Sebagai aktivis perdamaian, bukan hanya di Indonesia tapi dunia, tentunya menjadi hal yang mengejutkan ketika ada seseorang yang menyatakan Din Syamsuddin radikal. Akan tetapi, radikal tidak selalu dimaknai dengan hal-hal yang negatif.
Radikal asal katanya radik yaitu akar. Maka seseorang yang beragama itu seharusnya juga radikal dan bernegara pun harus berpegang pada akar-akar keagamaan. Namun sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Bahkan Pemerintah Indonesia juga ikut andil dalam kekeliruan tersebut.
Isu radikalisme yang kadang-kadang jelas sangat tendensius, karena radikal itu hanya disematkan kepada umat Islam saja. Padahal, Islam agama Rahmatan Lil ‘Aalamiin, yang selalu mengajarkan kedamaian dan memiliki toleransi yang besar, sebagaimana Baginda Rasulullah Shalalluhu ‘Alaihi Wassalam mengajarkan itu semua.
Tidak hanya itu, bahkan di Indonesia ada organisasi yang menamakan diri kelompok antiradikal. Sesungguhnya, apa yang mereka lakukan justru mencerminkan bahwa merekalah radikal yang sesungguhnya. Menyatakan dengan persepsi sendiri, bahwa orang lain radikal, namun sesungguhnya merekalah yang radikal. Radikal dalam memaksakan kehendak untuk mencampuri urusan orang lain, atau lebih tepatnya pengawas pegawai negeri.
Isu radikalisme juga sarat akan Islamophobia yang diviralkan oleh orang-orang yang takut dengan keberadaan umat Islam. Padahal selama ini, umat Islam adalah umat yang sangat toleran dibandingkan dengan umat lainnya.
Di masa penjajahan, umat Islamlah yang memiliki peran penting dalam memerdekakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Para ulama, santri dan tokohnya berjuang mengorbankan benda dan nyawa, hanya untuk kemerdekaan bangsa ini. Maka sangat aneh, jika isu radikalisme hanya dilabelkan kepada umat Islam. Sangat tendensius.
Selain itu, orang-orang yang dinyatakan radikal ialah mereka yang selalu mengkritik penguasa. Sementara kritik itu fakta yang aktual dan dapat dibuktikan. Bukan kritik yang mencela. Apalagi menghina.
Kita melihat, bagaimana kondisi Indonesia saat ini? Apakah benar indeks korupsi di negara kita rendah? Kemudian indeks demokrasi, ekonomi, keadilan sosial. Lalu, bagaimana kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di negeri ini? Terjadi eksploitasi kekayaan sumberdaya alam.
Kritikan yang disampaikan masyarakat merupakan kritikan yang membangun. Bukan mencela. Karena pada dasarnya di alam demokrasi kritik itu konstruktif terutama yang didasari dengan niat baik dan menyentuh pada dasar kehidupan. Jadi tidak perlu dihadapi secara sinis.
Saat ini, banyak aturan yang dibuat namun menyimpang dari ideologi Pancasila dan UUD 1945. Seperti UU ITE karya Presiden SBY, yang saat ini sudah banyak pasal yang justru menyimpang dan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, sehingga mutlak untuk direvisi. Sebab UU ITE sekarang disematkan untuk melawan musuh politik dengan menyebar ujaran kebencian, hoaks, dan lain-lain. Hal itu penyimpangan yang sangat serius, karena UU itu tidak lagi sesuai dengan maksud pembentukannya.
Oleh sebab itu, harus ada perubahan sistem di Indonesia. Sistem politik kita yang ada sekarang jika dikaitkan dengan Sila ke-4 jauh panggang dari api. Demikian dengan sistem ekonomi dan praktik ekonomi yang jika dikaitkan dengan Sila ke-5 sungguh jauh panggang dari api.
Tidak hanya itu, para akademisi maupun alumni universitas seharusnya menjadi pihak yang mengkritik penyimpangan-penyimpangan. Bukan justru menyerang orang-orang yang mengkritik penyimpangan tersebut.
Mari bersama selamatkan Indonesia dari penyimpangan-penyimpangan yang saat ini terjadi. Kembali seluruhnya pada Pancasila dan UUD 1945. Tetap jaga kerukunan dan ketenteraman. Namun jangan menutup mata terhadap kerusakan-kerusakan yang terjadi dalam kehidupan bersama.
Mari benahi bersama, partai politik jangan hanya mau menikmati kekuasaan dan selalu langgeng dengan kekuasaan, tanpa memikirkan bangsa ini. Sebab jika itu terus terjadi maka akan menjadi masalah besar bagi bangsa ini. []