Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang sudah berlangsung pada Juni 2018 lalu merupakan pesta politik bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya pesta milik segelintir pejabat atau orang-orang berduit di negeri ini. Dalam waktu serentak, setiap daerah mempunyai pemimpin yang terpilih.
Kini, para pemimpin yang terpilih itu telah dinantikan jutaan masyarakat untuk bisa mewujudkan cita-cita rakyat dan memenuhi semua janji yang telah mereka gembor-gemborkan semasa kampanye. Masyarakat tidak butuh janji, melainkan bukti yang nyata dan konkret.
Karena itu, agar tercipta masyarakat sejahtera dan kepemimpinan yang adil serta bertanggung jawab, umat Islam pun wajib melek politik. Umat harus mau bersama-sama memantau dan membantu para pemimpin menyukseskan program kerja mereka.
Demi mencapai Indonesia yang lebih maju, bermartabat, dan jauh dari kasus tindak pidana korupsi.
Patokan Dasar Menaati Pemimpin: Ustadz Adi Hidayat Lc MA, Pengasuh Ponpes al-Qur’an al-Hikmah dan Pendiri Quantum Akhyar Institute
Dalam persoalan kepemimpinan, al-Qur’an dan Sunnah adalah patokannya, termasuk terkait ketaatan rakyat kepada pemimpin. Jika kebijakan yang dikeluarkan pemimpin sesuai dengan keduanya (al-Qur’an dan Sunnah), maka harus diikuti.
Sebuah ayat di dalam al-Qur’an menyebutkan, “Athii’u Allaha wa athii’u arrasula wa ulil amri minkum”. Pada ayat tersebut, urutan pertama dan kedua terdapat kata taat, yang berarti adanya ketaatan mutlak.
Maksudnya, jika Allah SWT dan Rasulullah sudah memerintahkan suatu hal, maka wajib hukumnya untuk ditaati.
Hal itu berbeda dengan kata urutan ketiga, wa ulil amri minkum, hanya ada kata wa. Artinya, ketaatan dengan syarat. Maksudnya, bila ketetapan ulil amri atau penguasa sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka harus ditaati. Namun jika ketetapannya tidak sesuai dengan keduanya, maka tidak boleh diikuti.
Satu hal terpenting yang tidak boleh dilupakan dalam menyikapi pemimpin yang salah adalah larangan mencela pemimpin. Ketika kita menemukan penguasa yang salah, maka tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur’an yang mengizinkan kita untuk mencelanya.
Sebagaimana Allah SWT pernah mengutus rasul-Nya untuk menghadapi kezaliman Firaun, Namrud, dan lainnya. Para Rasul itu diutus untuk memberi masukan yang baik dan dengan cara yang baik. Karena pemimpin yang salah harus diluruskan dengan dialog yang baik dan hendaknya alasan yang dikemukakan juga dibarengi dengan dalil-dalil yang jelas.
Artinya, dengan argumentasi yang bisa diterima dan mudah untuk diamalkan. Firaun, seorang raja yang sangat zalim, dengan kasih sayang Allah SWT tetap diberi kesempatan untuk bertobat dan mendengarkan nasihat dari Rasul-Nya yang disampaikan dengan kata-kata yang halus dan lembut. Itu setingkat Firaun.
Lantas jika kita ingin meluruskan orang yang setara ilmunya dengan kita, maka kita bisa mengonsultasika masalah tersebut dengan orang yang ilmunya jauh lebih tinggi dari kita. Jangan mempertahankan pendapat yang tidak tepat.
Jika ada orang pemarah, awali dakwahnya dengan doa, baru setelah itu dengan nasihat sebagaimana doa Nabi Musa AS. Jika ada orang-orang yang bersifat keras dan bermasalah dalam masyarakat, maka mohonlah kepada Allah SWT agar melembutkan hatinya terlebih dahulu.
Kewajiban Menasihati Pemimpin: Dr Adian Husaini, Cendekiawan Muslim
Politik itu bagian dari kehidupan setiap manusia karena politik mengatur masalah kekuasaan dan hubungan dengan masyarakat. Jadi, setiap Muslim mempunyai kewajiban untuk memahami masalah politik, sebatas kemampuannya.
Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa jihad yang utama adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang salah. Jadi, berpolitik itu kewajiban, dan jika diniatkan dan dilakukan dengan cara-cara yang baik, itu merupakan ibadah.
Menyikapi terpilihnya para pemimpin daerah dalam ajang Pilkada serentak pada bulan Juni lalu, maka masyarakat wajib utamanya memberi nasihat kepada para pemimpin.
Masyarakat harus selalu amar ma’ruf nahi mungkar, memantau segala kebijakan yang dikeluarkan para penguasa.
Jika kebijakan itu baik, maka harus didukung. Sedangkan jika kebijakan yang dikeluarkan tidak benar, maka wajib untuk diluruskan dengan cara yang baik. Sebagaimana Rasulullah SAW pernah memberi saran kepada seorang pemimpin di masanya.
Amar ma’ruf nahi munkar itu bukan sekadar hak, tapi kewajiban bagi seluruh rakyat yang dipimpin. Rakyat berkewajiban mengoreksi pemimpin dan tidak boleh berdiam diri jika ada kemungkaran.
Caranya, jika tidak bisa dilakukan dengan tangannya sendiri, maka bisa dengan lisan. Namun jika dengan lisan ia tidak mampu, maka dengan hati.
Saat ini kehadiran media sosial juga sudah cukup memudahkan rakyat untuk bisa berkomunikasi dengan para pemimpin. Saluran itu bisa dimanfaatkan untuk memberi masukan supaya lebih baik, bahkan mengoreksi. Pemimpin yang diberi amanah perlu selalu diingatkan karena amanah tersebut kelak akan dipertanggungjawabkan.
Taati Kebaikannya Bukan Maksiatnya: Ustadz Zulkifli M Ali Lc MA, Pengasuh dan Ketua Dewan Syariah Yayasan Pendidikan Al-Huffazh
Islam telah mengajarkan bahwa prioritas ketaatan pertama seorang hamba adalah kepada Allah SWT dan Rasulullah.
Sedangkan kriteria pemimpin yang harus ditaati yaitu pemimpin yang mengajak kita untuk menaati perintah Allah SWT dan Rasulullah. Jika ada pemimpin yang mengajak kita pada apa yang ditentang oleh Allah SWT, maka haram untuk ditaati.
Jika ada kebijakan pemerintah dikeluarkan, selama tidak maksiat kepada Allah SWT, maka harus dijalankan. Seperti seandainya ada larangan berjilbab dalam bekerja, maka itu haram untuk ditaati dan keluarlah dari pekerjaan tersebut.
Sebab prinsip dasar dalam Islam yakni tidak boleh taat kepada makhluk, jika ketaatan pada makhluk tersebut membuat kita bermaksiat kepada Allah SWT. Selain itu, umat Islam harus bersama-sama menjaga keutuhan Pancasila karena Pancasila itu dilahirkan oleh para ulama. Maka umat Islam yang paling pantas untuk menjaga Pancasila ini.
Jangan Asal Menaati Pemimpin: Ustadz Abdul Somad Lc MA, Ulama Hadis dari Riau
Dalam Islam ada namanya Fikih Siyasah, yakni hukum-hukum terkait kepemimpinan. Jika pemimpin tersebut amanah dan adil, maka taati pemimpin tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an yang memerintahkan umat untuk taat kepada Allah SWT, taat kepada Rasulullah, dan para pemimpin.
Pemimpin yang wajib ditaati sifatnya dua, yakni amanah dan adil. Jika seorang pemimpin tidak mempunyai dua sifat tersebut, maka umat berhak untuk mengkritiknya. Jika kita melihat ada kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan kita. Kalau tidak sanggup, maka dengan lidah, baru kalau tidak sanggup maka dengan hati.
Ketika seseorang memiliki tangan, maka pakailah tangannya (kekuasaan). Tegakkanlah amar ma’ruf nahi munkar. Jika ia membiarkan, ia pun akan menerima hukuman dari Allah SWT. Selain itu, pesan penting lainnya adalah umat jangan sampai lupa banyaknya fitnah di mana-mana.
Karena itu, ketika ada seseorang memfitnah orang lain, jangan dibesarbesarkan, tapi lakukan tabayun atau klarifikasi. []