Saya berbicara kali ini betul-betul dengan ikhlas. Saya akan ambil sedikit-sedikit dan singkatnya atau pucuknya saja. Semua yang akan saya sampaikan ini bahkan sedikitnya direkam dan rekaman ini nanti mudah menjadi buku dan dapat dibaca oleh seluruh umat, sampai kepada anak cucu saya sendiri dan anak-anakku sekalian yang ada.
Sebagai mukadimah, jangan sampai salah terima, kalau Pondok Modern, Pak Sahal ataupun Pak Zarkasyi itu anti kepada siapa pun yang menjadi pegawai, anti kepada priyayi, anti kepada buruh. Tidak! Sama sekali tidak. Ini supaya dicatat lebih dahulu, saya tidak menghalangi, saya tidak anti, saya tidak memusuhi orang yang menjadi pegawai.
Maka di sini saya tekankan niatmu. Jangan salah niat. Kalau sampai salah niat, akan rugi hidupmu. Selama hidupmu hanya akan rugi karena salah niat.
Kalau saya, rumah tangga saya, anak-istri- cucu saya kebetulan kecukupan, jangan dikatakan saya ini bangga, tapi hanya syukur, hanya kebetulan, bukan sombong, bukan bangga.
Umpamanya masuk di Pondok Modern ini ingin jadi pegawai, itu berarti niatmu sudah kalang kabut. Jangan sampai niatmu itu rusak, maka di sini saya beri jalan, bagaimana cara orang hidup.
Kalau sekarang anak-anak ini kebetulan orangtuanya melarat, maka jangan kecil hati. Sekiranya anak-anak ini orangtuanya kaya, maka jangan besar hati.
Ini di antaranya yang saya anggap penting dalam pembicaraan ini. Saya sudah tidak punya apa-apa, tetapi berani hidup. “Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja.” Itu semboyan saya.
Segala titah apapun, cacing-cacing, kutu-kutu, belalang, kalajengking, katak, kadal, semut, semua sudah dijamin rezekinya oleh Allah. Ini yang saya pegang.
Ini harus diingat, gerakkan tanganmu dan Allah akan menurunkan rezeki kepadamu.
Sungguh saya sudah tidak punya apa-apa. Konsekuensinya, saya digoda sampai melarat habis-habisan, tapi perkiraan saya tidak sampai lepas: “Kumlawe gumreged.” Kumlawe artinya tangan digerakkan dan gumreged artinya mempunyai niat dan kehendak.
Jangan kecil hati karena tidak menjadi pegawai, menghadapi hidup jangan kecil hati, betul-betul jangan kecil hati. Pada suatu masa, beban akan menimpa keluargamu sebagaimana yang pernah dialami keluarga saya, sebagaimana orangtua saya menyekolahkan anak-anaknya, apa yang saya pakai untuk menyekolahkan anak saya.
Keponakan saya sekolah ini, anak Pak Lurah (Rahmat Soekarto, Kakak Tertua Trimurti—red.) sekolah HIS yang uang sekolahnya sampai 3 Gulden atau 3 Rupiah, setara dengan satu kuintal padi.
Tapi saya bismillah, tanah saya yang sebelah sana sebanyak seperempat hektar telah saya wakafkan, yang sebelah situ setengah hektar pun sudah saya wakafkan.
Hanya tanaman itu (pohon kelapa) selama anak Pak Sahal masih sekolah hasilnya masih tetap dipungut untuk menyekolahkan anak Pak Sahal. Yang berarti anak-anak itu akan meneruskan citacita Pak Sahal. Itu di antara nasib yang saya alami, tetapi tetap berani: “Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja.” Tak perlu korupsi bisa hidup.
Ke Gontor apa yang kau cari
Hidup sekali hidup yang berarti