Surabaya, Gontornews — Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur meminta Presiden Joko Widodo serius menanggapi indikasi munculnya kembali komunisme di Indonesia. Hal itu disampaikan MUI Jatim dalam sebuah pernyataan sikap yang ditujukan langsung kepada Presiden, Selasa (17/5).
MUI mengatakan, kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) telah menjadi bahaya nyata yang sedang dihadapi bangsa ini.
Pascareformasi yang ditandai dengan era demokrasi dan penguatan Hak Asasi Manusia (HAM), telah dimanfaatkan oleh para aktivis, mantan narapidana PKI, dan para simpatisannya untuk bangkit dengan memutarbalikkan fakta.
“Mereka mencoba membangun opini dengan memutarbalikkan fakta dan memosisikan diri mereka sebagai korban pembantaian di tahun 1968 silam,” jelas Ketua Umum MUI Jatim Abdusshomad Buchori.
Ia mengatakan, komunisme yang merupakan paham ideologi ekstrem radikal berbasis pada paham Marxisme-Lenninisme itu sudah banyak melakukan tindakan kejahatan brutal dengan membantai manusia di berbagai negara.
Di Indonesia, PKI telah melakukan pembantaian terhadap kiai dan para santri serta perwira-perwira TNI. Mereka membantai dan memasukkan mayat korbannya ke dalam sumur yang kemudian menjadi situs bersejarah.
“Tidak kurang dari 500.000 orang dibantai oleh Lennin di Rusia, 2,5 juta rakyat Kamboja dibantai oleh Pol Pot, dan jutaan rakyat RRC dibantai oleh Mao Tsetung,” ungkapnya.
Menurutnya, bahaya nyata yang ditimbulkan komunis di masa lalu harus dipandang objektif oleh masyarakat dan Pemerintah Indonesia.
Oleh sebab itu, tuntutan-tuntutan yang dilakukan para eks PKI dan simpatisannya seperti penghapusan TAP MPRS No XXV/1966 dan meminta Presiden Joko Widodo meminta maaf kepada keluarga eks PKI harus ditanggapi serius.
Selain itu, eks PKI juga meminta agar materi tentang pemberontakan PKI pada mata pelajaran sejarah dihapuskan serta melakukan pencarian kuburan massal PKI tahun 1965.
“Kami berharap Pemerintah bersikap obyektif, melihat fakta secara utuh, tidak anakronis dengan dalih rekonsiliasi sekalipun,” tandasnya. [Devi Lusianawati/Rus]