Ada yang lucu dalam pesta demokrasi di negeri ini. Sudah banyak menghabiskan waktu dan biaya yang tak sedikit, pemenang pemilihan kepala daerah (Pilkada) akhirnya ditangkap KPK. Siapa yang salah?
Membicarakan kasus-kasus korupsi pejabat di negeri ini seakan tak ada ujungnya. Bila dihitung selama setahun, maka setiap hari ada kepala daerah yang ditangkap lembaga antiriswah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus korupsi.
Bagaimana tidak, KPK pernah merilis data pada Oktober 2016 lalu, bahwa KPK telah menangkap 361 kepala daerah karena terjerat kasus korupsi, dan itu jumlahnya sebanyak hari dalam setahun. Ironis.
“Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 343 bupati/walikota dan 18 gubernur tersandung korupsi,” kata Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PPIM) KPK yang saat itu dijabat Ranu Mihardja saat acara rapat Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi di Palu, Rabu (10/8/2016).
Sementara itu, dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dirilis pada Selasa (20/2/2018), pada tahun 2017 terdapat 576 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar. Jumlah tersangkanya mencapai 1.298 orang.
Jika dibandingkan tahun 2016, penanganan kasus korupsi tahun 2017 mengalami peningkatan signifikan. Hal ini terutama pada aspek kerugian negara. Pada 2016, kerugian negara dari 482 kasus korupsi mencapai Rp 1,5 triliun. Angka ini naik menjadi Rp 6,5 triliun pada tahun 2017.
Peningkatan ini karena ada kasus dengan kerugian negara yang besar yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu kasus KTP elektronik, serta kasus TPPI yang ditangani Kepolisian dan Kejaksaan. Ada sejumlah modus yang paling banyak digunakan dalam tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2017.
Modus korupsi yang paling banyak digunakan dalam kasus korupsi tahun 2017 adalah penyalahgunaan anggaran. Ada 154 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp 1,2 triliun dengan modus ini.
Modus lainnya, penggelembungan harga (mark up) dan pungutan liar, masing-masing 77 kasus dan 71 kasus. Sementara, modus terkait suap dan gratifikasi sebanyak 44 kasus dengan total nilai suap mencapai 211 kasus. Anggaran desa paling banyak dikorupsi yaitu sebanyak 98 kasus dengan kerugian negara Rp 39,3 miliar.
Sektor lainnya, pemerintahan dan pendidikan dengan jumlah kasus dan kerugian negara berturut-turut sebanyak 55 dan 53 kasus serta kerugian negara Rp 255 miliar dan Rp 81,8 miliar. ICW menyebutkan, lembaga yang tercatat paling banyak korupsi adalah pemerintah kabupaten dengan 222 kasus dan kerugian negara Rp 1,17 triliun.
Lembaga lainnya adalah pemerintah desa sebanyak 106 kasus dengan kerugian negara Rp 33,6 miliar. Ketiga, pemerintah kota dengan jumlah 45 kasus serta kerugian negara Rp 159 miliar. Provinsi paling banyak kasus korupsi.
Masih berdasarkan catatan ICW, provinsi yang paling banyak kasus korupsi pada tahun 2017 adalah Jawa Timur dengan 68 kasus serta kerugian negara mencapai Rp 90,2 miliar. Berikutnya, Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara dengan jumlah kasus berturut-turut yaitu 42 kasus dan 40 kasus.
Dari hasil pantauan sepanjang 2017, ICW memberikan beberapa rekomendasi, di antaranya, perlunya transparansi dan pelibatan masyarakat dalam memantau APBD. Transparansi dinilai penting untuk meminimalisasi potensi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh kepala daerah terutama menjelang tahun politik.
Sementara itu, kepala daerah yang akan mencalonkan diri diharapkan menekan biaya kampanye agar meminimalisasi konflik kepentingan dengan menerima uang dari beberapa pihak yang berkepentingan.
Sementara itu, sepanjang 2017 hingga Februari 2018, KPK menangkap delapan kepala daerah yang hendak maju lagi, atau mencalonkan anggota keluarganya, dalam pemilihan kepala daerah serentak. Modus korupsinya beragam, dari memperdagangkan jabatan hingga menarik fee dari proyek daerah.
Daftar kepala daerah yang menjadi pasien KPK bertambah menjadi sembilan, setelah Komisi ini menetapkan Bupati Subang Imas Aryumningsih sebagai tersangka penerima suap. Ia diduga menerima duit Rp 1,4 miliar untuk modal pencalonannya dalam pemilihan Bupati Subang, Jawa Barat. Selain duit, politikus Partai Golkar itu menerima gratifikasi berupa baliho kampanye dari pengusaha yang tengah mengurus izin pabrik di Subang.
Pada Rabu (31/1/2018), KPK juga menetapkan Rudi Erawan, bupati Halmahera Timur, Maluku Utara, sebagai tersangka. Calon Gubernur Maluku itu diduga menerima suap Rp 6,3 miliar dari sejumlah kontraktor proyek jalan nasional di daerahnya.
Ahad (11/2/2018), KPK juga menangkap Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur, Marianus Sae. Calon Gubernur NTT yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu diduga menerima suap Rp 4,1 miliar dari pemenang proyek infrastruktur jalan di Kabupaten Ngada.
Sebelumnya, KPK juga menetapkan Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko, sebagai tersangka suap perizinan pengurusan jabatan. Nyono adalah salah seorang calon Bupati Jombang.
KPK juga telah memantau sepuluh provinsi melalui program koordinasi dan supervisi. Namun, nyatanya, kasus korupsi oleh kepala daerah tetap saja marak. Sejak pertengahan 2017, KPK menetapkan 15 kepala daerah sebagai tersangka. Lima di antaranya berasal dari provinsi yang bekerjasama dalam koordinasi dan supervisi dengan KPK.
“Ini ironi. Karena yang tertangkap biasanya bersama jajaran di bawahnya,” kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif.
Menurut Laode, pemberantasan korupsi di daerah harus disertai dukungan dan komitmen kuat dari jajaran perangkat daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta pemangku kepentingan lainnya.
Tahun 2018 memang menjadi magnet penjahat bertopeng pejabat untuk bisa melanggengkan kekuasaan, setali tiga uang dengan partai politik sebagai lembaga yang memproduk para pejabat dan wakil rakyat.
Tahun ini, tepatnya 27 Juni 2018, negeri berpenduduk lebih dari 250 juta ini akan menggelar hajatan akbar berupa pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Pilkada serentak ini akan digelar di 171 wilayah, termasuk 17 pemilihan gubernur (pilgub). Pelaksanaan Pilkada hanya satu putaran dan tidak ada pemungutan suara ulang terkait dengan perolehan suara. Pilkada serentak 2018 akan membutuhkan dana sebesar Rp 11,4 triliun.
Sejatinya, penyelenggaraan Pilkada serentak ini bukan hanya tahun 2018, melainkan sudah berlangsung sejak Desember 2015 dan Februari 2017. Lalu tahun ini akan digelar pada Juni 2018. Begitu juga akan berlanjut di tahun 2020, 2022, 2023 dan Pilkada serentak secara nasional akan digelar tahun 2027.
Banyaknya rentetan Pilkada serentak ini akan mengakibatkan mahalnya nilai pesta demokrasi ini. Tak heran jika banyak calon peserta Pemilu berasal dari kalangan berduit. Para calon pimpinan daerah maupun pusat pun adalah para pengusaha kaya yang siap untuk menaikkan citranya di dalam dunia politik. Mereka merasa mampu membeli kekuasaan dengan kemampuan ekonomi yang mereka miliki.
Maka menjadi sebuah kewajaran jika pascapemilu, kepentingan elit lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. Kepala daerah dan wakil rakyat tidak lagi mewakili rakyat akan tetapi mewakili diri sendiri, golongannya (partai) dan para kapitalis yang sudah mendukungnya saat Pemilu.
Meminjam istilah Rizal Ramli, sistem perpolitikan yang terjadi saat ini menganut demokrasi kriminal. Akibatnya tidak sedikit para kepala daerah yang jelang tahun politik, satu persatu menjadi pesakitan seperti dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK.
“Jadi Demokrasi kita itu Demokrasi Kriminal, satu per satu kepala daerah dibui karena menyelewengkan kekuasaan untuk kepentingan politik,” kata Rizal Ramli dalam salah satu diskusi ekonomi dan politik di DPP PAN, Rabu (14/2). Ia menyoroti bahwa tahun politik ini banyak membuat kepala daerah berani dengan membabi buta mengorupsi dana APBD untuk kepentingan Pilkada.
Demokrasi kriminal yang sekarang berjalan ini menurutnya justru berbahaya ketika kondisi ekonomi jelang tahun politik. Karena APBD yang seharusnya bisa dipakai untuk membantu menyejahterakan rakyat di daerah disalahgunakan untuk kepentingan partai atau pencalonan.
Rizal sempat mengusulkan mengubah pola pembiayaan partai. Negara dengan aturan ketat yang membiayai partai, seperti di beberapa negara lain. Sehingga partai tidak boleh bermain untuk mencari pembiayaan di luar ini. Dan partai politik tugasnya hanya mencari kader yang berkualitas, amanah dan punya pengalaman kepemimpinan untuk dicalonkan sebagai kepala daerah. “Parpol tidak boleh cari duit di luar ini,” ungkapnya. Sehingga tidak ada lagi kepala daerah ditangkap KPK hanya karena ingin maju kembali di Pilkada selanjutnya. []