Surabaya, Gontornews — Tim Online Class Nahyazeefa D’Mayla pada Sabtu (16/10) malam kembali mengundang kaum Muslimah untuk ikut belajar bersama mendalami materi seputar Haid. Kajian Fiqih bertajuk “Haid dalam Pandangan Empat Madzhab” ini diisi oleh Ustadzah Nur Yorda Faizah Lc.
Dimulai sekitar pukul 19.00 WIB, acara yang diadakan oleh alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Putri tahun 2005 itu pun turut diramaikan dengan kehadiran para peserta akhwat baik alumni maupun non alumni Gontor Putri. Sedangkan dalam kajian tersebut, berdiri sebagai moderator yakni Ustadzah Fathul Jannah MPdI, alumnus Gontor Putri tahun 2005.
Dalam pemaparannya, Ustadzah Yorda menerangkan bahwa darah yang keluar dari rahim perempuan terbagi menjadi tiga golongan. “Pertama, haid darah kebiasaan perempuan, kedua darah nifas (darah yang keluar setelah melahirkan), dan ketiga darah istihadhoh yaitu darah penyakit,” jelas alumnus Gontor Putri tahun 2005 itu.
Pemateri pun menambahkan bahwa hukum belajar ilmu ini adalah fardhu ain bagi perempuan. Alasannya karena perempuanlah yang mengalami masa haid tersebut, sehingga penting baginya untuk mengetahui seluk-beluk perihal masalah haid ini.
Sedangkan bagi laki-laki, maka hukum belajar ilmu haid ini adalah fardhu kifayah. Alasannya dikarenakan laki-laki nantinya berkewajiban memberi pengetahuan, mengingatkan perempuan yang ada di lingkungannya terkait ilmu haid tersebut. “Maka wanita wajib menuntut ilmu terkait haid ini dan laki-laki tidak boleh melarang wanita untuk mempelajarinya,” tegas alumnus Strata Satu Universitas Al-Azhar Kairo itu.
Ustadzah Yorda pun melanjutkan bahwa haid menurut bahasa adalah sesuatu yang mengalir atau darah yang keluar dari rahim yang mana darah haidh ini memiliki ciri-ciri yang khusus dan di waktu tertentu. Selain membahas definisi haid, sang ustadzah juga ikut menerangkan beberapa hal penting lainnya diantarnya tentang sifat darah haid, rukun, dan juga syarat haid.
Kepada Gontornews.com, Ustadzah Yorda juga menekankan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda terkait batasan memperlakukan istri yang sedang haid yaitu, “Lakukanlah sesukamu kecuali jima’ (bersetubuh).” Sehingga seorang suami boleh melakukan perbuatan (kebaikan) apa saja kepada istrinya yang sedang haid, kecuali jima’ (bersetubuh).
Dan dalam kajian ini turut dijabarkan terkait hikmah di balik haid itu sendiri. “Ada tiga hikmah disyariatkannya haid yakni wasilah makanan untuk anak (janin), untuk kebaikan wanita itu sendiri, dan menjaga perempuan dari penyakit,” pungkasnya. [Edithya Miranti]