Gontornews — Kemerahan dinding-dindingnya, nampak jelas kokohnya bangunan itu hasil karya orang-orang terdahulu. Dialah Masjid Merah Panjunan Cirebon, masjid bernuansa kemerahan yang merupakan bangunan klasik tetap tegar hingga kini.
Masjid Merah Panjunan didirikan pada tahun 1480 oleh Syarif Abdurrahman atau Pangeran Panjunan, seorang keturunan Arab yang memimpin sekelompok imigran dari Baghdad dan kemudian menjadi murid Sunan Gunung Jati.
Masjid yang dulunya digunakan sebagai tempat menyebarkan agama Islam di Cirebon dan sarana diskusi antara Wali Songo dengan Pangeran Panjunan ini memiliki sejarah budaya Islam yang tinggi.
Masjid ini berlokasi di Desa Panjunan, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon. Secara jarak, sekitar ±1km dari Stasiun Parujakan Cirebon.
Kampung Panjunan merupakan daerah permukiman warga keturunan Arab, namun demikian pengaruh budaya Timur Tengah terlihat sangat sedikit pada arsitektur bangunan Masjid Merah Panjunan ini, di luar tulisan Arab yang ada di dalamnya. Barangkali ini adalah sebuah pendekatan kultural yang digunakan dalam penyebaran Islam masa itu.
Tampak muka Masjid Merah Panjunan Cirebon yang terbuat dari susunan batu bata merah dengan pintu gapura candi bentarnya yang memperlihatkan pengaruh Hindu dari jaman Majapahit. Gaya gapura semacam ini banyak bertebaran di Kota dan Kabupaten Cirebon. Papan tengara yang terlihat pada foto menunjukkan bahwa Masjid Merah Panjunan telah dimasukkan sebagai Benda Cagar Budaya yang kelestariannya dilindungi undang-undang.
Susunan bata warna merah yang digunakan di hampir semua bagian tembok bangunan telah memberikan nama tengah kepada masjid ini. Adalah Panembahan Ratu yang merupakan cicit Sunan Gunung Jati yang membangun tembok keliling Masjid Merah Panjunan setinggi 1,5 m dan ketebalan 40 cm pada tahun 1949.
Sekilas masjid ini tidak seperti masjid pada umumnya karena memang bentuk bangunannya menyerupai kuil hindu, adanya mihrab yang membuat bangunan Masjid Merah Panjunan ini menjadi terlihat seperti sebuah masjid, serta adanya beberapa tulisan berhuruf Arab pada dinding.
Bangunan utama Masjid Merah Panjunan berukuran 25 x 25 m. Dindingnya memakai bata merah dihiasi dengan piring keramik Eropa. Pada sisi barat terdapat gerbang berbentuk kori agung. Gerbang ini adalah pintu bangunan masjid kuno.
Masjid Merah Panjunan memiliki ruang utama yaitu ruang utama mesjid kuno yang berukuran 8 x 12 m. Di ruangan ini terdapat 4 soko guru dan 10 tiang penyangga atap genteng yang berbentuk tumpang, pada bagian lantai menggunakan tegel dan pada bagian dinding menggunakan bata.
Empat soko guru yang merupakan penyangga utama sebagai simbol empat imam dalam hukum atau syariat Islam. Mereka adalah Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali.
Ujung setiap tiang berbentuk bintang dengan delapan bunga. Bintang dilambangkan sebagai lafal sholawat yang diajarkan Rasulullah SAW. Di dalam masjid hiasan piring keramik menempel pada bagian kiri, kanan, dan bahkan depan. Piring-piring tersebut ada yang dari Tiongkok dan Kerajaan Belanda.
Dari beranda mesjid ada satu pintu utama dengan ukuran kecil sebagai pengingat bahwa orang yang masuk ke mesjid harus menanggalkan kesombongannya dan dengan rendah hati menghadap Allah SWT. Hal itu dipertegas dengan tulisan Syahadat yang digantung sebelum masuk, hanya saja tulisan itu dibuat sekitar 1980-an.
Pada tahun 1978 masyarakat setempat membangun menara di halaman depan sebelah selatan sementara candi bentar dan pintu panel dibongkar. Renovasi terakhir pada tahun 2001-2002 dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata provinsi Jawa Barat yang mengganti atap sirap.
Semula masjid ini dikelola oleh pihak Kesultanan Kasepuhan kemudian diserahkan kepada DKM Panjunan. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001. Mesjid merah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB).
Masjid Merah menjadi tempat dimakamkannya Pangeran Panjunan. Jadinya lengkap sudah nama Panjunan sebagai nama profesi, nama desa, nama mesjid, dan nama gelar Maulana Abdul Rahman.
Masjid Merah termasuk sering dikunjungi peziarah, namun tidak sebanyak destinasi yang lainnya. Hal itu disebabkan letaknya yang nyempil serta tidak tersedianya tempat parkir yang memadai. Selain itu, masjid ini tidak difungsikan untuk shalat Jumat. [fathurroji]