Salah satu upaya dalam mengatasi pandemi COVID-19 di Indonesia, pemerintah akan menggunakan Vaksin Sinovac yang berasal dari Tiongkok. Kehalalan vaksin tersebut harus menjadi perhatian Pemerintah Indonesia.
Sebagai negara mayoritas Muslim, kehalalan sebuah produk menjadi hal yang mutlak untuk diperhatikan oleh pemerintah, sebagaimana telah diatur dalam undang-undang yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewajiban sertifikasi halal merupakan upaya untuk memenuhi hak konsumen di Indonesia. Selain juga untuk menghindari penolakan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Sertifikasi halal perlu dilakukan untuk menghilangkan keresahan sosial yang makin meluas dan berujung pada kepanikan masyarakat.
Komitmen Wakil Presiden RI Prof KH Ma’ruf Amin yang menegaskan bahwa harus ada sertifikat halal vaksin COVID-19 dari Sinovac asal Tiongkok sebelum diedarkan. Harusnya hal itu sudah menjadi sikap dan komitmen sejak awal, bukan di akhir proses. Hal ini sangat penting karena sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, terutama UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Pemerintah Indonesia juga hendaknya melihat, apakah vaksin yang hendak digunakan tersebut manjur/cocok untuk masyarakat Indonesia atau tidak. Sementara, uji coba vaksin Sinovac yang dilakukan di Bandung masih 50:50. Jangan sampai Indonesia menggadaikan kedaulatan kesehatan warga negaranya kepada satu pihak, dalam hal ini Tiongkok.
Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia harusnya memperhatikan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mengingatkan agar tidak terburu-buru dengan hanya membeli vaksin COVID-19 dari Tiongkok.
Selain itu, semestinya pemerintah tidak menggantungkan pemesanan vaksin COVID-19 hanya dari satu negara yaitu Tiongkok. Padahal saat ini sudah ada beberapa negara yang menyatakan telah menemukan vaksin dan menawarkan kepada Indonesia seperti Australia dan Rusia. Ada juga negara lainnya yang sudah mengumumkan proses penemuan vaksin COVID-19 seperti Inggris, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Pemerintah harus kembali mengingat kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Bebas dalam menentukan kebijakan dalam memilih vaksin untuk masyarakat, yaitu tidak hanya bergantung pada satu negara saja.
Bahkan sebenarnya, Indonesia sebagai negara yang besar, dengan potensi SDM yang sangat mumpuni, seharusnya bisa memaksimalkan keberpihakan kebijakan dan anggaran agar secara mandiri bisa menemukan vaksin COVID-19 temuan pakar-pakar dalam negeri.
Sejak kehadiran pertama COVID-19 di Bumi Pertiwi, awal tahun ini, banyak pihak yang meminta agar Indonesia bisa melakukan riset dalam menemukan vaksin COVID-19. Pemerintah seharusnya bisa menyiapkan anggaran khusus yang digunakan untuk riset tersebut.
Saat konferensi virtual negara-negara G-20, April lalu, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan perang melawan COVID-19 yang semestinya dibarengi dengan kebijakan kepada Kemenristek dan Kemenkes serta lembaga-lembaga lain agar segera menemukan vaksin covid-19. Akan tetapi yang terjadi, Presiden yang saharusnya menaikkan anggaran Kemenristek agar bisa melakukan riset dan menemukan vaksin, justru mengurangi anggarannya. Hal itu bisa saja menjadi bukti Pemerintah tak serius ingin memutus penyebaran COVID-19.
Anggaran di Kemenristek tidak mengalami penambahan, bahkan dipotong besar-besaran. Padahal, riset sangat dibutuhkan untuk menemukan vaksin COVID-19 sebagai cara efektif untuk menyelesaikan darurat kesehatan bencana nasional COVID-19.
Perpres 54/2020 justru memotong anggaran Kemenristek sebesar Rp 40 triliun. Itu persentase potongan anggaran terbesar dibanding dengan pemotongan di Kementerian lain.
Meskipun pemerintah bisa berkilah hal itu terkait perubahan nomenklatur, ruang realokasi internal Kemenristek untuk mendukung riset vaksin tentu semakin kecil dengan hanya anggaran tersisa Rp 2 triliun. Bahkan, Menristek menyebutkan, pihaknya hanya menganggarkan Rp 40 miliar untuk riset vaksin COVID-19.
Dalam kondisi normal, idealnya dana riset tidak kurang dari 2 persen PDB. Namun Indonesia selama ini masih terjebak di kisaran 0,3 persen PDB. Apalagi dalam situasi pandemi dan bencana nasional yang mengancam eksistensi bangsa, pemerintah harusnya makin memprioritaskan anggaran riset. []