Gontornews — Masjid megah di pinggir jalan Gito-Gati, Grojogan, Pandowoharjo, Sleman tampak menjulang tinggi dengan lima menara siap menembus langit. Itulah Masjid Suciati Saliman. Nama Suciati diambil dari nama orang yang membangunnya.
Hj Suciati Saliman Riyanto Raharjo, perempuan berusia 66 tahun ini mampu membangun masjid setelah melalui perjuangan panjang. Pasalnya ia sejak SMP sudah memulai usaha ayam untuk bisa mewujudkan impiannya itu.
Usaha pemotongan ayam yang ia rintis sejak tahun 1966 berkembang pesat dan kini sudah berskala nasional. Apa yang diraih Suciati ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Karena ia memulai usahanya dari nol.
Menurut Suciati, jiwa berdagang ia dapatkan dari sang ibu yang berjualan di Pasar Terban, Yogyakarta. Rutinitas setiap pagi mengantarkan ibunya dengan sepeda “onthel” dari rumahnya di Jalan Kaliurang Km 5 ke pasar Terban inilah yang meneguhkan dirinya untuk bisa berdagang seperti ibunya.
“Setiap pagi jam 6 itu berangkat naik sepeda onthel memboncengkan ibu ke pasar. Bantu menata dagangan, lalu saya ganti baju di toilet pasar, terus berangkat sekolah,” ujar Suciati.
Setelah mengantarkan ibunya ke pasar, Suciati berangkat ke sekolah di SMP Negeri 1 Yogyakarta. Sepulang sekolah, Suciati kembali ke pasar untuk membantu berjualan hingga sore hari, dirinya pulang ke rumah setelah ibunya selesai berjualan.

Suatu hari, ibunya menyampaikan kepada Suciati kalau di Pasar Terban belum ada yang berjualan ayam karkas. Lalu ibunya menawarkan Suciati untuk berjualan ayam karkas. “Waktu itu saya dimodali ibu itu Rp 175 rupiah. Nah saya lihat ada orang bawa ayam, lalu waktu itu beli lima ekor, satu ekornya Rp 35 rupiah,” ucapnya.
Bermula dari lima ekor ayam itulah, Suciati mulai berjualan ayam karkas di pasar Terban Kota Yogyakarta. Meski berjualan, namun dirinya tidak pernah melupakan kewajibannya sekolah. “Ayam itu saya tali di boncengan sepeda belakang. Berangkat, terus jualan di pasar. Habis tidak habis jam 7 berangkat sekolah. Ya sering terlambat masuk sekolah karena jualan,” urainya.
Sepulang sekolah, Suciati kembali melanjutkan berjualan ayam. Jika sampai sore belum habis, dia akan berkeliling dengan sepeda menjajakan dagangannya. Sebab saat itu dia tidak memiliki lemari pendingin sebagai tempat untuk menyimpan ayam.
“Saya naik sepeda keliling Bulaksumur UGM titip ke dosen-dosen. Terus keliling ke perumahan-perumahan di dekat situ. Ya soalnya jaman itu freezer kan barang mewah, saya tidak punya,” ungkapnya.
Meski harus sekolah sambil berjualan di pasar dan bahkan berkeliling dengan sepeda, Suciati tidak pernah mengeluh. Ia menjalani aktivitasnya dengan penuh semangat. “Hasil dari jualan itu meski sedikit selalu saya tabung, untuk menambah beli ayam lagi. Sampai lulus SMP itu habis 15 ekor ayam kampung, lulus STM saya habis 70 ekor ayam kampung,” urainya.
Pada tahun 1975, Suciati menikah dengan Saliman Riyanto Raharjo. Suaminya yang awalnya bekerja di Dinas Sosial memutuskan keluar dan fokus membantu berjualan. “Suami saya yang mengajari bikin kartu nama, terus iklan di koran, isinya menyediakan daging ayam partai kecil, partai besar, diskon 5 persen di antar ke rumah,” ungkapnya.
Seiring berjalannya waktu, bisnis Suciati pun mulai berkembang. Tidak hanya daging ayam, Suciati juga berjualan ikan laut dan telur. Dengan bertambahnya usaha, dia harus sering lembur untuk berjualan.
“Saya sampai jarang tidur, jualan ikan laut dan telur. Kalau malam, memecah es untuk mendinginkan ikan, daging ayam yang belum laku, karena tidak punya freezer,” katanya. Namun setelah beberapa waktu, Suciati memutuskan untuk fokus pada ayam karena melihat potensinya.
Awalnya memulai usaha dari lima ekor ayam ini mulai membuka pemotongan ayam manual. Saat itu ia mulai membuka pemotongan ayam di rumahnya. “Dari manual, saya membuka usaha Rumah Pemotongan ayam (RPA) modern di Pandowoharjo, Sleman. Namanya RPA Saliman,” ungkapnya.
Setelah sukses di Sleman, pada tahun 2009, Suciati mendirikan RPA Suci Raharjo di Jombang, Jawa Timur. “Kalau sekarang dari dua RPA itu produksi perhari bisa sekitar 100 ton ayam,” lanjutnya.
Pada tahun 2014, Suciati mendirikan PT Sera Food Indonesia yang memproduksi makanan beku seperti naget, sosis, dan patties. Suciati juga bekerja sama dengan perusahaan restoran waralaba ayam goreng skala internasional. “Ya sekarang produk ayam maupun makanan beku sudah didistribusikan ke seluruh Indonesia,” lanjutnya.
Perjalanan usaha Suciati tidak selalu mulus. Ibu dua orang anak ini pernah tertipu hingga ratusan juta rupiah. Namun Suciati memutuskan untuk mengiklaskan dan tidak melaporkan ke polisi. “Saya iklaskan, karena sudah ikhlas ya tidak lapor ke polisi. Mungkin orang itu lebih membutuhkan, ya zakat untuk orang itu,” ujarnya.
Menurut dia, kunci kesuksesan dalam usaha lanjutnya adalah kerja keras. Selain itu harus disertai doa dan yakin bahwa rejeki sudah diatur oleh Allah. “Berdoa, berusaha dan yakin. Rejeki sudah diatur dan tidak pernah tertukar,” pungkasnya.
Dalam menjalani hidupnya, Suciati memiliki prinsip hidup yang berasal dari falsafah Jawa yakni “Urip iku urup” yang artinya kurang lebih hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain. “Urip iku Urup, saya bercita-cita hidup saya ini bisa sebanyak-banyaknya memberi manfaat pada orang lain,” ujarnya.
Lewat usaha ayam ini, Suciati bisa mengaplikasikan prinsip hidupnya. Dimana dengan bisnisnya ada banyak orang yang bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan. “Seluruhnya 1.300 orang. Lewat Saliman Grup ini bisa membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat,” urainya.
Sejak remaja, Suciati mempunyai cita-cita bisa membangun masjid. Guna mewujudkan cita-citanya itu, ia menyisihkan uang hasil jualanya. “Mulai dari awal mendapat untung jualan itu, kepikiran suatu saat ingin membuat masjid. Tekad saya membuat masjid semakin kuat itu, sejak berangkat umrah tahun 1995,” tegasnya.
Uang yang terkumpul lantas oleh Suciati dibelikan emas, mulai satu gram, dua gram dan seterusnya. Sebab dalam pikirannya lama-kelamaan nilai emas akan terus naik dibandingkan dengan hanya menyimpan uang.
Pada 2 Agustus 2015 cita-cita membuat masjid mulai direalisasikan oleh Suciati. Ibu kelahiran Yogyakarta 22 Mei 1952 ini membangun masjid di Jalan Gito Gati, Pandowoharjo, Sleman Yogyakarta. Lokasinya berada didepan RPA miliknya.
Masjid Suciati Saliman ini dilengkapi lift untuk difabel, lansia dan jamaah yang sedang sakit. “Saya melihat kalau shalat Jumat itu ada banyak yang berada di luar karena tidak muat, terus ya karena dekat jalan bisa digunakan ibadah untuk pengguna jalan. Ya intinya bisa bermanfaat bagi karyawan, masyarakat luas, terutama untuk menjalankan ibadah,” urainya.
Masjid yang memiliki luas 1.600 meter persegi ini diresmikan pada 13 Mei 2018. Adzan pertama dikumandangkan pada 6 Mei 2018, saat itu Suciati sempat meneteskan air mata karena terharu. “Saya di luar waktu itu, mendengar adzan pertama saya menangis. Gimana ya, haru, senang, cita-cita sejak SMP dengan lika-likunya akhirnya terwujud,” ungkapnya.
Desain masjid ini menyerupai Masjid Nabawi di Madinah, “Dulu saya melihat, langsung jatuh cinta dan ingin membuat yang seperti itu di sini. Ya tentu ada kombinasi dengan desain khas Jawa, karena saya orang Jawa,” lanjutnya.
Kemegahan bangunan masjid juga terlihat dari bagian dalam. Dimana lantainya dari marmer dan granit. Masjid ini terdiri dari tiga lantai, dibagian bawah masjid terdapat basement. Lantai satu digunakan sebagai gedung serba guna. Lantai dua dan tiga digunakan untuk sholat berjamaah.
Ke depan, Melalui Saliman Grup, selain membangun masjid ini, ia sudah memiliki niatan untuk mendirikan pondok pesantren, rumah hafidz, serta taman religi. [Fathurroji]