Pendidikan pesantren itu memiliki ciri khas sekaligus kelebihan yang membedakan pendidikan pesantren dengan pendidikan lainnya, antara lain lembaga pendidikan pesantren dan pendidikan kepesantrenan itu sangat menekankan al-akhlaq al-karimah, al-adab qabla al-‘ilmi, dengan al-akhlaq al-karimah (akhlak mulia) di atas segalanya. Maka, pendidikan pesantren memiliki kekuatan yaitu disebut pendidikan nilai, pendidikan watak, yang kurang dapat terlaksana di luar lembaga pesantren.
Sekolah di Indonesia, tak terkecuali madrasah-madrasah dan pendidikan di luar lainnya, lebih menekankan pengajaran daripada pendidikan. Bahkan mata pelajaran pendidikan agama, namanya masih disebut pendidikan agama. Penjelmaannya bukan pendidikan agama, tapi pengajaran, transfer of knowledge dari otak guru ke otak murid. Sementara pendidikan lebih menanamkan nilai-nilai dengan menyenyawakan nilai-nilai ke dalam diri peserta didik, apalagi kalau ditambah dengan pendidikan nilai. Hal inilah yang menjadi ciri khas sehingga seperti Pondok Modern Gontor yang dua puluh empat jam aktivitas di dalamnya berisi pendidikan, bahkan kegiatan tidurnya pun merupakan pendidikan.
Kedua, ciri khas pesantren yaitu menekankan keteladanan. Kiai sebagai figur sentral, idola, role model, uswah dan qudwah hasanah. Maka, kiai itu sendiri merupakan sumber pendidikan nilai dengan keteladanan yang ditampilkannya. Sosok yang mencerahkan atau memantulkan keteladanan ini yang tidak ada pada pendidikan lain. Sebagaimana figur kepala sekolah atau rektor contohnya, yang justru lebih banyak tampil sebagai sosok manager, bukan qudwah.
Pesantren yang sejati yaitu pesantren yang berasrama, bukan santrinya yang transit atau pulang. Sejatinya seorang santri harus berada di lingkungan kampus itu sendiri, karena lingkungan kependidikan berlangsung di lingkungan pesantren, terutama masjid sebagai pusat pendidikan. Di dalamnya kerap diadakan pembacaan ayat suci al-Qur’an, jadwal tugas sebagai imam dan khatib, yang semua ini menjadi ciri khas lembaga pesantren secara umum.
Lalu terkait mu’adalah, hal itu merupakan sebuah penghargaan dari negara kepada pendidikan pesantren. Apalagi yang mengembangkan ciri khasnya yang berbeda dengan sistem pendidikan yang dikelola oleh negara. Bagi saya, ini hanyalah masalah pilihan, seperti sistem, format terkait dengan durasi pendidikan apakah enam tahun langsung yang sekarang diklaim sebagai sistem mu’allimin atau yang tiga tahun baik ats-Tsanawiyah, al-‘Aliyah, dan lainnya, semua itu hanyalah pilihan.
Hal yang paling penting, selain kita menghargai adanya pengakuan dari negara dengan Undang-undang Republik Indonesia nomor 18 dan adanya pengakuan klausul dan juga pada keputusan menteri tentang mu’adalah penyetaraan itu bagus, tapi yang paling penting pesantren-pesantren kita itu bisa mengembangkan diri sesuai dengan visi yang dimiliki.
Jadi, visi ideal terdepannya pesantren, jika kita sepakati misalnya li’izil Islam wal Muslimin (untuk memuliakan Islam dan Muslimin), atau semisalnya. Tapi ketika kita mendirikan lembaga pendidikan dasar menengah (tingkat SLTP/SLTA, sederajat) tergantung visi kita apa? Jika visinya seperti pesantren pada umumnya, maka jadilah ala pesantren biasa, atau di-mu’adalah dimungkinkan dikembangkan muatan spesifik yang diinginkan pesantren masing-masing.
Jadi maksud saya, apa bentuk kita ini tergantung pilihan kita. Dan menurut saya semua itu baik sebab likulli syain maziyah, asal visinya jelas dan berdisiplinlah untuk merancang program sesuai visinya itu. Jika mu’adalah mempunyai kebebasan untuk mengembangkan sistemnya di bawah naungan, maka manfaatkanlah kebebasan itu untuk mengembangkan sesuai dengan visi kita. []