Sejarah kemerdekaan Indonesia seringkali dilupakan. Bukan karena minim literatur, tapi minimnya minat baca dan ketertarikan terhadap sejarah bangsa. Ini menjadi masalah pelik bangsa dalam menyongsong generasi emas tahun 2045 mendatang. Mau sampai kapan?
Minimnya kepedulian masyarakat terhadap sejarah kemerdekaan Indonesia menjadi fenomena baru yang berbahaya bagi bangsa. Jika pemerintah Indonesia mau mewujudkan generasi emas pada 2045 mendatang, pengetahuan masyarakat tentang sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia perlu terus digelorakan.
Salah satunya pengungkapan peran organisasi Islam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Keterbatasan akses literasi sejarah bukan satu-satunya penyebab, melainkan minimnya minat masyarakat tentang sejarah telah menjadi permasalahan pelik bagi bangsa Indonesia.
Peneliti Institute for the Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Dr Tiar Anwar Bachtiar mengakui, fenomena ini membuat banyak tokoh kemerdekaan dan peran organisasi Islam urung terungkap, bahkan sejarah kemerdekaan secara umum pun cenderung tidak menjadi santapan favorit masyarakat hari ini.
Minimnya pengakuan terhadap tokoh-tokoh tertentu dalam sejarah ini sangat bergantung pada sudut pandang masyarakat. “Kurangnya pembahasan peran organisasi Islam dalam sejarah kemerdekaan ini tergantung pada sudut pandang mereka yang menarasikan,” kata peraih Doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Indonesia itu kepada Majalah Gontor.
Masyarakat terkesan tidak terlalu peduli dengan sejarah sehingga jangankan ormas-ormas Islam, bahkan cerita-cerita tentang kemerdekaan tidak banyak diketahui kebanyakan masyarakat. Misalnya, bisa dilihat yang berseliweran di media sosial, apakah banyak tulisan-tulisan tentang kemerdekaan Indonesia? Tidak banyak dan sedikit sekali.
Jika problemnya minat baca, sejarawan pun merambah dunia perfilman agar masyarakat lebih mudah memahami sejarah. Misalnya, film Merah Putih (2009), Darah Garuda (2010), Hati Merdeka (2011), Soekarno: Indonesia Merdeka (2013), Sang Kiai (2013), Jenderal Soedirman (2015), Tjokroaminoto: Guru Bangsa (2015), dan Bumi Manusia (2019).
Ini belum termasuk film yang mengambil latar sejarah, seperti Tenggelamnya Kapal Vander Wijck (2013), Jejak Langkah 2 Ulama (2020) yang disutradarai alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Sigit Ariansyah, dan Buya Hamka (2023) yang menggunakan latar masa kemerdekaan Indonesia.
Namun, film-film ini sepi peminat. Film Buya Hamka yang diperankan Laudya Cynthia Bella dan Vino G Bastian mencapai 1.297.791 penonton dan Jejak Langkah 2 Ulama hanya ditonton 30 ribu orang. “Kalau dilihat, film-film tentang sejarah kemerdekaan itu sedikit sekali peminatnya,” keluh Tiar.
Peran Ulama dalam Kemerdekaan
Para tokoh Muslim pejuang kemerdekaan Indonesia berbagi tugas, ada yang menyusup dalam pemerintah kolonial dan ada pula yang berada di luar pemerintahan. Saat jalur umara tidak berjalan, para ulama akan bergerak dengan segenap kemampuan, meski tidak memiliki persenjataan yang memadai dan tidak memiliki pendanaan yang cukup.
“Dengan semangat yang luar biasa, para ulama justru berhasil mengonsolidasikan gerakan-gerakan seperti perlawanan yang dilakukan Pangeran Diponegoro yang disokong oleh para ulama dan santri,” ujar Tiar seraya mengungkap peran Kiai Mojo, ulama kharismatik asal Yogyakarta, yang berada di balik Perang Jawa itu.
Kemudian, organisasi-organisasi Islam berdiri, seperti Syarikat Islam, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persatuan Islam, dan lainnya. “Ulama ikut mendeklarasikan dan mendorong lahirnya Republik ini. Mereka terlibat dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia),” ujar Tiar.
Salah satu peran ormas Islam yang paling penting yaitu memberikan asas bagi kemerdekaan Indonesia. Dalam hal ini, peran terpenting yang diberikan oleh ormas Islam yaitu penyiapan sumberdaya manusia yang unggul. Misalnya, pada 23 Juli 1905 Paku Buwono X mendirikan lembaga pendidikan Islam bernama Madrasah Mambaul Ulum.
NU Online melansir, Madrasah Mambaul Ulum berdiri tak lama setelah Pemerintah Kolonial Belanda menerbitkan aturan Godsdienstinderwijs Mohammedaansch. Secara intensif, mereka melakukan pengawasan terhadap sekolah-sekolah yang memberi pengajaran agama Islam di Jawa dan Madura, kecuali kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.
Peraturan ini dimanfaatkan oleh Raja Paku Buwono X dengan mendirikan beberapa lembaga pendidikan, salah satunya Madrasah Mambaul Ulum sebagai wujud pengembangan pendidikan bagi anak-anak pribumi kelas sosial bawah yang menghadapi diskriminasi.
Beberapa guru di Mambaul Ulum, yaitu Kiai Muhammad Fadhil, Kiai Bagus Arfah, Kiai Dimyati, Kiai Djauhar, Kiai Kholil, Kiai Mawardi, Kiai Suryani, dan Kiai Mangunwiyoto. Dari madrasah ini lahir sejumlah tokoh, seperti KH R Moh Adnan, KH Saifuddin Zuhri, Munawir Sadzali, KH R Mustain (Bupati Tuban), KH Imam Zarkasyi (Gontor), dan Prof Dr Baiquni (Bapak Atom/Nuklir Indonesia).
Adapun kurikulum di Mambaul Ulum tidak hanya terfokus pada pembelajaran agama, tapi juga ilmu pengetahuan umum. “Untuk mendapatkan ijazah, seorang siswa diwajibkan untuk menyelesaikan beberapa mata pelajaran tertentu,” ungkap laman NU Online saat membahas catatan jelang Seabad NU di Surakarta.
Madrasah Mambaul Ulum merupakan potret penting seputar peran tokoh dan aktivis Islam untuk memastikan kehadiran kader-kader bangsa yang mengisi kemerdekaan. Peran lain ulama yaitu mengonsolidasikan kekuatan umat dan melakukan lobi-lobi internal kalangan pejuang Indonesia maupun organisasi yang memiliki jejaring internasional.
Sejarawan Muslim Prof Dr Ahmad Mansur Suryanegara mencatat bahwa perjuangan ulama dan santri dilakukan secara ikhlas tanpa berharap pengakuan apapun. Para pejuang kemerdekaan Indonesia dari kalangan ulama, ikhlas meswastakan diri dan kembali ke pesantren yang mereka bina tanpa berharap apapun dari pemerintah.
Misalnya, pertempuran di Ambarawa yang terjadi pada 20 Oktober – 15 Desember 1945. Saat itu pasukan sekutu dan NICA atau pemerintahan sipil Hindia Belanda mulai mempersenjatai tawanan perang Belanda di Ambarawa dan Magelang. “Tidak ada satu pun TNI di Ambarawa. Lalu siapa yang maju? Kiai Mandzur,” ucapnya kepada Majalah Gontor.
Ada nama Munawir Syadzali dan Syaifudin Zuhri dalam tentara Hizbullah yang bertempur merebut Ambarawa. Ada TNI? Tidak ada. Lalu ulama dapat apa? Mereka tidak dapat apa-apa dan langsung pulang. “Kiai-kiai kita itu bisa disebut sebagai pahlawan. Kalau syuhada itu masuk surga, kalau gelar pahlawan belum tentu,” ujar penulis buku Api Sejarah itu. []