Memasuki umur 40 tahun, biasanya seseorang akan mendapatkan cobaan yang besar. Cobaan yang positif atau negatif. Hal serupa bisa juga berlaku pada lembaga. Seperti Gontor, misalnya. Pada tahun 1966, Gontor sudah berumur 40 tahun. Saat itu, Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor baru saja melakukan wisuda pertama.
Tanggal 17 Nopember 1963, ISID berdiri dengan nama Perguruan Tinggi Darussalam (PTD). Saat wisuda pertama ISID, santri Gontor pada tahun itu kurang lebih seribu sampai seribu lima ratus. Satu tahun berselang, saat Gontor berusia 41 tahun, terjadi peristiwa Persemar, 19 Maret 1967.
Pada saat itu, Trimurti merasakan husnu dzan, baik sangka, kepada mereka yang sudah sarjana. Bahkan beberapa guru diberi tugas untuk mewakili pimpinan dalam beberapa acara. Mereka dipercaya karena disangka sudah mengerti, padahal belum mengerti. Buktinya, ada yang mengira Trimurti masih menempati tanah yang diwakafkan. Padahal tanah wakaf itu ada rinciannya. Ada juga yang mengira orang yang sudah mewakafkan sudah tidak berhak lagi untuk memimpin pondok. Padahal tertulis di Piagam Badan Wakaf (BW) bahwa selama Trimurti masih mampu untuk memimpin, maka posisi BW hanya membantu trimurti.
Bagaimana bisa terjadi peristiwa yang sangat memalukan itu terjadi? Untuk itu perlu dipahami terlebih dahulu tentang gambaran situasi kritis saat itu. Katakanlah, peristiwa itu memang mendadak. Meski cikal bakalnya dimulai sekitar tahun 60-an. Tetapi, yang merasakan peristiwa itu memang hanya sedikit.
Saya ceritakan sedikit. Pada tahun itu semua partai bersaing ketat. Fanatisme kepartaian juga sangat tajam, termasuk PKI. Dari cara berpakaian saja, tampak identitas partai tertentu. Orang Masyumi, misalnya, identik dengan pakai sarung dan peci berarti di Masyumi. PKI juga punya pakaian khasnya.
Kompetisi kepartaian sepertinya berimbas ke Pondok. Ada maksud di antara alumni dan guru yang berkeinginan atau mendorong Gontor agar condong dan diarahkan kepada golongan tertentu. Kebetulan, saat itu ada polarisasi di internal Gontor sendiri. Ketika itu seakan guru-guru terbagi dua. Yaitu, guru Muhammadiyah dan guru NU. Masalah furuiyyah masih suka diperdebatkan secara keras. Karena kefanatikannya, di kelas guru-guru terjebak menjelaskan masalah-masalah furuiyyah sesuai preferensi aliran keagamaannya. Mana yang benar tergantung siapa guru yang menjelaskannya.
Pada saat yang sama, guru-guru mulai mengadakan kesalahan. Bermula dengan meninggalkan kelas pada jam kelima dan keenam. Murid-murid pun berani meniggalkan kelas, sampai ada nama penyakit jam sebelas. Maksudnya, ketika jam sebelas santri tidak masuk kelas dengan alasan sakit
Karena kelas sering kosong, akhirnya santri-santri mulai berbicara tentang pondok. Sampai ada yang berani mengkritik tentang pondok, dan lainnya, Itulah pemicu peristiwa pahit dan anarkis Persemar, 19 September 1967. Persemar itu terjadi dua tahun setelah Gerakan 30S-PKI. Dan, kisah dan cara 30S-PKI inilah yang dipakai oleh santri untuk merusak Gontor. Bel dipukul-pukul keras, semua teriak-teriak, dll.
Awalnya, yang dikritik hanya hal sepele, kecil, seperti masalah dapur, dianggap dikorupsi. Kemudian berkembang ke urusan Yayasan. Dan, terakhir tentang kebijakan Pimpinan. Sampai mereka berani mengatakan akan mengganti Pimpinan, dan sudah dipersiapkan penggantinya.
Karena masalah ini bermula dari santri dan guru, maka solusinya adalah meliburkan santrinya selama tiga bulan. Dan, yang diperbolehkan kembali hanya orang yang mendapatkan surat resmi. Kelas lima tidak ada satupun yang dipanggil. Kemudian, setelah setahun saya jalani kelas lima di pondok lain, akhirnya saya kembali lagi ke Gontor. Setelah diuji diterima lagi untuk megulangi kelas 5.
Tragedi 1967 itu tentu saja sangat memukul Gontor. Terkait ini ada pesan Trimurti. Bahwa ketika santri sudah mencapai jumlah 1000, pesan beliau hati-hati saat santrimu sudah seribu. Begitu juga saat seribu mendekati dua ribu, tiga ribu, empat ribu dll.
Syukur Alhamdulillah, keasaan berangsur pulih. Pondok setelah kejadian Persemar itu justru seperti tanaman yang sudah disiari, semakin subur. Dispilin ditingkatkan. Setahun, dua tahun kemudian, santri gontor sudah membludak, yang mendafar 1000 lebih dan yang diterima hanya 300.
Sejak itu, praktis tak ada lagi kelas kosong. Kalau sampai ada kelas kosong, maka hukuman untuk guru bisa diusir. Mengapa? Karena salah satu faktor terjadinya Persemar adalah adanya guru yang memberanikan diri meninggalkan kelas saat jam belajar. Begitulah, disiplin dan komitmen guru dan santri terus ditingkatkan hingga Gontor memasuki usia 90 tahun.