يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183)
Asbabunnuzul
Menurut riwayat Ibnu Jarir dan Muadz bin Jabbal, asbabun nuzul surat al-Baqarah ayat 183 terjadi sebelum baginda Rasulullah SAW melaksanakan puasa Asy-Syura, yaitu puasa selama tiga hari pada 8, 9, dan 10 Muharram.
Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah melihat orang Yahudi berpuasa tanggal 10 Muharram. Lalu pada tahun ke-2 Hijriyah, Allah SWT menurunkan Al-Baqarah ayat 183-184 sebagai perintah puasa wajib di bulan Ramadhan, sedangkan puasa Asy-Syura menjadi amalan sunnah.
Interpretasi Para Mufasir
Pertama, makna “Wahai orang-orang yang beriman”. Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini yaitu: “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya.” Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa.”
Kedua, makna “Telah diwajibkan atas kamu berpuasa”. Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini yaitu Ahlul Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud yaitu kaum Nasrani.
Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad yaitu disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan.
Ketiga, makna “Agar kalian bertakwa”. Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertakwa karena sebab puasa. Karena puasa wasilah menuju takwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima.”
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertakwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat.”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam tafsirnya tentang keterkaitan antara puasa dengan ketakwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketakwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam Tafsir Madinah Al-Munawarah disebutkan tiga tujuan dari penyebutan bahwa puasa juga diwajibkan bagi umat-umat terdahulu: pertama, agar umat Islam memperhatikan ibadah ini, sebab ibadah ini telah disyariatkan Allah sebelum umat Islam, kemudian Allah mensyariatkannya pula bagi umat Islam. Hal ini menunjukkan kebaikan yang dikandungnya dan besar pahalanya.
Kedua, agar umat Islam tidak merasa berat dalam menjalankannya, sebab mereka telah mendapat teladan dari umat terdahulu.
Ketiga,agar menguatkan tekad dalam menjalankan kewajiban ini dan tidak lalai.
Nilai-nilai Pendidikan
QS Al-Baqarah: 183 mengandung sejumlah nilai Pendidikan. Pertama, mendidik hamba-Nya agar senantiasa beriman dan bertakwa kepada Allah atas perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Puasa mendidik seorang Mukmin untuk semakin bertakwa.
Kedua, senantiasa mengajarkan akhlak mulia, di antaranya gemar berpuasa dan menjaga ibadah yang telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW.
Ketiga, mengajarkan hamba-Nya agar disiplin, jujur, sabar, peduli sesama, gemar tolong-menolong serta menjauhi segala bentuk maksiat dan kemungkaran. Puasa dapat menghapuskan dosa berdasarkan hadis, ”Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan didasari keimanan dan mengharap pahala dari Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Keempat, menjadi seorang yang bersyukur atas segala nikmat dan senantiasa berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.
Makna Ramadhan Mubarak
Ramadhan Mubarak merupakan kata serapan yang diserap dari bahasa Arab. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Ramadhan merupakan bulan ke-9 tahun Hijriyah. Pada bulan ini orang Islam diwajibkan berpuasa. Sedangkan kata mubarak sendiri berarti mendapat berkat.
Oleh karena itu kata Ramadhan Mubarak bisa diartikan sebagai Ramadhan yang diberkati. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
«أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ»
Artinya: “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah Azza wa Jalla mewajibkan kalian berpuasa. Pada bulan itu, pintu langit dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan-setan yang durhaka dibelenggu. Demi Allah, di dalamnya terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka sungguh ia orang yang malang.” (HR Nasa’i dishahihkan oleh Al Albani)
Menurut Imam Al-Ghazali, berkah adalah bertambahnya kebaikan.
Sementara para ulama mendefinisikan berkah sebagai segala sesuatu yang banyak dan melimpah, meliputi berkah secara material dan spiritual, seperti kesehatan, ketenangan, keamanan, harta, usia, dan anak. Jadi, pada intinya berkah adalah langgengnya kebaikan atau bertambahnya kebaikan.
Keberkahan Bulan Ramadhan
Pada bulan Ramadhan ada “Malam Seribu Bulan” (Lailatul Qodar). Malam ini adalah malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah berfirman :
إِنَّآ أَنزَلْنَٰهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ(١) وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (٢) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ(٣) تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ(٤) سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ࣖ(٥)
Artinya: “1.Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatul Qodar (malam kemuliaan). 2. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? 3. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. 4. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. 5. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar.” (QS Al-Qadar: 1-5)
Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam dalam kitabnya Taisirul-Allam Syarh Umdatul-Ahkam mengemukakan bahwa lailatul qadar adalah malam yang mulia dan agung, yang di dalamnya kebaikan dilipatgandakan, kesalahan diampuni, dan segala urusan ditetapkan.
Meski demikian, tidak ada yang tahu pasti kapan datangnya malam istimewa itu karena Dia merahasiakan supaya mendorong hamba-Nya untuk mencarinya dan meningkatkan ibadah di bulan suci ini.
Rasulullah SAW Bersabda:
تَحَرَّوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Umat Islam meyakini bahwa malam Qadar adalah malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Malam ganjil yang diyakini datang di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini merupakan waktu yang diharapkan oleh seluruh umat Islam. Karena apabila kita melakukan amal kebaikan pada malam itu, seolah-olah kita telah melakukan ibadah yang nilainya setara dengan 1.000 bulan atau 83 tahun.
Lalu, bagaimana menghiasi dan memaknai Ramadhan mubarak dalam menjemput malam Qadar?
Pertama, memperbanyak i’tikaf. Rasulullah SAW bersabda:
كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، وَيَقُولُ : تَحَرَّوا (وَفِي رِوَايَةٍ : الْتَمِسُوا) لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Rasulullah SAW beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan beliau mengatakan, ‘Carilah lailatul qadar pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR Bukhari dari Aisyah RA)
Kedua, menghidupkan malam sepuluh terakhir Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَر
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bila memasuki 10 hari, yakni 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, mengencangkan kain sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR Al-Bukhari)
Ketiga, mengerjakan shalat pada Malam Qadar. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ، إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang mengerjakan shalat pada lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan ridha Allah, maka dosa-dosanya yang terdahulu diampuni.” (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, Tirmidzi dan Ahmad, dari Abu Hurairah RA)
Keempat, istiqamah membaca Al-Qur’an. Rasulullah SAW bersabda:
الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ ، وَهُوَ مَاهِرٌ بِهِ ، مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ. وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ، يَتَتَعْتَعُ فِيْهِ – وَهُوَعَلَيْهِ شَاقٌ – لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang membaca Al-Qur’an dan pandai dalam membacanya, ia bersama para malaikat yang mulia. Dan yang membaca Al-Qur’an dengan mengejanya (ia membacanya dengan sulit), ia mendapatkan dua pahala.” (HR Muttafaq Alaih, dari Aisyah RA)
Kelima, berdzikir dan berdoa. Aisyah RA meriwayatkan, “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasul, bagaimana pendapatmu jika aku mengetahui Lailatul Qadar, apakah yang aku ucapkan di dalamnya?’ Beliau SAW bersabda:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ، تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan Mulia. Engkau senang memberi maaf, maka maafkanlah aku.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Keenam, rajin bersedekah. Nabi SA bersabda:
أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ صَدَقَةٌ فِيْ رَمَضَانَ
Rasulullah SAW pemah ditanya, sedekah apakah yang paling mulia? Beliau menjawab: “Yaitu sedekah di bulan Ramadhan.” (HR Tirmidzi)
Ketujuh, menjauhi perkara yang sia-sia dan kata-kata kotor. Rasulullah SAW bersabda:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ
“Bukanlah puasa itu sebatas menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi puasa menjauhi perkara yang sia-sia dan kata-kata kotor.” (HR Ibnu Khuzaimah No. 1996 dan tahqiq Syaikh Al-A’zami berkata, ”Shahih”)
Kedelapan, senantiasa menjaga dan menjalankan shalat fardhu di masjid. Ramadhan mengajarkan kita untuk berjamaah di masjid, shalat sunnah tarawih saja yang sunnah dilakukan di masjid apalagi yang fardhu harus istiqamah di masjid. Rasulullah SAW bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصَلَاةِ فِيْ بُيُوْتِكُمْ ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلَاةِ المَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ إلَّا الصَلَاةَ المَكْتُوْبَةَ
“Hendaknya kalian mengerjakan shalat di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat maktubah (fardhu). (HR Bukhari & Muslim)
Kesembilan, bertobat. Allah berfirman:
اِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّٰهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوْۤءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ فَاُولٰۤىِٕكَ يَتُوْبُ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertobat. Tobat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS An-Nisa’: 17)
Kisah Teladan
Sejumlah riwayat dari salaf menceritakan bahwa para sahabat dan tabi’in ketika masuk sepuluh malam akhir bulan Ramadhan, mereka mandi dan memakai minyak wangi untuk menyambut tibanya malam qadar, malam yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala.
Abu Bakar, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal karena keikhlasannya dalam beribadah, juga sangat rajin dalam mengisi Malam Qadar. Abu Bakar pernah menghabiskan malam tersebut dengan membaca Al-Qur’an dan shalat hingga fajar tiba. Bahkan, saat malam tersebut terjadi pada saat ia sedang sakit, ia tetap berusaha untuk beribadah sebisa mungkin.
Ali pernah menceritakan bahwa saat Malam Qadar tiba, ia menghabiskan malam tersebut dengan membaca Al-Qur’an dan berdzikir hingga waktu Shubuh tiba. Ali juga mengajak orang-orang di sekitarnya untuk mengisi malam tersebut dengan beribadah.
Demikian kita harus meningkatkan berbagai amalan ibadah dengan rasa ikhlas.
اَللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فاَعْفُ عَنَّا
“Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Zat Maha Pengampun lagi Maha Pemurah, senang pada ampunan, maka ampunilah kami, wahai Zat yang Maha Pemurah.” (HR Tirmidzi) []