Ponorogo, Gontornews — Pesantren Josari, Jetis, Ponorogo, tidak bisa dipisahkan dari perjalanan keilmuan Trimurti pendiri Gontor. Semua Trimurti Gontor, mulai dari Kiai Ahmad Sahal, Kiai Zainuddin Fanani, Kiai Imam Zarkasyi pernah mukim menjadi santri di Josari. Selama di Josari, Trimurti menempuh dua model pendidikan sekaligus, formal dan pesantren. Pagi hari menjalani pendidikan formal di Vervolk School (sekolah Ongko Loro Jetis), selepas sekolah, Trimurti kembali ke pesantren mendaras kitab-kitab kuning model pemaknaan tradisional ala utawi iki iku.
Usaha ini digawangi oleh ibunda Trimurti, Nyai Santoso Anom, sebagai bentuk tanggung jawab dan langkah taktis menyiapkan ketiga putranya melanjutkan estafet Pesantren Gontor yang ‘mati suri’ sepeninggal sang suami Kiai R. Santoso Anom Besari. Tekad yang kuat mengembalikan kejayaan Pesantren Gontor menggelora dalam batin sang bunda. Hingga setiap kali menjenguk ketiga putranya di pondok, setiap itu pula Nyai Santoso memohon barakah doa dari kiai pengasuh agar kelak ketiga putranya fokus mengasuh pesantren, tidak tergoda menjadi pegawai. Kisah ini dituturkan oleh Kiai Sunjarib (dzuriyyah Josari), Imam Masjid Josari ke-10.
Di Josari, Trimurti dibekali pengetahuan agama level dasar dan menengah, dari Tauhid, Fiqih Syafi’iyyah, Hadis, Gramatika Arab, Akhlak, Sirah al-Barzanji, dan Tasawuf dasar. Namun, dari sekian banyak ilmu, tampaknya ilmu Tauhid dan ilmu Fiqih yang paling kuat pengaruhnya dalam diri Trimurti (baca: Biografi Kiai Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern).
Sebagai bukti adalah kitab-kitab tauhid yang menjadi referensi Kiai Zarkasyi dalam menulis buku Ushuludin Aqaid, adalah kitab-kitab khas yang dikaji di pesantren salaf, di antaranya Aqidatul Awam, Qothrul Ghois, Kifayatul al-Awam, Jawahirul Kalamiyah, Ummul Barahin, Jauharut Tauhid dll. Kitab-kitab tauhid tersebut besar kemungkinan dikaji oleh Trimurti selama mondok di Josari.
Demikian juga dengan ilmu Fiqh Syafi’iyah level lanjutan, seperti kitab Fathul Qorib, Fathul Mu’in (Zainuddin al-Malibari), dan I’anah al-Tholibin (Sayyid Abi Bakar Syatha al-Dimyati), turut dikaji pula oleh Trimurti selama di Josari. Asumsi ini dibangun atas dasar keterangan Kiai Zarkasyi dalam biografinya, bahwa kitab-kitab dasar Fiqih Syafi’iyyah seperti, Safinat an-Naja, Sulam Safinah dan matn al-Ghoyah wa al-Taqrib sudah dikaji di pesantren Joresan, sebelum mondok di Josari. Sehingga besar kemungkinan Trimurti mengkaji kitab-kitab Syafi’iyyah level lanjutan di Josari. Dengan demikian, Fiqih Syafi’iyyah Trimurti Gontor memiliki transmisi sanad melalui jalur Josari dan Joresan.
Pengaruh Syafi’iyyah dalam Fiqih Gontor ini bisa ditelaah dalam materi ajar Fiqih 1 dan Fiqih 2 yang ditulis sendiri oleh Kiai Zarkasyi, demikian pula pada diktat-diktat ubudiyah santri Gontor, yang referensinya didominasi kitab-kitab Syafi’iyah seperti I’anat Tholibin. Bahkan anjuran mengkaji kitab Fathul Qorib, Fathul Mu’in dan I’anat Tholibin menjadi wasiat Kiai Zarkasyi yang dibacakan setiap haflatul wada’ bagi santri Gontor kelas akhir. Wasiat ini tentunya diperuntukkan bagi alumni yang ingin melanjutkan pendidikannya ke pesantren salaf.
Kembali ke pembahasan, Josari selain berperan membekali Trimurti dengan pengetahuan agama yang matang, juga membuka akses untuk meretas tangga-tangga ilmu keislaman di level lanjutan. Sebab dari Josari inilah, Trimurti kemudian menjelajah pesantren-pesantren besar di luar Ponorogo, seperti Siwalan Panji Sidoarjo dan Termas Pacitan (Kiai Ahmad Sahal dan KH Zainuddin Fanani), dan Jemsaren Solo (Kiai Imam Zarkasyi). Ada fakta menarik, bila ditelisik lebih lanjut hubungan pesantren Josari dengan beberapa pesantren di atas, maka akan tampak bahwa Josari, Siwalan Panji, Termas, dan Jemsaren terikat dalam satu mata rantai sanad keilmuan.
Rantai sanad keilmuan Josari bisa terhubung dengan pesantren-pesantren besar di Jawa, bahkan di Mekkah melalui perantara al-Alim al-Allamah al-Arif Billah Kiai Muhammad Mansur (1831-1943). Kiai Mansur merupakan generasi ketujuh, yang memimpin pesantren dan masjid jami’ Josari tahun 1896-1943. Di masa itulah, Trimurti mondok di Josari. Artinya Trimurti dididik langsung oleh Kiai Mansur dalam rentang waktu cukup lama, istilah pesantrennya dibimbing kiai sampai khatam.
Kiai Mansur sendiri memulai pendidikannya di pesantren Josari, dibimbing langsung oleh sang ayah Kiai Na’im, pengasuh dan imam masjid Josari generasi keenam. Kiai Na’im sendiri berasal dari Jepara, kemudian mondok di Josari dan diambil menantu oleh Kiai Muhammad Syafi’i, Pengasuh dan Imam Masjid Josari generasi keempat. Setelah menyelesaikan pendidikan di Josari, Kiai Mansur mengembara ke Semarang berguru ke Kiai Muhammad Sholeh bin Umar atau populer dengan nama Kiai Sholeh Darat (1820-1903).
Seperti diketahui, Kiai Sholeh Darat merupakan maha guru para ulama Nusantara, sebut saja Syaikh Mahfudz al-Turmusi (guru besar di Mekkah), Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ariy (pendiri NU) dan Kiai Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Kiai Dimyati Termas (guru dari Kiai Ahmad Sahal dan Kiai Zainuddin Fanani), Kiai Idris Jemsaren Solo (guru dari Kiai Imam Zarkasyi), dll. Kebetulan, Kiai Naim (ayah Kiai Mansur) dan Kiai Sholeh Darat sama-sama berasal dari Jepara.
Selain berguru ke Kiai Sholeh Darat, Kiai Mansur juga nyantri di pesantren Demangan, Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan al-Allamah Sohibul Karomah Kiai Muhammad Kholil bin Abdul Lathif atau masyhur dengan sebutan Kiai Kholil Bangkalan (1835-1925). Sosok Kiai Kholil tidak bisa dipisahkan sejarah berdirinya NU, dan maha guru para pendiri pesantren besar di Jawa Timur seperti Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari Tebuireng, Kiai Wahab Hasbullah Tambakberas, Kiai Abdul Karim Lirboyo, Kiai Syamsul Arifin Situbondo, Kiai Khozin Siwalan Panji, dll. Adanya informasi gotakan atau kamar santri Madura di area masjid Josari, membuktikan adanya relasi antara Josari dengan para santri Kiai Kholil di Madura.
Selain nyantri di Bangkalan, Kiai Mansur juga mengembara ilmu ke wilayah Pasuruan, tepatnya di pesantren Cangaan Bangil. Pesantren Cangaan merupakan pesantren tertua ketiga di Pulau Jawa, didirikan oleh Kiai Jalaludin atau masyhur dengan sebutan Mbah Lowo Ijo. Konon, julukan Lowo Ijo merujuk pada kebiasaan Kiai Jalaludin berkhalwat di dedaunan dan ranting-ranting pohon. Sumber setempat mengatakan bahwa Kiai Jalaluddin merupakan murid Sunan Bonang.
Pesantren Cangaan masyhur dengan kajian ilmu Tauhid. Ajaran Kiai Jalaluddin tentang tauhid khususnya penjabaran kalimat Laa Ilaaha Illa Allah dan sifat tiga (wajib, jaiz, dan muhal) dibukukan dalam kitab Mufidul Islam. Kitab ini dibaca dan menjadi kajian santri Cangaan secara turun temurun. Menurut info setempat (portal terafiliasi ke pesantren Cangaan), Trimurti Gontor pernah bertabarruk ilmu di Cangaan, walau info ini belum terkonfirmasi pada keluarga Gontor. Namun jejak Kiai Mansur mondok di Cangaan, menjadi jalur yang menghubungkan Gontor, Josari, dan Cangaan, baik langsung maupun tidak.
Dari Cangaan Bangil, Kiai Mansur memperluas cakrawala pengetahuan di kota Mekkah. Langkah ini ditempuh Kiai Mansur, sebagai bentuk tabarrukan ilmu dan meretas sanad keilmuan lebih luas seperti yang dilakukan oleh kedua gurunya, Kiai Sholeh Darat dan Kiai Kholil Bangkalan, yang keduanya merupakan alumni Mekkah.
Kiai Mansur bermukim di Mekkah selama empat tahun. Di kota suci ini, sanad keilmuan Kiai Mansur terhubung dengan banyak ulama besar, baik ulama Timur Tengah, maupun ulama Nusantara yang menjadi guru besar di Mekkah. Sebut saja, Sayyid Abi Bakar Syatha al-Dimyati (pengarang kitab I’anah al-Tholibin), Syaikh Amin al-Athar, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Ahmad Khotib al-Minangkabawi, Syaikh Mahfudz al-Turmusi, dll. Nama-nama ulama di atas berdasar pada keterangan dzuriyah Kiai Mansur, bahwa Kiai Mansur dan Kiai Dahlan ‘tunggal guru’ atau memiliki guru yang sama sebab keduanya bertemu di Mekkah.
Ada dugaan kuat, selain berinteraksi dengan Kiai Dahlan, Kiai Mansur juga bertemu dengan Kiai Hasyim Asy’ariy. Sebab sepulang dari Mekkah, selain mengajar dan memimpin Josari, Kiai Mansur juga terlibat dalam pendirian ormas Muhammadiyah (1921) dan NU (1930) di wilayah Ponorogo. Kiai Mansur tercatat sebagai Rois Syuriah pertama PCNU Ponorogo, sementara di Muhammadiyah terlibat dalam perintisan, bahkan putra Kiai Mansur yang bernama Kiai Ridwan Hadjir merupakan santri Kiai Ahmad Dahlan generasi pertama. Ini menunjukkan Kiai Mansur adalah sosok figur yang berpandangan luas, antisektarian, dan penuh pengabdian. Figur Kiai Mansur yang “ berwawasan luas “ tampaknya ikut mewarnai pandangan murid-muridnya termasuk Trimurti Gontor, hingga menjadi salah satu motto pondok Gontor, yaitu berwawasan luas dan berpikiran bebas.
Untuk mengurai transmisi sanad Trimurti Gontor, diperlukan tsabat atau catatan genealogi sanad ulama. Maka, Syaikh Mahfudz al-Turmusi berperan sebagai transmiter melalui kitabnya “Kifayatul Mustafidz Lima Ala Minal Asanid“, yang tak lain adalah guru dari Kiai Mansyur. Uraian sanad Trimurti jalur Kiai Mansyur sebagai berikut:
Trimuti Gontor (Kiai Ahmad Sahal, Kiai Zainuddin Fanani, Kiai Imam Zarkasyi) belajar fiqih dari Kiai Mansur Josari (wafat 1943), Kiai Mansur berguru fiqih pada Syaikh Mahfudz Termas (1338 H), Syaikh Mahfudz berguru pada Sayyid Abi Bakar Syatho (wafat 1310 H), Sayyid Abi Bakar berguru pada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304 H), dari Syaikh Utsman bin Hasan Dimyati, dari Syaikh Abdullah as-Syarqowi, dari al-Ustadz Muhammad bin Salim Hifni, dari Syaikh Ahmad al-Khulaifi, dari Syaikh Ahmad al-Bisbisyi (1096 H), dari Syaikh Sulthan bin Ahmad al-Mazzahi, dari Syaikh Ali az-Ziyadi (1024 H), dari Syaikh Muhammad al-Qosriy, dari Al-Muhaqqiq Syaikh Ahmad bin Hajar al-Haitami (964), dan Syaikh Al-Khothib Asy-Syirbini, Syaikh Ar-Romli Al-Kabir dan Syaikh Ar-Romli As-Shoghir, dari Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari (929 H), Syaikh Jalaludin al-Mahalli (864 H), dan Syaikh Jalaluddin Al-Bulqini (824 H), dan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani (852 H) dan Syaikh Syamsuddin Al-Yaquti, dari Syaikh Al-Wali Ahmad bin Abdurrahim al-‘Iraqi, dari Syaikh Abdurrahim bin Husain al-‘Iraqi (806 H), dari Syaikh Sirajuddin al-Bulqini (805 H), dari Syaikh ‘Alauddin bin al-‘Atthar, dari Al-Imam Yahya an-Nawawi al-Dimasyqi (Muharrar al-Madzhab) (676 H), dari Syaikh Abi Hafsh (Umar bin As’ad az-Zai’i), dari Syaikh Abi Umar (Ustman bin Abdurrahman/Ibnu Shalah asy-Syahruzuri) (643 H), dari Syaikh Abdurrahman (ayah Ibnu Shalah) (618 H), dari Syaikh Abi Sa’ad (Abdullah bin Abi ‘Ashrun) (585 H), dari Syaikh Abi Ali al-Fariqi (528 H), dari Syaikh Abi Ishaq (Ibrahim Syaerozi) (476 H), dari Syaikh al-Qodhi Abi al-Thayyib (Thahir bin Abdullah al-Thabri) (450 H), dari Syaikh Abil Hasan (Muhammad bin Ali al-Masirji) (384 H), dari Syaikh Abi Ishaq (Ibrahim bin Ahmad al-Marwazi) (340 H), Syaikh Abil Abbas (Ahmad bin Syuraij al-Bagdadi) (306), dari Syaikh Abil Qosim (Ustman bin Sa’id bin Basyar al-Anmathi) (288 H), dari al-Imam Ismail bin Yahya al-Muzani (264 H), dari al-Imam al-A’dzhom Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafii (Imam Syafi’i) (204 H), dari al-Imam al-A’dzhom Abi Abdillah Malik bin Anas (Imam Malik) ( 179 H), dari Imam Nafi’ (117 H), dari Ibnu Umar (73 H), dari Sayyiduna Rasulullah SAW. Nafa’ana Alloh bi ‘ulumihi awa masyayikhihi, wallahu ‘alam bi shawab.
Disarikan dari beberapa sumber:
Wawancara Kiai Sunjarib, Imam Masjid Josari ke-10, cucu Kiai Mansur.
Kitab Kifayatul Mustafid Syaikh Mahfudz Turmusi.
https://pwmu.co/299590/06/15/kh-ridwan-hadjir-santri-kiai-dahlan-dari-ponorogo/.
Biografi KH Imam Zarkasyi dari Gontor Membangun Pesantren Modern.
Pesan dan Nasihat KH Ahmad Sahal dan KH Imam Zarkasyi.