وَ مَاۤ اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ
“ Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS 12:53)
Dalam masa politik, terhadap bertebarannya spanduk capres-cawapres, caleg, dan info berseliweran di media sosial kita, bagaimana kita harus bersikap perlu didiskusikan. Apalagi terkait dengan ini: bagaimana kita bersikap menghadapi nafsu politik yang penuh tipu dan propaganda.
Sebenarnya semua bidang dan perkara menurut pandangan fiqh Islam adalah mubah. Kecuali ada dalil yang secara jelas mengharamkannya. Termasuk di dalamnya politik. Maka berkarya dalam politik bisa bersifat mubah, tetapi juga bisa sunnah, wajib, bahkan haram. Kata ushul fiqh: “al-hukmu yadur ma’a ‘illatihi ‘adaman wa wujudan”. Peluang terbuka. Politik perlu dimainkan sebagai pertarungan antara ruang nafsu kebajikan dan keburukan.
Nafsu dan Hawa
Kata hawa dalam Al-Qur’an dominannya bermakna dorongan keburukan. Hanya sekali yang bermakna kebajikan. Berbeda dengan alhama, yang bermakna fifty-fifty, kadang bermakna buruk, kadang bermakna baik.
Ketika dikaitkan dengan kata nafsu, dorongan hawa lebih cenderung berorientasi kepada keburukan. Kendati demikian, makna nafsu sendiri dalam Al-Qur’an memiliki banyak makna, di antaranya: jiwa, kehidupan, diri, jamaah, dan sebagainya. Makna nafsu dalam Al-Qur’an menyiratkan kata buruk dan baik. Oleh karena itu, dalam segala arena dan bidang, nafsu bermakna netral untuk keburukan dan juga kebaikan. Begitupula dalam politik.
Nafsu politik, bisa bermakna buruk, bisa bermakna baik. Mengetahui uraian tentang nafsu politik dalam konteks Al-Qur’an ini menarik untuk menjadi panduan bagi siapapun yang mau bergulat dan berjuang dalam arena politik, terutama dalam suasana padat politik ini.
Nafsu Politik
Al-Qur’an menyebut kata nafsu baik dalam bentuk nakirah dan makrifah mufrad, jamak, dan idlofah dengan dlomir muttashil, sebanyak kurang lebih 276 kali. Secara makna umum memiliki makna: jiwa, diri, kehidupan, jamaah, keluarga, dan seterusnya.
Secara kategoris, nafsu memiliki empat makna. Dua bermakna buruk, dan dua lainnya bermakna baik. Yang buruk adalah nafsu ammarah dan nafsu lawwamah. Sedangkan yang baik adalah nafsu muthmainnah dan nafsu musawwalah.
Tentang nafsu ammarah dan lawwamah, Al-Qur’an menyebut dalam QS. Yusuf: 53 dan QS. Al-Qiyamah: 2. Sedangkan tentang nafsu muthmainnah dan musawwalah disebutkan dalam QS. Al-Fajr: 27 dan QS. Yusuf: 83.
Menurut Al-Baghawi dalam Tafsir Al-Baghawi (1420: hal. 496), “Setiap nafsu pasti mengarah kepada dorongan salah dan kekeliruan. Untuk terhindar dari itu, nafsu harus menyucikan dirinya terus-menerus, dengan cara mendekat kepada rahmat Allah.” Rahmat di sini oleh Al-Baghawi dimaknai sebagai perlindungan dari Allah Swt.
Senada dengan Al-Baghawi, Al-Qusyairi (hal. 190) berpendapat bahwa “Jiwa yang sedang dalam kesendirian selalu dibisiki keburukan dan ada dorongan untuk mengkhianati kesucian diri ilahiyahnya. Karena itulah, ketika dalam kesendirian, nafsu hanya bisa selamat dari kekeliruan ketika mendapatkan rahmat Allah Swt. Yaitu, rahmat berupa munculnya sikap syukur dan karena itulah nafsu ini kemudian memperoleh permaafan dari Allah Swt.” Tafsir Al-Zamakhsyari (hal. 659) menegaskan dua tafsir sebelumnya. Namun, dorongan keburukan yang diurai Al-Zamakhsyari lebih bersifat khusus: dorongan syahwat terhadap lawan jenis.
Adapun tentang nafsu lawwamah, ketiga mufassir di atas memaknai dengan makna senada. Yaitu, nafsu yang cenderung mengutuki kebaikan dan keburukan terkait dirinya, serta tidak sabar terhadap kesenangan dan kesusahan yang dialaminya. Nafsu lawwamah ini kemudian menyesali dengan pengandaian apa yang sudah berlalu terjadi, seolah tidak ridla dengan keputusan Allah SWT.
Dari makna dua kelompok nafsu buruk di atas, terlihat bahwa sebenarnya nafsu dalam pengertian diri (manusia) itu memiliki potensial yang cenderung bisa sangat baik bila mendekat rahmat Allah dan tidak menyesali apa yang telah lampau terjadi dengan mengutuki diri sendiri. Nafsu ini akan berada dalam kebaikan bila selalu mengikuti rahmat Allah dan terus mengikuti kesabaran yang memang harus dijalaninya dengan baik.
Itulah gambaran dua kelompok nafsu kebaikan. Yakni, nafsu muthmainnah dan musawwalah. Nafsu muthmainnah adalah nafsu yang selalu ridla terhadap apa yang dijalaninya sebagai keputusan Allah. Dan Allah kemudian ridla terhadapnya. Lalu yang muncul adalah performa ketenangan padanya. Ditambah nafsu musawwalah. Nafsu yang selalu bersabar mengikuti perintah Allah dalam keadaan apapun.
Dalam konteks nafsu politik, kerusakan sistem politik dan dinamika kepemimpinan, sebagaimana diungkap dalam sejarah terjadi karena nafsu politik dijalankan oleh nafsu ammarah: nafsu yang selalu berbuat salah secara berulang dan enggan memperbaiki dirinya; nafsu serakah menguasai apapun kesempatan yang ada padanya untuk mengambil keuntungan diri; dan nafsu yang digerakkan karena didorong ketertarikan kepada lawan jenis. Dalam sejarah politik di manapun, ketika nafsu politik dinakhodai oleh nafsu ammarah, ditambahi dengan nafsu lawwamah: nafsu yang selalu mengutuk dan tidak sabar terhadap keputusan yang terjadi pada dirinya, biasanya akan menampilkan tanda-tanda kehancuran. Oleh karena itulah, nafsu politik harus didrive oleh nafsu muthmainnah dan musawwalah.
Gambaran Nafsu Politik Buruk
Dalam Al-Qur’an gambaran politik buruk, biasanya dinisbahkan kepada beberapa fakta kekuasaan politik. Di antaranya: kekuasaan politik Namrud dan Fir’aun. Kekuasaan politik Namrud digerakkan oleh nafsu politik angkara murka dan absolutisme. Ditandai dengan kesemena-menaan dan anti kritiknya Namrud. Siapapun yang kritis dan oposan terhadap Namrud, akan langsung dihabisi dengan semena-mena dan tanpa ampun.
Sedangkan kekuasaan politik Fir’aun ditandai dengan absolutisme dan kolaborasi teknokrat yang selfish serta hedonis (Hamman) dan bohir (Qorun). Kekuasaan Fir’aun semakin menunjukkan absolutismenya karena dia memaksa rakyatnya agar menganggapnya tuhan. Ditambah sokongan teknokrat dan bohir, sempurnalah absolutisme Fir’aun.
Perlawanan Ibrahim AS., terhadap Namrud dan Musa-Harun terhadap Fir’aun dan kroninya menunjukkan perbedaan strategi. Strategi itu adalah perlawanan nafsu politik muthmainnah dan musawwalah terhadap nafsu politik ammarah dan lawwamah. Strategi mereka adalah strategi diplomasi dan ilmu pengetahuan. Strategi diplomasi dan ilmu pengetahuan ini ditunjukkan dalam dialog ketika Ibrahim AS. ditanya tentang siapa yang menghancurkan patung-patung itu. Ibrahim AS. menjawab agar Namrud dan pengikutnya bertanya kepada patung terbesar yang mereka anggap tuhan. Lalu mereka menjawab dengan sesuatu yang justru menunjukkan kedunguan logika, ‘mana mungkin patung itu bisa menjawab’. Terus kenapa harus disembah. Logika ini menegaskan tentang strategi data dan ilmu pengetahuan sebagai bentuk perlawanan.
Demikian pula yang dilakukan Musa-Harun AS. Sama menggunakan diplomasi dan ilmu pengetahuan. Diplomasinya adalah menyampaikan kebenaran tauhid melalui lisan. Maka dikenallah doa Robbisyroh lii shadri. Adapun strategi ilmu pengetahuan adalah dengan tongkat dan cahaya sebagai perlawanan terhadap ilmu sihir dukun-dukunnya Fir’aun.
Strategi Nafsu Politik Kebaikan
Di samping itu, mungkin perlu diurai juga strategi Ya’qub-Yusuf AS. dalam menggerakkan nafsu politik kebaikan (muthmainnah dan musawwalah). Strategi itu terurai dalam bingkai tauhid, kejujuran dan gerakan.
Strategi pertama adalah strategi keyakinan bahwa semua hal termasuk kekuasaan adalah milik Allah. Keyakinan tauhid ini layak ditanamkan kepada para politisi agar tujuan berpolitiknya adalah meraih ridla Allah dalam bingkai kekuasaan.
Strategi kedua adalah gerakan kejujuran melalui diam dan doa. Ya’qub AS. sungguh tahu dan sudah diberitahu oleh Allah SWT bahwa anak-anaknya berbohong tentang Yusuf AS. Tetapi, yang dilakukan Ya’qub adalah diam dan berdoa. Gerakan serupa ini pernah dilakukan oleh Mahatma Gandhi dan berhasil melumpuhkan kekuatan digdaya Inggris.
Strategi ketiga adalah gerakan. Dalam gerakan ini memuat tiga hal: mencari informasi sebanyak mungkin, menguatkan networking dan berkawan dengan siapapun yang pintu politiknya berbeda-beda.
Maka, sesungguhnya nafsu politik memang harus selalu diarahkan dengan nakhoda muthmainnah dan musawwalah. Karena kalau tidak kita akan rusak, seperti sindiran QS. Al-Isra’: 16. Ketika Allah akan menghancurkan suatu negeri, cukuplah Dia biarkan kebusukan dan kefasikan para pemimpin merajalela menyiksa dan membungkam rakyatnya. Negeri itu lalu hancur sehancur-hancurnya. Maka bacalah nafsu politik dengan menyebut nama Tuhanmu. Agar terciptalah kesejahteraan dan kemakmuran. Bukan angkara murka dan kehancuran. Wallahu a’lam.