Membahas kekejaman komunis tidak akan pernah habis dikupas. Pasalnya keberingasan komunis dalam mengeksekusi lawannya, ternyata jumlah korbannya melebihi perang dunia pertama dan kedua. Komunis membabat para pemeluk agama, bukan hanya Islam tapi juga nonmuslim pun dibantai.
Untuk kasus di Indonesia, komunis yang berbaju Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadikan umat Islam sebagai targetnya. Untuk menanamkan paham komunis ini, para petinggi PKI melihat Islam sebagai penghalang utama untuk memuluskan penyebaran ajarannya. Karenanya, PKI memenggal para kiai, santri, dan pemeluk Islam taat.
Dalam sebuah diskusi Majelis Virtual Majalah Gontor ke-3 yang diselenggarakan oleh Majalah Gontor melalui webinar, semua kekejaman komunis di Indonesia itu dibongkar melalui kisah para saksi hidup yang dituangkan dalam sebuah buku berjudul Banjir Darah yang ditulis oleh Thowaf Zuharon dan Anab Afifi.
Untuk memperdalam kupasan buku ini, Majalah Gontor juga menghadirkan jenderal sebagai saksi sejarah yang sekaligus Ketua Gerakan Bela Negara yaitu Mayjen (Purn) Budi Sudjana dan pakar sejarah dari Universitas Padjadjaran Bandung, Prof Dr Achmad Mansur Suryanegara. Sedangkan Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, KH Hasan Abdullah Sahal, menyampaikan prolog dalam majelis virtual ini.
Dalam paparannya, penulis buku Banjir Darah, Thowaf Zuharon, menceritakan bahwa kekejaman komunis di dunia dan di Indonesia merupakan kekejaman terdahsyat sepanjang sejarah dunia. Dampak dari kekejaman komunis, hampir 120 juta jiwa di 75 negara tewas. Jumlah ini melebihi jumlah korban Perang Dunia pertama dan kedua, bahkan korban wabah penyakit sekalipun.
Di Indonesia, komunis yang antiagama menjadikan umat Islam sebagai penghalang ajarannya. Maka komunis melakukan pembantaian secara keji terhadap para agamawan, terutama para kiai, santri, dan tokoh-tokoh Muslim. “Bukan hanya Muslim, tapi agama lain juga dihabisi oleh mereka,” jelasnya.
Dalam ulasannya, Thowaf berkisah tentang perlawanan pesantren terhadap pemberontakan PKI. Termasuk Pondok Gontor mengalami langsung kekejaman PKI yang saat itu berkembang mulai dari Madiun dan sekitarnya.
“Saya tidak bisa membayangkan kalau waktu itu pasukan Muso menghancurkan Gontor. Mungkin, Gontor tidak melahirkan sejumlah tokoh-tokoh nasional,” ucapnya.
Menurut Thowaf, berdasarkan kesaksian langsung para penyaksi yang masih hidup sampai hari ini, yang menyaksikan betapa banjir darah di berbagai kota itu begitu nyata dan tetap terbayang di penglihatan mereka hingga kini. Termasuk kesaksian tentang indoktrinasi kepada kaum abangan oleh Muso dengan pementasan ludruk “Gusti Allah Wis Mati” di berbagai kota. Juga doktrin “Agama adalah Candu, Tuhan Itu Tidak Masuk Akal”, yang dengan sangat sukses disebarluaskan Muso untuk menancapkan langsung doktrin yang paling mengerikan dari gurunya, Joseph Stalin, itu di otak para pengikutnya.
Muso, tambah Thowaf, anak kiai salah satu pesantren di Kediri. Ia pernah lama tinggal di Soviet, berinteraksi langsung dengan Stalin, terlibat dalam rapat-rapat internasional PKI, dan ikut menyaksikan langsung bagaimana pola-pola pembantaian yang dilakukan oleh penganut komunis terhadap lawan-lawannya. Bagaimana bentuk-bentuk teror kemanusiaan dilakukan dengan beragam cara.
“Saya mencoba menulis rangkaian kekejaman PKI ini agar bisa menjadi peringatan bagi generasi bangsa, dan para satri yang belajar agama,” jelasnya.
Lubang untuk kuburan massal
Sementara itu Mayjen (Purn) Budi Sudjana sebagai pelaku sejarah menjelaskan, bukti-bukti yang disampaikan dalam buku ini bisa dipertanggungjawabkan, karena bersumber dari pelaku sejarah di zaman PKI. Kekejaman PKI di Indonesia benar-benar ada.
“Perbedaan ideologi yang tujuannya mengomuniskan Indonesia. Saat itu yang menjadi penghalang adalah Islam, maka sasaran utama adalah umat Islam. Karena mereka penghalang utama program komunisme,” jelasnya.
Para penganut komunis ini juga telah menyiapkan lubang-lubang tanah untuk kuburan massal umat Islam. Sebagai simbolnya yaitu peristiwa di Lubang Buaya yang menjadi sinyal untuk diikuti di daerah-daerah.
“Namun PKI membantah, begitu juga dengan penyiapan kuburan. Mereka akan membantah terus, doktrinnya memang begitu, kelakuan mereka memang seperti itu, pendusta, pemfitnah, dan membantah apa yang mereka lakukan dan menuduhkan ke orang lain,” paparnya.
Terkait dengan tuduhan bahwa pembunuh para jenderal adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI), Budi menegaskan bahwa pelakunya memang TNI tapi yang sudah menjadi komunis, yang ada di bawah biro khusus. “Ke depan komunis akan terus berusaha untuk menyatakan bahwa PKI adalah korban, itu akan terus mereka lakukan,” jelasnya.
Budi menjelaskan, para komunis ini pandai menyusup dan menghancurkan dari dalam. Jika tujuan mereka belum tercapai maka akan berulang dengan berbagai macam cara. “Kita harus waspadai. Mereka akan terus menutupi dengan mengatakan bahwa komunis sudah mati,” jelasnya.
Namun faktanya tidak demikian, pasalnya pada tahun 2017, 2018 dan 2019, komunis di dunia terus melakukan kongres internasional. Baik itu yang ada di Turki, Athena maupun Rusia. “Tahun 2020 karena adanya pandemi, maka kongres belum terdengar ada,” katanya.
Budi menjelaskan, ideologi komunis di Indonesia tidak bisa mati. Mereka bersembunyi di ormas, partai, atau lembaga lain. “Mereka menyusup karena tidak ada satu pun organisasi politik di Indonesia yang tidak mereka susupi. Cirinya ada organisasi yang awalnya hanya satu kemudian terpecah,” paparnya.
Hal senada disampaikan oleh sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara. Menurutnya, komunis selalu menyusupkan orangnya untuk memecah dari dalam. Seperti keberadaan Syarikat Islam (SI) yang saat itu berhasil dipecah oleh Henk Sneevliet lewat Muso. Hingga lahirlah SI Semarang yang menggembosi SI Pusat bentukan HOS Cokroaminoto.
“Bicara PKI belum lengkap jika tidak disertakan HOS Cokroaminoto orang Madiun yang mendirikan Partai Syarikat Islam. Karena dialah yang menentang pertama kali keberadaan PKI,” jelasnya.
SI merupakan organisasi yang terbentuk pada masa kebangkitan yang membahayakan penjajahan. SI mendapatkan dukungan dari berbagai strata sosial dan dukungan para ulama dan organisasi-organisasi Islam lainnya. Penjajah berkepentingan untuk melemahkan organisasi SI.
Orang-orang Belanda berhaluan Marxist disusupkan ke dalam SI di antaranya Sneevliet yang mencoba menawarkan ideologi komunisme seolah ideologi pendorong perlawanan terhadap penjajahan.
Dengan menggunakan orang-orang Belanda komunis, pemerintah kolonial Belanda membiarkan Sneevliet dan kawan-kawannya membelah keutuhan SI dari dalam. Aksi mereka diawali dengan membina pimpinan muda SI Semarang.
Mansur mengatakan, sepanjang sejarah kudeta PKI tidak pernah berlangsung lama. Mansur pun meminta masyarakat untuk tidak mengkhawatirkan dan takut dengan PKI. “Gusdur pernah menyampaikan kepada saya untuk tidak mengkhawatirkan kebangkitan PKI karena NU punya Banser dan Anshor,” ungkap penulis buku Api Sejarah 1 dan 2 itu.
Sementara itu Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor KH Hasan Abdullah Sahal mengatakan, sejarah kelam kekejaman komunisme harus terus disampaikan kepada generasi muda. Bagi Kiai Hasan, sejarah akan terus berulang. “Jujur saja, saya terperangah dengan pembahasan hari ini,” ungkap Kiai Hasan dalam diskusi tersebut.
“Menurut saya, yang penting bukan isinya. Karena isinya bisa ditambah, bisa diramaikan, bisa diperluas dan bisa diperkuat lagi dengan sejarah-sejarah yang lain. Sejarah ini akan tetap berulang,” imbuhnya.
Kiai Hasan juga menanggapi pernyataan Mansur mengenai durasi kudeta PKI. Menurutnya, bukan seberapa lama durasi kudeta oleh PKI tetapi seberapa rusak pemikiran yang berkembang sebelum kudeta berlangsung.
“Kudeta-kudeta yang tidak lama itu, menimbulkan pemikiran-pemikiran yang semakin rusak dan merusak. Jadi, adanya kudeta itu merusak. Penyakit-penyakit sebelum ada kudeta sudah ditanamkan sedemikian rupa,” tegasnya.
Kiai Hasan berharap, generasi sekarang harus mempunyai sensitivitas, kewaspadaan yang aktif terhadap bahaya laten komunis, karena kudeta tidak berhasil tapi ideologinya tetap hidup. Ini tidak terlepas dari indoktrinasi yang kuat.
“Jadi kalau saya boleh bicara agak radikal, politik dan kemenangan politik tidak menyelesaikan masalah. Yang menyelesaikan masalah itu misi kehidupan, politik yang tidak membawa misi kehidupan tidak akan lama,” tegasnya.
Buktinya PKI dibubarkan tapi belum menyelesaikan masalah, Marxisme berhasil karena kemanusiaan disentuh untuk mempengaruhi masyarakat. “Maka saya ingatkan hati-hati dengan kemiskinan. Bangsa ini lemah, berdosa besar jika meninggalkan UUD yang isinya mencerdaskan kehidupan bangsa,” paparnya.
“Kita mulai dari nol belajar Islam untuk bangsa ini, mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang benar. Kita tidak usah takut,” tegasnya. []