Oleh Moh In’ami, Pesantren Harakatul Qur’an, Padang, Indonesia
Menjadi pemimpin bukan berarti semakin ringan hidup dan tanggung jawabnya, betapa seorang pemimpin telah mendapatkan amanah untuk mengatur apa yang menjadi urusan masyarakat atau rakyat di bawah kepemimpinannya.
Maka, wajar bila seorang pemimpin diberi kekuasaan dan otoritas untuk menentukan suatu kebijakan dan mengambil keputusan. Meski begitu, semuanya hendaknya didasari keimanan, akal sehat dan asas maslahat.
Dengan keimanan, seorang pemimpin akan menjadikan prinsip dan norma agama sebagai panduan dan navigasi dalam setiap perjalanan hidupnya, baik sebagai pemimpin ataupun sebagai warga negara –yang juga makhluk Tuhan, hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi.
Menafikan keimanan berarti telah menjerumuskan diri kepada keangkuan, egoisme pribadi dan kelompok, dan tidak peka terhadap kondisi rakyat.
Sejarah mencatat, bagaimana Fir’aun telah berbuat melebihi kapasitas dirinya; hanya manusia biasa yang mendapat tapuk kepemimpinan dan menerima kekuasaan, yang dengan itu ia salahgunakan; mengaku diri sebagai tuhan; memprioritaskan diri sendiri daripada rakyat; menggunakan aturan hukum sesuai selera dirinya.
Oleh karena itu, kepemimpinan mesti mengutamakan sikap adil. Amanah hendaknya dilimpahkan kepada orang yang kompeten.
Kompetensi pemimpin akan mengantarkan pada kemudahan, keteguhan, ketegasan, dan kejelasan sikap. Dalam berbagai keadaan, ia mampu menyelesaikan segala persoalan dengan baik dan tepat.
Nabi SAW memberikan warning, “Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya.
Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya? Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya.” (HR Al-Bukhari)
Allah Ta’ala menegaskan, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.” (QS An-Nisa’: 135).
Jika seseorang mengaku sebagai rakyat, secara pikiran jernih dan obyektif, tentu ia akan dapat melihat siapa pemimpin yang berpihak, memberikan perhatian dan peduli kepadanya.
Seorang pemimpin yang tidur nyenyak, hal ini adalah indikasi pemimpin yang tidak memiliki sense of crisis, pembelaan terhadap rakyat hanya merupakan lip-service, dan acuh terhadap kondisi rakyat yang sebenarnya.
Hingga pada akhirnya pemimpin menjadi tidak adil, berlaku sepihak dan subyektif terhadap persoalan rakyat, dan pendengaran pemimpin tidak lagi berfungsi untuk menangkap apa yang menjadi keluhan, kesusahan, dan problema yang menjerat rakyat.
Jika orang yang nyata salah diberi amanah, sementara orang yang benar dituduh sebagai pelaku kegaduhan, maka bersiap siagalah untuk kerusakan.
Dari Aisyah RA, ia berkata, “Orang-orang Quraisy sedang berunding tentang keadaan seorang perempuan yang harus dipotong tangannya karena mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang harus menyampaikan masalah ini kepada Rasulullah SAW?
Mereka menjawab “Tiada lagi yang pantas selain Usamah bin Zaid kekasih Rasulullah.” Usamah pun menyampaikan hal itu kepada beliau, lalu beliau SAW bertanya, “Akankah kalian melindungi orang yang terkena salah satu hukum Allah Ta’ala?”
Nabi SAW berdiri dan berpidato, “Sesungguhnya yang menyebabkan orang-orang sebelum kalian binasa, jika orang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membiarkan. Tapi bila yang mencuri orang lemah, mereka melaksanakan hukuman. Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad SAW mencuri, niscaya aku potong tangannya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Seorang pemimpin sejati punya komitmen tinggi terhadap keadilan. Ia akan bersikap bijaksana. Dalam pikirannya dipenuhi strategi dan solusi bagi kemaslahatan hidup orang banyak. Maka ketepatan dan kemaslahatan dalam mengambil keputusan menjadi barometer kearifan seorang pemimpin. []