Ketakwaan merupakan ghayah, tujuan akhir dari ibadah. Maka, ketika ibadah tidak menghasilkan takwa berarti ruh dari ibadah itu tidak ada. Ruh ibadah itu bagaimana menghasilkan ketakwaan. Takwa ini sifatnya sangat dinamis, tidak diam, tapi bergerak serta bisa berkembang terus. Bergeraknya dalam semua aspek kehidupan.
Ketakwaan itu nanti direalisasikan dalam bentuk ihsan, antara lain berbuat baik, menahan diri dari amarah, bersedekah, shalat, yang semua itu menghasilkan ketakwaan. Setiap Muslim wajib berusaha menambah ketakwaan itu. Firman Allah SWT, “Wahai orang-orang Mukmin bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dengan sesungguh-sungguhnya takwa.” Di sini diterangkan bahwa tidak ada batas dari ketakwaan itu. Batasnya adalah ketidakmampuan kita. Tapi untungnya, Allah memberi suatu kesempatan bagi kita, sehingga tidak disiksa dengan ketidakmampuan kita.
“Ittaqullaha mastatha’tum,” yang maksudnya bertakwalah kepada Allah sesuai dengan puncak kemampuan kalian. Artinya, kita tidak boleh merasa tidak mampu di awal proses ibadah. Akan tetapi kalau kita sudah berusaha sampai puncak kemampuan kita di situlah batas kita. Misalnya dalam menunaikan shalat, wajibnya dengan berdiri, tapi jika sudah tidak mampu/tidak kuat berdiri, boleh duduk, itu untuk shalat wajib (fardhu). Jangan sampai belum mencoba semampunya sudah berhenti.
Kemudian ibadah haji juga semampunya. Jadi kewajiban haji itu bagi manusia kalau orang itu mampu menuju ke Baitullah dari sisi pembiayaan, keamanan, itu harus menjalankannya. Tapi kalau belum mampu, maka belum ada kewajiban dan di sini batas kemampuannya. Kalau ada orang mempermainkan batas tersebut, itu kesalahannya sendiri.
Jadi, ibadah itu harus menghasilkan ketakwaan. Sebagaimana puasa juga harus menghasilkan ketakwaan dan ketakwaannya harus dinamis, bahkan produktif. Asalnya puasa itu bisa dilihat pada al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 183. Puasa yang benar yang sesuai dengan ajaran Islam akan menghasilkan ketakwaan, ketakwaan pasif untuk dirimu sendiri.
Namun demikian, seharusnya ketakwaan itu aktif, produktif, menghasilkan ketakwaan yang melebar. Kalau lihat di dalam ayat-ayat tentang Ramadhan dan puasa, pada Surat al-Baqarah ayat 184 diterangkan orang berpuasa harus tahu ilmunya juga. Supaya kamu sekalian betul-betul mengamalkan puasa dan takwanya bisa aktif, maka perlu disertai dengan ilmu. Jangan sampai ketakwaan yang ada di diri kita, kemudian hanya bermanfaat untuk diri sendiri.
Lantas, bagaimana nikmat ketakwaannya itu bisa kita tularkan ke orang lain? Pada ayat selanjutnya Allah memerintahkan agar kita beriman kepada Allah dan memenuhi panggilan-Nya. Tujuannya supaya kita mendapat bimbingan dari Allah serta supaya orang lain mendapatkan bimbingan dari kita dengan ketakwaan dan ilmu. Harapan akhirnya sebagaimana terlampir dalam ayat ke-187 Surat al-Baqarah yang ujungnya agar orang lain bertakwa.
Jadi ketakwaan yang ada pada diri kita harus terus dikembangkan melalui ilmu dengan rasa syukur, menyeru, dan akhirnya menjadikan satu ketakwaan yang melebar kepada orang lain. Inilah rahmatan lil ’alamin. Allah SWT mencintai orang yang berbuat ihsan dan orang yang bertakwa harus selalu berbuat ihsan. []