Mendapati sebuah perbedaan dalam menjalani kehidupan, termasuk menjalankan syariah, merupakan hal lumrah. Namun yang penting bagaimana seorang Muslim mampu menghormati perbedaan tersebut dan tidak menjadikannya masalah sehingga persatuan sesama Muslim dapat terus terjaga.
Islam adalah agama yang dihadirkan untuk membawa perdamaian di alam semesta atau Rahmatan Lil ‘Aalamiin. Islam telah memberikan pilihan-pilihan kepada manusia untuk memilah ajaran-ajaran agama yang akan dilaksanakan tanpa paksaan melalui madzhab.
Madzhab adalah jalan atau metode dalam memahami hukum-hukum Islam yang dianut oleh umat Islam di dunia. Madzhab dalam Islam tidak hanya ada satu, namun ada empat, yaitu: Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hanbali.
Sebagai organisasi masyarakat (Ormas) Islam, baik Muhammadiyah maupun Nahdhatul Ulama (NU), memiliki perbedaan dalam mengaplikasikan ajaran-ajaran syariah. Namun tidak lantas menjadikan perbedaan tersebut sebagai pemecah belah umat, justru harus menjadi perekat dengan saling menghargai satu dengan lainnya. Tidak hanya dua Ormas Islam itu saja, tapi juga seluruh Ormas Islam yang ada di Indonesia.
Pemikiran mengenai syariah Islam yang berbeda dalam sebuah kelompok merupakan kewajaran yang harus diterima, bukan untuk ditolak dan dipermasalahkan. Selama masih bersumber dari Alquran dan Hadis Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, maka harus dihargai.
Namun saat ini, perbedaan-perbedaan tersebut justru dijadikan alat untuk memecah belah umat. Bahkan Pemerintah Indonesia ikut andil di dalamnya. Hal yang sangat disayangkan.
Misalnya saja mengenai penggunaan celana cingkrang, niqab (cadar) hingga orang-orang yang berjenggot. Mereka dianggap sebagai sumber radikal hanya karena berbeda dengan apa yang dianut atau diajarkan oleh Ormas tertentu itu.
Padahal, Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sudah sangat jelas mengatakan bahwa masyarakat Indonesia bebas menjalankan syariah atau ajaran agama sesuai dengan kepercayaan mereka masing-masing, dan yang mereka lakukan merupakan cara untuk mengaplikasikan apa yang disebutkan dalam ideologi bangsa.
Kebebasan dalam menjalankan agama ataupun ajaran harus dihargai dan dihormati, agar bangsa Indonesia tidak terpecah belah. Sebab umat Islam adalah umat yang satu walaupun berbeda-beda.
Tentunya, apa yang disampaikan Menteri Agama RI beberapa bulan lalu, mengenai orang yang menggunakan celana cingkrang maupun Muslimah yang menggunakan cadar dianggap sebagai sumber radikalisme sangat menyakitkan hati. Umat Islam dipojokkan dan diadu domba, padahal Indonesia merupakan negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Saat Ketua Umum NU, almarhum Hasyim Mudzadi, masih ada, hubungan antara Muhammadiyah dan NU sangat harmonis walaupun diwarnai dengan perbedaan-perbadaan yang ada di masing-masing Ormas terbesar di Indonesia itu.
Keduanya saling menghargai dan saling mendukung karena masing-masing memiliki ajaran yang bersumber pada Alquran dan Hadis serta ijtihad para ulama terdahulu. Sehingga keharmonisan terus terjaga.
Namun saat almarhum sudah tidak ada, banyak sekali perubahan yang terjadi termasuk dari para tokoh NU. Ceramah-ceramah para tokoh NU yang banyak beredar di media sosial, menyakitkan umat Islam lainnya.
Namun hal tersebut harus disikapi dengan bijaksana, kearifan, dan kedewasaan, tidak dengan emosi ataupun membalas dengan saling mengejekkan satu sama lainnya. Sebab jika hal itu terjadi, maka perpecahan umat Islam Indonesia akan benar-benar terjadi dan itulah yang diinginkan pihak-pihak yang tidak menyukai Islam.
Sebagai umat yang besar, perbedaan tidak harus menjadi halang rintang dalam menguatkan ukhuwa Islamiyah. Jika ada qudwah hasanah yang bisa diikuti atau ditiru dan berpegang teguh pada dua sumber Islam yang kokoh, maka tidak salah untuk diikuti dan dihormati.
Sebab, persaudaraan merupakan fondasi dari kekuatan umat Islam. Tarahim atau saling menyayangi kemudian Ta’aruf, saling memahami dan saling menghargai, sehingga muncul respek saling menghormati. Jika hal itu terjadi maka akan membawa umat Islam ini pada tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu Ta’awun atau saling bekerjasama dalam kebaikan dan ketakwaan, bukan saling bekerjasama dalam dosa dan pertentangan.
Paling idealnya lagi, tingkatan yang lebih tinggi, yaitu Takaful atau Tadhamun yaitu saling memproteksi dan menjaga. Saat ada saudara diserang, disakiti, maka kita akan bersama-sama untuk melindungi. Wallahu a’lam. []