Saat berkungjung ke Indonesia, Syaikh Ahmad Syaltuth pernah berharap ada 1.000 Gontor lahir di sini. Kini, harapan Grand Syaikh Al Azhar itu telah menjadi kenyataan. Seribu Gontor lebih telah menjadi pelopor pembangunan masyarakat madani.
Harapan itu diungkapkan Syekh Ahmad Syaltuth saat berkunjung tahun 1958. Mantan Rektor Al Azhar itu mengaku terkesan dan mengapresiasi keteguhan para pendiri pondok. Seraya menjabattangan KH Ahmad Sahal dan KH Imam Zarkasyi, Syekh Syaltuth berpesan agar Indonesia memiliki seribu (1000) Gontor.
Sebelumnya, 1952, Syeikh Hasan Al-Baquri Menteri Wakaf Mesir juga berkunjung ke Gontor. Dia menyampaikan, yang menjamin kelestarian pondok Gontor bukanlah gedung-gedung yang megah, santri-santri yang banyak, guru-gurunya yang hebat tetapi falsafahnya.
Kehadiran dua tokoh Mesir ini secara tidak langsung telah memberikan motivasi bagi para pendiri Gontor untuk menjadikan Gontor sebagai kawah candradimuka dalam menggembleng para santri menjadi manusia yang berkarakter Islam dan memiliki akhlakul karimah.
Salah satu Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, Dr KH Abdullah Syukri Zarkasyi, saat diwawancara Republika pada Februari 2006, mengatakan lembaga pendidikan harus dikelola dengan sungguh-sungguh, dengan keikhlasan yang prima, dengan wawasan, dan pengorbanan.
Kiai Syukri menjelaskan, sekitar 75 tahun Gontor tidak diakui oleh pemerintah. Namun pada tahun 2000 Gontor mendapat pengakuan dari pemerintah. “Padahal, swasta itu kebutuhannya ada dua, diakui dan dibantu. Lha, kursus mobil saja diakui, kenapa ini tidak? Alhamdulillah, dengan reformasi kita mendapatkan pengakuan. Depdiknas akui, Depag akui. Sebab luar negeri, dari Pakistan, Malaysia, Thailand, negara-negara Timur Tengah, negara Barat mengakui Gontor, kenapa Indonesia tidak mengakui?” ujarnya.
Manfaat dari pengakuan ini adalah untuk memudahkan para santri untuk melanjutkan pendidikan. Namun demikian, Gontor tanpa diakui pun berkembang terus. Hal ini dikarenakan Gontor selalu berpegang kepada roh, jiwa, dan falsafat hidup. “Pelaksana-pelaksana dan seluruh keluarga pondok dan santri, keluarga-keluarganya, harus mempunyai jiwa dan falsafat hidup. Itulah yang menjadi kekuatan,” ungkapnya.
Di Gontor, aeluruh santri dan guru wajib tinggal di pondok. Sehingga 24 jam bisa kita didik dengan macam-macam pendidikan. Kewajiban seorang kiai mengatur tata kehidupan santri dan guru serta keluarga di dalam kampus. Tata kehidupan itu diatur, digerakkan, dihidupkan, dan di-support.
Kiai Syukri memiliki cita-cita mendirikan seribu Gontor di Indonesia. Tujuannya adalah untuk menciptakan masyarakat madani. Untuk itu harus melalui pendidikan. Pendidikan adalah politik tertinggi. Politik tertinggi adalah pendidikan.
Sistem Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI) yang telah menjadi ikon Gontor ini merupakan hasil ijtihad para pendiri Pondok Gontor; KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fannani, dan KH Imam Zarkasyi, yang dilakukan sejak tahun 1926, dalam rangka melakukan ‘modernisasi’ terhadap sistem pendidikan pesantren sebagai budaya asli bangsa Indonesia. Masyarakat kemudian menyebut Pondok Gontor dengan ‘Pondok Modern’.
Sepanjang hayatnya, melewati 5 kurun waktu yaitu masa penjajahan, masa awal kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru dan masa reformasi, para pendiri dan penerus Pondok Modern Gontor tetap bertahan dengan sistem KMI secara konsekuen dan konsisten di tengah-tengah berbagai perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan bangsa Indonesia. Bahkan para pendiri ‘berwasiat’ agar sistem KMI tetap dipertahankan sampai kapan pun, serta mengharapkan agar di Indonesia muncul 1.000 Gontor.
Harapan ini sesuai dengan harapan beberapa Tokoh Pendidikan Nasional dan Internasional yang pernah berkunjung ke Gontor dan mengetahui keunggulan sistem KMI. Menurut data Forum Pesantren Alumni Gontor (FPAG) bahwa sampai tahun 2018 ini, sudah berdiri lebih dari 1.000 pondok pesantren alumni di seluruh pelosok tanah air yang mempergunakan sistem KMI/TMI.
Ketua Forum Komunikasi Pesantren Muadalah Prof Dr KH Amal Fatullah Zarkasyi menegaskan bahwa maksud dari seribu KMI di Indonesia bukan seribu tsanawiyah dan aliyah atau SMP dan SMA di Indonesia, melainkan dengan sistem KMI.
Dalam acara Silaturahim dan Seminar Nasional bertema Pendidikan Mu’alimin dalam Sistem Pendidikan Nasional dalam rangka peringatan 90 Tahun Gontor. Prof Amal menegaskan bahwa apabila pondok pesantren yang menerapkan satuan pendidikan muadalah, maka tidak dibolehkan selingkuh. Tidak perlu ikut program dan ujian tsanawiyah dan aliyah atau SMP dan SMA.
Prof Amal bercerita, ada seorang kiai pondok alumni yang dengan bangganya bercerita kepada almarhum KH Imam Zarkasyi bahwa pondoknya memiliki system SMP-SMA. Maka respon beliau ketika itu, “Anda sekarang pulang ke pondokmu dan jangan datang lagi ke Gontor.”
Saking konsistennya dengan sistem mualimin, Kiai Imam Zarkasyi mengatakan, “Bila santriku habis dan tinggal satu, maka yang satu itu tetap akan aku ajar. Sebab dari satu ini akan muncul seribu, kalau santri habis dengan berbagai sebab, ia akan mengajar dunia dengan pena.”
Wakil Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Dr Hamid Fahmi Zarkasyi MA mengatakan, dengan sistem Mualimin Pondok Modern Gontor menjadi subsistem pendidikan nasional, maka sudah tidak ada istilah Gontor swasta. Meski tak ikut ujian negara, alumni Gontor diakui n sama dengan lulusan Madrasah Aliah atau SMA.
“Sudah ada SK Menteri Pendidikan bahwa lulusan KMI boleh masuk ke perguruan tinggi apapun dengan prodi apapun,” paparnya.
Hamid berpendapat, Pondok Gontor tidak hanya menjanjikan ilmu, tapi skil of learning. Sistem pendidikan Gontor lebih komprehensif atau super sistem. Di dalamnya ada sistem bahasa Arab, sistem pengajaran agama Islam, sistem disiplin, sistem wakaf, sistem keikhlasan, sistem berdikari dan sistem-sistem lainnya.
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengatakan, Indonesia patut bersyukur karena kiprah Gontor dan alumninya di dunia pendidikan melahirkan alumni yang santun, ramah, menghadirkan Islam yang berkemajuan dan modern.
Hadirnya alumni Gontor di semua lini baik eksekutif, yudikatif, legislatif, pimpinan ormas, dan tokoh-tokoh masyarakat, menjadi jalan untuk menyebarkan nilai-nilai Gontor ke seluruh dunia.
Menurutnya, tersebarnya nilai-nilai Gontor ini hakekatnya adalah wujud semangat perjuangan Trimurti pendiri Gontor untuk menghadirkan 1.000 Gontor di Indonesia. “Syaikh Al Azhar pernah menyampaikan hendaknya di Indonesia ada seribu Gontor,” katanya.
Menurut Hidayat, nilai Gontor yang harus disebarkan adalah kedisiplinan. “Sekarang terjadi darurat moral, darurat kejahatan anak-anak, darurat mental dan lain sebagainya. Bila sistemnya diberlakukan di negeri ini tentu berbagai macam kedaruratan tersebut bisa tertanggulangi,” ujarnya.
Penegakan kedisiplinan di Gontor tak pandang bulu, siapapun yang melanggar peraturan akan mendapat hukuman. Adanya peraturan kedisiplinan di pondok juga menghilangkan kerusakan moral. Gontor juga menanamkan semangat ukhuwah Islam, di atas untuk semua golongan, dan nilai-nilai kemajemukan lainnya yang dibutuhkan bangsa ini. Nilai-nilai tersebut tetap dilaksanakan alumninya baik saat aktif di ormas NU, Muhammadiyah, al-Ittihadiyah, Matlaul Anwar, Ikadi, MIUMI, di parpol dan dimana pun alumninya berada.
Islam yang diajarkan Gontor, lanjut Hidayat, menghadirkan prilaku yang moderat, solutif, bukan fanatisme buta, apalagi teroris. Gontor mengajarkan Islam yang ukuwah dan membawa kemajuan peradaban. “Cara Gontor mendidik santri tidak hanya melalui pelajaran di kelas tapi melalui berbagai kegiatan, pengabdian dan kajian,” tandasnya. []