Yovita Beteasah (25) memutuskan untuk belajar di Jawa. Dia pun meraih dua hal penting: ilmu pengetahuan dan menjadi seorang muslimah yang istiqomah
Pepatah Arab mengatakan sāfir tajid ‘iwaḍan ‘amman tufāriqhu (pergilah, kelak kau akan mendapatkan pengganti dari sesuatu yang kau tinggalkan). Belajar menutut ilmu pun jadi solusi untuk mendapatkan sesuatu yang tidak dapat diraih di kampung halaman.
Mungkin itu yang dirasakan Yovita Beteasah (25) saat memutuskan untuk belajar jauh dari kampung halamannya di Desa Webaha, Atambua, Nusa Tenggara Timur. Yovita tidak menyangka bahwa pencarian ilmu yang dilakukannya adalah menggiring dirinya untuk mendapatkan hidayah.
“Sejak saya duduk di bangku sekolah dasar, Bapak ingin saya belajar di luar daerah,” ungkap Yovita saat ditemui Majalah Gontor di Pondok Rumah Harapan. pondok yatim piatu, dhuafa dan mualaf berbasis tahfdizul Qur’an & wirausaha di Tapos, Kota Depok.
Masa tunggu jelang keberangkatannya ke tanah Jawa menjadi momentum penting dalam perjalanan wanita kelahiran Webaha, 21 Februari 1992 tersebut. Yovita yang singgah di kediaman keluarganya di Atambua menemukan salah seorang keluarganya bekerja sebagai penjaga madrasah. Meski bekerja di sekolah Muslim, saudaranya beragama Katholik.
Yovita berkisah bahwa kunjungan dirinya ke tempat kerja saudaranya sangat bermakna. Pemilik nama islam Umi Maryam tersebut mengaku bahwa pemandangan wanita berjilbab di madrasah tersebut menggugah sekaligus menyenangkan hatinya. Saking senangnya, dia bahkan sempat meminta untuk diajarkan sholat kepada para murid meski mendapatkan penolakan.
“Kamu tidak boleh sholat karena agamamu beda dengan agama kami,” seloroh Yovita menirukan jawaban murid madrasah menolak permintaannya.
Namun, keinginan Yovita untuk menggunakan jilbab tidak terelakkan. Selain ingin masuk islam, cuaca panas khas NTT juga ditengarai sebagai penyebab dirinya mantap untuk mulai menggunakan jilbab.
Tidak hanya itu. Menurut lulusan Fakultas Agama Universitas Muhammadiyah Jakarta tersebut, Islam mengajarkan umatnya agar menutup aurat. Baginya, aturan itu yang tidak dimiliki oleh agama lain.
“Saya berpikir, kalau saya islam berarti saya tertutup dong. Di sini kan panas ya? Saya hanya berpikir, (dengan berjilbab) berarti saya tidak kepanasan dong.”
“Berarti kalau saya masuk islam, enak dong, aurat saya tertutup. Saya jadi tidak kepanasan kalau kemana-mana.”
“Namun, di awal pemberangkatan, saya sudah memakai jilbab meski belum bersyahadat,” katanya.
Meski demikian, perjalanan pendidikan di Pulau Jawa tidak serta merta disertai ketenangan. Ayahnya, Baltasar Asa, pernah dipanggil dan ditanya oleh pastor perihal alasan Yovita berpindah agama. Tidak hanya pastor, pihak kepolisian juga pernah mencari Baltasar Asa dengan alasan yang sama.
“Anak saya pindah agama bukan saya yang minta tapi itu pilihan mereka. Lagi pula, masa depan mereka bukan di tangan saya. Toh, saat mereka dewasa, mereka akan memilih sendiri. Jadi kalau pindah agama, itu pilihan mereka,” ungkap Yovita.
“Bapak juga pernah dipanggil polisi karena kita masuk islam. Ada yang melapor ke polisi, kalau kita memainkan agama. Kita ditanya mengapa kita pindah dari Katolik ke Islam. Bapak saya hanya bilang kalau (pindah agama) itu pilihan anak-anak saya,” tambahnya dengan logat khas NTT.
Sejak datang ke Jakarta pada tahun 2004 silam, Yovita baru kembali pulang ke NTT pada tahun 2010 silam. Yovita mengaku tidak banyak perubaha di keluarganya. Sebaliknya, perubahan penampilannya yang semakin tertutup diapresiasi oleh sebagian keluarganya.
“(Tanggapan keluarga) ada yang suka, ada yang tidak suka. Ada juga saudara yang menganggap setelah kamu masuk Islam, alhamdulillah, pakianmu jadi makin tertutup tidak seperti anak-anak di sini.”
“Tapi. Ada juga yang bilang, kenapa sih kamu masuk Islam? Maen-maenin agama aja,” tutur Yovita.
Yovita pantas bersyukur, keinginannya terjawab tidak saja dengan pendidikan tinggi, tapi juga komitmen beragama yang dipegang teguhnya. Terakhir, Yovita berniat untuk berwirausaha.
“Saya mau berwirausaha,” pungkasnya. [Mohamad Deny Irawan]