkan malaikat sebagai pelindung di dunia dan di akhirat, memperoleh apa yang diinginkan serta apa yang diminta dan memperoleh surga yang dijanjikan Allah.
Allah berfirman:
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ ٣٠نَحْنُ اَوْلِيَاۤؤُكُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰخِرَةِۚ وَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَشْتَهِيْٓ اَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَدَّعُوْنَۗ ٣١نُزُلًا مِّنْ غَفُوْرٍ رَّحِيْمٍࣖ ٣٢
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian tetap (dalam pendiriannya), akan turun malaikat-malaikat kepada mereka (seraya berkata), “Janganlah kamu takut dan bersedih hati serta bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.”
Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya (surga) kamu akan memperoleh apa yang kamu sukai dan apa yang kamu minta.
(Semua itu) sebagai karunia (penghormatan bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Fushshilat: 30-32)
Kedua, rezeki yang cukup. Allah SWT berfirman:
وَّاَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لَاَسْقَيْنٰهُمْ مَّاۤءً غَدَقًاۙ
Seandainya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan air yang banyak (rezeki yang cukup). (QS Al-Jin: 6)
Ketiga, calon penghuni surga dan kekal di dalamnya dan mereka tidak akan khawatir dan berduka cita. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿١٣﴾ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allâh”, kemudian mereka tetap istiqamah (teguh pendirian dalam tauhid dan tetap beramal shalih) maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS Al-Ahqâf: 13-14)
Keempat, Allah melindungi hamba-Nya yang istiqamah dari bujuk rayu iblis dan setan. Allah SWT berfirman:
قَالَ فَبِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَۙ
(Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. (QS Al-A’raf: 16)
Lalu bagaimana cara menggapai sikap istiqamah sebagai upaya mewujudkan pribadi tangguh?
Pertama, senantiasa berjalan di jalan Allah. Allah SWT berfirman:
وَّاَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لَاَسْقَيْنٰهُمْ مَّاۤءً غَدَقًاۙ
Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka air yang cukup. (QS Jin: 16)
Kedua, jangan mengikuti hawa nafsu. Allah SWT berfirman:
فَلِذٰلِكَ فَادْعُ ۚوَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَۚ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْۚ وَقُلْ اٰمَنْتُ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنْ كِتٰبٍۚ وَاُمِرْتُ لِاَعْدِلَ بَيْنَكُمْ ۗ اَللّٰهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ ۗ لَنَآ اَعْمَالُنَا وَلَكُمْ اَعْمَالُكُمْ ۗ لَاحُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ ۗ اَللّٰهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا ۚوَاِلَيْهِ الْمَصِيْرُ ۗ
Karena itu, serulah (mereka beriman) dan tetaplah (beriman dan berdakwah) sebagaimana diperintahkan kepadamu (Muhammad) dan janganlah mengikuti keinginan mereka dan katakanlah, “Aku beriman kepada Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan agar berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami perbuatan kami dan bagi kamu perbuatan kamu. Tidak (perlu) ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) kembali. (QS Syûrâ: 15)
Ketiga, tidak meninggalkan amalan-amalan kebaikan yang sudah biasa dikerjakan. Rasulullah SAW bersabda:
عن عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ -رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- : ( يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ.)
Diriwayatkan dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Wahai ‘Abdullâh! Janganlah kamu seperti si Fulan (si Anu), dulu dia mengerjakan shalat malam kemudian dia meninggalkannya.” (HR al-Bukhâri, No. 1152)
Keempat, meneguhkan pendirian dan beramal shalih. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿١٣﴾ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allâh”, kemudian mereka tetap istiqamah (teguh pendirian dalam tauhid dan tetap beramal yang shalih) maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS Al-Ahqâf: 13-14)
Kelima, mengerjakan perbuatan baik setelah mengerjakan perbuatan buruk. Salah satu sebab datangnya istiqamah mengiringi segala keburukan/kejelekan/dosa dengan perbuatan yang baik. Allah SWT berfirman:
وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذَّاكِرِيْنَ
Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah). (QS Hûd: 114)
Keenam, senantiasa bersabar menjalankan ibadah. Rasulullah SAW bersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ
Akan datang kepada manusia suatu masa, (ketika itu) orang yang bersabar menjalankan agamanya di antara mereka seperti orang yang memegang bara api. (HR at-Tirmidzi, No. 2260)
Kisah Teladan
Ammar bin Yasir atau dikenal juga sebagai Abul Yaqzan merupakan golongan pertama yang memeluk agama Islam. Ia sahabat Nabi yang setia dan dicintai Nabi Muhammad SAW berkat pengabdian dan dedikasinya dalam memperjuangkan agama Islam.
Ammar terlahir dari orangtua kalangan budak, Yasir bin Amir dan Sumayyah binti Khayath. Keluarga Ammar telah memeluk Islam lebih dulu sebagaimana orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah. Tak heran, keputusan memeluk Islam membuat mereka mendapat berbagai siksaan dan kesulitan dari kaum Quraisy di bawah pimpinan Abu Jahal saat itu.
“Jikalau orang beriman itu berasal dari kelompok yang lemah dan miskin atau budak-budak Mekkah, mereka mencambuk dan menimpakan api yang membara terhadapnya. Keluarga Yasir merupakan kelompok ini,” tulis Khalid Muhammad Khalid dalam buku Biografi 60 Sahabat Rasullah SAW tentang Ammar bin Yasir, Laki-Laki Penghuni Surga.
Yasir, Sumayyah, dan Ammar setiap hari tak luput dari siksaan keji dan mengerikan. Namun hal tersebut tak melunturkan keimanan dan keyakinannya sebagai kaum Mukminin.
Mengetahui Yasir disiksa, Rasulullah tak tinggal diam meski saat itu Rasulullah belum memiliki kekuatan besar untuk melawan gangguan dari kelompok Abu Jahal.
Pengorbanan luar biasa dari keluarga Ammar mencerminkan keteguhan sejati pada agama yang ditegakkan.
Sumayyah, Yasir, dan Ammar adalah bagian dari kelompok yang dipilih oleh takdir Islam untuk membentuk kekukuhan berupa pengorbanan, keteguhan, serta kesabaran bagi kaum Mukminin berikutnya.
Sampai pada suatu hari Rasulullah menjenguk Ammar dan memanggil beliau, “Wahai Rasulullah, siksa ini sungguh berat bagi kami.” Rasulullah menjawab, “Bersabarlah wahai Abul Yaqzan. Bersabarlah wahai keluarga Yasir karena tempat yang dijanjikan untuk kalian surga!”
Banyak hadis yang menggambarkan teror pedih yang menimpa Ammar lantaran dipaksa menjadi kafir. Tetapi segala teror itu sama sekali tidak melukai jiwa Ammar. Hanya melukai tubuh dan melemahkan energinya. Ammar tidak benar-benar merasa dibinasakan, kecuali pada suatu hari ketika para algojo menjadi semakin beringas. “Penyiksaan itu mulai dari disetrika dengan api, disalib di atas halaman berpasir yang panas, hingga ditindih di bawah batu yang membara bahkan ditenggelamkan di dalam air hingga tidak bisa bernafas pun ia alami,” tulis Khalid.
Ammar mampu menanggung siksa yang menimpa tubuhnya karena jiwanya tetap kukuh, berdiri tegak. Namun, sekarang ia merasa bahwa jiwanya telah kalah. Kesedihan dan ketakutan yang kini menyelimuti perasaannya itu hampir saja membuatnya mati.
Namun Allah menghendaki agar pemandangan yang mengesankan itu mencapai puncak keagungannya, dan dibisikkan wahyu: “Bangunlah wahai pahlawan. Tidak ada celaan maupun kesempitan bagimu! Ammar kembali tenang. Ia tidak lagi merasakan siksa yang tertumpah kepadanya sebagai derita. Kini ia tidak lagi menghiraukannya. Jiwanya telah beruntung begitu juga dengan imannya karena Al-Qur’an telah menjamin memberikan ampunan yang penuh berkah kepadanya.
Begitulah Ammar, Allah telah memberikan hidayah dan nikmat kepadanya dengan takaran besar. Dalam hidayah dan keyakinan, ia telah mencapai tingkatan yang membuat Rasulullah membersihkan imannya dan menjadikannya sebagai contoh dan panutan di antara para sahabat.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْحَوْرِ بَعْدَ الْكَوْرِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari terpeleset dari landasan yang benar setelah mendapat hidayah.” (HR An-Nasa’i) []