Undang-Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019, yang di dalamnya mengatur tentang muadalah, telah memberi angin segar bagi pesantren. Pasalnya, muadalah telah memberikan kebebasan kepada pesantren untuk mengatur sistem pendidikannya, namun ijazahnya disamakan dengan ijazah dari pendidikan formal.
Sekjen Forum Pesantren Alumni Gontor (FPAG) KH Anang Rikza Masyhadi, MA, PhD, mengatakan muadalah akan membuat pesantren mempertahankan kekhasannya masing-masing, pesantren akan kembali ke khittah-nya.
Sesuai dengan Undang-Undang Pesantren, ada dua varian muadalah, yaitu varian salafiyah dan varian asriyah. “Yang asriyah atau mu’allimin itu mengacu pada kurikulum KMI Gontor,” jelas Pimpinan Pondok Modern Tazakka, Batang, Jawa Tengah itu.
Artinya sistem mu’allimin (KMI) yang diterapkan di Gontor selama hampir satu abad itu telah menjadi salah satu sistem pendidikan nasional.
Untuk mengetahui bagaimana pondok-pondok pesantren, khususnya pesantren alumni Gontor, menyikapi sistem muadalah, Wartawan Majalah Gontor, Fathurroji NK, mewawancarai Sekjen FPAG KH Anang Rikza Masyhadi, MA, PhD. Berikut petikan wawancaranya:
Apa yang dimaksud Forum Pesantren Alumni Gontor?
Secara kelembagaan, Forum Pesantren Alumni Gontor (FPAG) sudah ada sejak zaman Allahuyarham KH Imam Zarkasyi, meskipun pada waktu itu jumlah pondok alumni masih beberapa, belum sebanyak seperti sekarang. Saat itu namanya Forum Silaturahim Kiai Alumni. Kemudian dilanjutkan oleh KH Syukri Zarkasyi dan terakhir, tahun 2012, itu dikukuhkan lagi Forum Pesantren Alumni Gontor di Pesantren Al-Ikhlas Taliwang, NTB, asuhan KH Zulkifli Muhadli yang sekarang jadi Ketua Umum FPAG. Kiai Syukri mengubah namanya menjadi Forum Pesantren Alumni Gontor sampai sekarang. Nah, sekarang oleh KH Hasan Abdullah Sahal kemudian FPAG diinstruksikan untuk masuk ke dalam struktur IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) secara kelembagaan. Demikian kronologi sejarah perjalanan kelembagaan FPAG.
Apakah anggota FPAG harus pesantren alumni Gontor?
Setelah dikukuhkan menjadi FPAG tahun 2012 itu, kemudian disepakati sampai sekarang yang dituangkan dalam AD/ART bahwa keanggotaan FPAG yaitu: Pertama, pondok pesantren yang didirikan oleh alumni Gontor. Kedua, pondok pesantren yang dipimpin oleh alumni Gontor. Ketiga, pondok pesantren yang didirikan atau dipimpin oleh alumni pondok alumni Gontor berarti pondok cucu Gontor, seperti misalnya Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan (Madura) itu sudah mempunyai pondok alumni, jumlahnya lebih dari 200 pondok alumni atau Pondok Pesantren Darunnajah mempunyai sekitar 60-an. Keempat, pondok yang tidak masuk dalam tiga kategori itu, tapi direkomendasikan oleh Pimpinan Pondok untuk menjadi bagian dari FPAG.
Apa program FPAG yang selama ini telah dilaksanakan?
Program FPAG banyak, di antaranya program pendidikan, yaitu kita mendorong pondok-pondok FPAG untuk pembenahan dari sisi kelembagaan pendidikan. Artinya kita bantu yang pesantrennya belum punya izin operasional, kita dampingi sampai keluar izinnya, yang belum punya satuan pendidikan karena masih rintisan kita dorong dan dampingi sampai punya satuan pendidikan. Kemudian yang berikutnya lagi, kita juga dorong pondok-pondok pesantren itu untuk ikut muadalah yaitu muadalah Mu’allimin KMI Gontor. Apalagi sekarang sudah ada Undang-Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019 yang merekognisi, mengafirmasi dan memfasilitasi sistem KMI Gontor menjadi salah satu sistem pendidikan pesantren secara nasional. Kita mendorong dan mengupayakan membantu pondok-pondok alumni untuk muadalah dengan luar negeri, misalnya dengan Al-Azhar Kairo, Madinah, dan lain-lain. Kita juga mendorong pondok alumni untuk kerjasama dengan perguruan tinggi dalam negeri baik PTN maupun PTS. Misalnya kerjasama dengan Unissula untuk kaderisasi kader-kader pesantren yang akan masuk di Fakultas Kedokteran. Saat ini ada 16 utusan dari pondok-pondok alumni yang kita biayai untuk masuk kedokteran, kemudian nanti setelah selesai mereka kembali ke pesantren masing-masing menjadi kader selama hidupnya di pesantren sebagai dokter pesantren.
Apa lagi program FPAG terkait sumberdaya manusia?
Program di bidang SDM, yaitu penguatan sumberdaya manusia kader pesantren. Kita beri beasiswa kepada kader-kader pesantren alumni untuk melanjutkan studi S1, S2 maupun S3 di dalam dan luar negeri. Misalnya di UNIDA ada sekitar 130-an kader pesantren dari anggota FPAG yang saat ini mendapatkan beasiswa bekerjasama dengan pihak ketiga. Kemudian ada juga yang di Al-Azhar Kairo. Di sana ada 250 mahasiswa, 150 di antaranya kader pesantren anggota FPAG. Kita dukung beasiswanya sehingga mereka nanti kembali menjadi kader. Kemudian ada juga di Turki. Di UGM ada puluhan kader yang belajar S2 dan S3. Ada juga beasiswa di UIN. Ini semua para kader. Jumlahnya kurang lebih 350 sampai 400 kader pesantren.
Program-program lain misalnya kita melakukan benchmarking dengan lembaga-lembaga pendidikan terkemuka di dalam maupun luar negeri. Misalnya, beberapa waktu lalu rombongan para kiai pondok alumni berkunjung ke Arab Saudi, ke Ummul Qura di Mekkah, ke Jam’iyah Islamiyah di Madinah. Kita melakukan diskusi dan dialog tentang pengembangan pendidikan termasuk juga kerjasama peluang beasiswa. Saat ini ada beberapa peluang misalnya daurah bahasa Arab di Ummul Qura selama sebulan atau 40 hari, sekalian melaksanakan umrah. Di Madinah juga sudah berlangsung beberapa kali. Di Mesir, daurah bahasa Arab selama 3 bulan dan sudah berlangsung 4 atau 5 angkatan. Itu program-program benchmarking kursus-kursus, training-training yang diselenggarakan untuk para kader santri maupun guru yang ada di pondok-pondok alumni.
Saat ini, berapa jumlah anggota FPAG?
Saat ini jumlah anggota FPAG sekitar 1.100 pesantren, namun yang terdaftar resmi itu baru sekitar 480-an pondok alumni. Asumsi kita sekitar 600 itu pondok alumni, tapi ada lagi pondok alumni dari pondok alumni atau pondok cucu yang ini jumlahnya sekitar 500 sampai 600. Jadi jumlah anggota FPAG sebetulnya sekarang sudah hampir 1100.
Bagaimana Ustadz melihat pendidikan muadalah di Indonesia saat ini?
Pendidikan muadalah sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019 merupakan peluang baik. Kalau boleh dikatakan itulah khittah pesantren, pesantren yang original. Selama ini ada pesantren tapi sistem pendidikannya tsanawiyah atau aliyah, pesantren sistem pendidikannya SMP atau SMA. Nah, dengan muadalah ini, baik muadalah salafiyah maupun muadalah ‘asriyah itu, tidak begitu, pesantren ya pesantren, dia punya kurikulum sendiri, punya kalender akademik sendiri, mengatur sendiri semuanya seperti Gontor. Mengatur sendiri mulai pembelajaran, kurikulum, silabus, sumberdaya gurunya, dan lain sebagainya, tetapi direkognisi oleh negara, diafirmasi dan difasilitasi sehingga sekarang yang muadalah itu tidak ada yang berubah, seperti Gontor, Al-Amien, Tazakka. Mereka mandiri tetapi ijazahnya diakui, disamakan, disetarakan dengan lulusan SMA. Dulu kan tidak. Seperti Gontor, kurikulum sendiri, sistem sendiri, tetapi kemudian hanya diakui oleh setingkat Dirjen. Waktu itu baru Gontor dan Al-Amien dan beberapa pondok lain saja, sementara ratusan pondok yang lain bagaimana nasibnya? Nah, sekarang dengan adanya Undang-Undang Pesantren itu, muadalah ini sebetulnya peluang besar dan itulah ‘rumah’ pesantren yang sesungguhnya.
Satuan Pendidikan Muadalah (SPM), sesuai dengan Undang-Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019, itu ada dua varian, yaitu varian salafiyah dan varian asriyah. Asriyah artinya sistem mu’allimin yang berbasis Dirasat Islamiyah. Adapun yang salafiyah itu berbasis kitab kuning. Nah, asriyah atau mu’allimin itu mengacu pada kurikulum KMI Gontor. Artinya sistem mu’allimin (KMI) yang diterapkan di Gontor selama hampir satu abad itu telah menjadi salah satu sistem pendidikan pesantren secara nasional yang dituangkan dalam Undang-Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019. Bagi pondok-pondok alumni Gontor, ketika mereka mau memakai satuan pendidikan muadalah varian asriyah, berarti mereka mengacu pada kurikulum mu’allimin yang ada di Gontor.
Apa yang menjadi kunci terpenting dari sistem muadalah ini?
Menurut saya, kata kunci dalam muadalah ini yaitu kemandiriannya. Jadi pesantren itu dengan adanya Undang-Undang Pesantren, dengan adanya muadalah yang sudah diakui itu, lebih leluasa. Pesantren dan kiainya lebih leluasa mengembangkan pesantrennya tanpa beban-beban dari negara seperti ujian negara, ikut kurikulum. Sekarang kita bisa mandiri, mengatur sendiri, mengevaluasi sendiri, ya tentu dengan batasan-batasan yang ditentukan tetapi semua itu kemudian diakui oleh negara.
Ada berapa pesantren yang mengikuti program muadalah?
Pondok-pondok alumni Gontor yang secara resmi mendapatkan SK muadalah dari Kemenag secara de jure itu kurang lebih sekitar 70 pesantren dari 500-an pesantren. Ini terkait syarat administratif. Untuk mendapatkan SK satuan pendidikan muadalah Mu’allimin, jumlah santri mukim minimal 120 orang. Dulu sebelum ada Undang-Undang Pesantren, persyaratan mukim 300 santri.
Apakah program muadalah anggota FPAG menginduk ke Gontor? Mengapa?
Dengan adanya Undang-Undang Pesantren, maka ijazah pesantren menjadi formal, tanpa menghilangkan kekhasan pesantren, tanpa menghilangkan kemandirian, tanpa menghilangkan jati diri Mu’allimin. Pondok-pondok alumni yang kemudian berpikir ulang untuk kembali menggunakan secara resmi sistem pendidikan muadalah Mu’allimin ini cukup banyak. Jumlahnya puluhan di berbagai wilayah di Indonesia. Harapan kita mudah-mudahan jumlahnya terus bertambah sehingga pada Satu Abad Gontor atau tahun 2026 nanti jumlahnya bisa minimal 100 pesantren.
Mengapa banyak pesantren yang belum muadalah?
Cepat atau lambat pondok-pondok akan pelan-pelan mengikuti sistem Mu’allimin karena dulu kan kendalanya di ijazah, keraguan kalau mengikuti Gontor ijazahnya nanti tidak disamakan, dan lain sebagainya. Sekarang tidak demikian. Sistem pendidikan Mu’allimin itu tetap seperti apa adanya, tidak ikut ujian negara, mandiri kurikulumnya, tata kelolanya, dan lain sebagainya, tapi ijazahnya disamakan. Bahkan sebagai turunan dari Undang-Undang, dalam SK Dirjen ditetapkan tentang ijazah. Artinya ijazah pondok muadalah itu sama semua, yang beda hanya nama pondoknya. Dicetak masing-masing tapi format dan ukuran sama, ada lambang garuda emasnya. Semua ini mengacu pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam tentang Tata Cara Penulisan Ijazah. Ijazah pesantren muadalah disamakan dengan ijazah pendidikan formal lainnya.
Lulusan pesantren bisa diterima di kedokteran, teknik sipil, fakultas-fakultas umum, diterima di Akpol, diterima juga di sekolah-sekolah kedinasan, diterima di perguruan tinggi negeri, perguruan tinggi swasta, dan lain sebagainya.
Bagaimana Ustadz melihat pesantren muadalah ke depan?
Saya melihat satuan pendidikan muadalah ini akan menjadi tren di masa depan, dan inilah jawaban dari yang selama ini dibutuhkan oleh pesantren. Banyak pesantren yang mau mempertahankan jati dirinya, ingin memberikan sendiri muatan-muatan pelajaran kepada para santrinya. Nah, sekarang ijazah tidak lagi menjadi kendala. Jadi tampaknya dengan ini, saya melihat, pondok-pondok salafiyah pun akan berbondong-bondong untuk kembali mengajukan muadalah salafiyah. Pondok-pondok alumni Gontor yang dulu ragu karena ijazahnya tidak diakui, karena itu mereka terpaksa membuka tsanawiyah atau aliyah, akan berbondong-bondong untuk kembali ke sistem pendidikan muadalah Mu’allimin. Pendidikan muadalah ini, ke depan akan menjadi tren yang akan diikuti oleh banyak pesantren, baik salafiyah maupun asriyah, karena sistem pendidikan muadalah inilah jati diri pesantren yang sesungguhnya.
Apa yang harus dilakukan pesantren muadalah setelah adanya Undang-Undang Pesantren?
Nah, selanjutnya secara internal pesantren perlu merumuskan sistem dan konsep penjaminan mutu. Artinya, ketika kita ini diberikan kebebasan, kemandirian dan keleluasaan dalam mengelola sendiri pendidikan di pesantren, jangan sampai kemudian pesantren kita tidak bermutu. Caranya dengan membuat sendiri instrumen penjaminan mutu itu. Pondok-pondok Mu’allimin in syaa Allah standar mutunya sama karena mengacu pada sistem yang ada di Gontor. Sekarang tinggal dikuatkan lagi dengan instrumen-instrumen untuk penjaminan mutu dan kualitas akademik para santrinya. Sekarang Kemenag, melalui Majelis Masyayikh, meminta masukan-masukan dan meminta input konsep-konsep penjaminan mutu yang ada di varian salafiyah maupun asriyah. Saya kira pelan-pelan ini akan menjadi sesuatu yang menggembirakan untuk pondok-pondok muadalah. Mandiri, tidak ada intervensi, tapi diakui, disamakan dan pada saat yang sama mutunya juga terjamin.
Apa harapan Ustadz di momen Satu Abad Gontor terkait muadalah?
Dari FPAG dan ini amanat Bapak Pimpinan agar pada saat acara puncak Satu Abad Gontor tahun 2026 nanti itu, minimal pondok-pondok alumni yang sudah secara resmi mendapatkan SK muadalah itu jumlahnya minimal 100 pondok alumni. Sekarang baru sekitar 70-an. Jadi kurang 30-an lagi. Semoga dalam waktu 2 tahun ini kita bisa mendorong 30 pesantren bisa mengajukan surat untuk memperoleh SK muadalah. []